Kita tidak pernah tahu, kapan dan dimana bencana terjadi, sebagaimana bencana alam gempa bumi, tsunami dan likuifaksi yang melanda sejumlah wilayah di Sulteng, belum lama ini.
Di satu sisi, bencana tersebut memang telah mengakibatkan kerugian, baik materi maupun jiwa. Namun di sisi lain, dampak dari gempa ini telah membangunkan kita, lalu sadar akan pentingnya mitigasi bencana, guna menimalisir kerugian yang lebih besar.
Tak kalah penting, bencana juga telah mengundang rasa empati dan solidaritas dari seluruh penjuru dunia.
Berbagai bantuan datang, baik secara perorangan, komunitas, maupun kelembagaan. Salah satunya lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Seperti apa kiprah mereka di lapangan dan sejauh mana suka duka menangani penyintas di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala serta Kabupaten Parimo.
Awak Media Alkhairaat, Ikram berkesempatan mewawancarai Komando Posko Induk ACT Sulteng, Sutaryo, di sela-sela kesibukannya menangani para penyintas, di kantornya, Jalan Moh. Hatta, Kelurahan Lolu Utara, Kecamatan Palu Selatan, belum lama ini.
Berikut petikan wawancara bersama Sutaryo yang didampingi Kepala Cabang ACT Sulteng, Nurmarjani Loulembah:
Bagaimana anda melihat bencana alam di Palu ?
Dalam pandangan saya bencana di Palu ini cukup kompleks, sampai ada yang mengatakan bencana multidimensi, three in one, four in one karena ada gempa bumi, di susul tsunami, likuifaksi dan longsor. Jadi nyaris sempurna bencana ini.
Apa perbedaan bencana yang terjadi di Palu dengan daerah lain?
Ya itu tadi. Kalau daerah lain, gempa saja atau gempa dan tsunami. Tapi bencana di Palu kali ini tidak hanya dengan tsunami, tapi juga longsor dan likuifaksi. Jadi itu sesuatu yang langka, bukan hanya langka di Indonesia, tapi juga di belahan dunia lain.
Apa saja tahap penanganan pascabencana yang dilakukan ACT?
Kebiasaan ACT yang pertama itu hadir dulu di area bencana, syarat utamanya itu. Ketika kita hadir, maka kita bisa melihat apa yang akan kita lakukan. Fase penanganan ACT itu ada emergency dan recovery. Itu dalam tahapan totalizer managemen.
Ketika tahapan emergency itu ada fase rescue, menyelamatkan korban bencana yang sudah meninggal atau dalam keadaan luka-luka untuk mendapatkan evakuasi dan sebagainya.
Kemudian ada medis, itu penanganan bagi korban yang luka, lalu ada relief (bantuan) yang cenderung pada kebutuhaan pokok seperti sembako, pakaian dan lainnya. Selanjutnya ke tahapan recovery cenderung kepada pemenuhan kebutuhan fisik seperti perumahan, fasilitas umum dan sebagainya.
Adanya gempa ini menyebabkan banyak orang alami depresi. Bagaimana anda melihat fenomena ini?
Setiap bencana pasti menimbulkan dampak, baik kerugian materi, fisik, juga berdampak pada psikologis seseorang. Kita bisa bayangkan bagaimana seseorang tiba-tiba kehilangan harta dan orang-orang yang dicintainya, istri, anak, ayah, saudara dan sebagainya. Bisa jadi ini merupakan perjuangan seumur hidup dia, tiba-tiba hancur dan hilang.
Hal ini tentunya menimbulkan efek, bukan hanya efek kehilangan, bisa juga efek kengerian. Selama ini tidak pernah membayangkan kejadian seperti ini, ada yang bilang seperti kiamat. Dalam artian kiamat skala kecil, adanya bumi yang digoncang-goncang, tiba-tiba tanah terbelah dan sebagian terkubur.
Rangkaian peristiwa itu membuat efek trauma tersendiri. Efek trauma juga memiliki tingkatan, bagi seseorang itu penyembuhannya bisa puluhan tahun.
Bagaiman ACT dalam mengelola orang- orang seperti itu ?
Nah, semua itu perlu tahapan, jadi nggak bisa serta merta membuat penyintas sadar dan bahagia, tapi semua butuh proses. Kalau harapan ACT sendiri balik seperti kehidupan semula dan mandiri.
Terus bagaimana untuk penanganan traumatik, ada trauma healing. Tapi di sisi ini, orang-orang yang konsen pada trauma healing terbatas.
Awalnya ACT punya program trauma healing, karena kami punya tenaga khusus, tenaga dokter psikolog yang memang fokus pada trauma, tapi jumlahnya sangat terbatas.
Sementara para penyintas ini ratusan ribu. Jadi dengan pendekatan ratusan ribu maunya bagaimana semua orang dapat saling berinteraksi. Itulah makanya dikenal dengan psikososial yang membuat aktivitas supaya para penyintas ini melupakan sejenak peristiwa yang ada, ya bisa diajak ngobrol atau dengan permainan atau olahraga/kegiatan tertentu. Sehingga mereka bisa cepat bangkit dari keterpurukan.
Bagaimana strategi manajemen dalam mengelola bencana di Palu ?
Yang pertama kita melakukan assessment yang meliputi peristiwa yang terjadi, di mana yang terkena tsunami, terkena gempa, likuifaksi dan longsor. Masing-masing akan dikelompokan. Nantinya dalam memberi bantuan akan berbeda-beda dalam artian sesuai kondisi.
Logistik kita ada ribuan ton, dialokasikan ke satu tempat, lalu didistribusikan sesuai SOP yang ada, dimana setiap korban bencana tidak bisa sembarang akses. Sebab ini berkaitan dengan manajemen.
Kemudian ada juga bantuan curah, ada bantuan paket sembako, paket peralatan rumah tangga.
Kalau awal kedatangan, ACT itu aksinya massal buat posko banyak. Data posko kita saat ini ada 225 sebaran. Terdiri dari satu posko induk, 16 posko wilayah yang tersebar di empat daerah terdampak, yaitu di Palu, Donggala, Sigi dan Parimo serta posko unit.
Kemudian ada dapur umum. Dapur umum ini kita buat posko karena ada manajemen. Jadi jangan dibayangkan membuat dapur umum ini sederhana. Dapur umum ini termasuk pekerjaan posko yang penuh tantangan.
Dapur umum ini ada yang melayani 2000 penyintas. Bisa dibayangkan bagaiamana cara menyiapkan menu makanannya setiap hari, disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat setempat dan memastikan semua dapat terpenuhi.
Jadi khusus dapur umum kita memang menghadirkan juru masak lokal. Sehingga kami bisa menjamin masakan dapur umum ACT terbaik dan paling enak karena melibatkan tenaga tukang masak profesional di daerah setempat.
Jadi untuk mendapatkan pahala kita nggak mesti jadi relawan, datang jauh-jauh cukup di Palu saja, jadi juru masaklah dan sebagainya. Makanya relawan ACT itu fleksibel.
Ada berapa dapur umum ACT saat ini?
Data terakhir kita sampai saat ini dapur umum ada sekitar 180. Kalau hitungan porsi, setiap harinya disediakan kurang lebih 50 ribu sampai 55 ribu. Ini bila dikalkulasikan hitungan awal penyintas sekitar 78 ribu jiwa yang nyaris 70 persen ditangani ACT dengan sekitar 2000-an juru masak.
Apa saja program ACT?
Ada posko Integrted Comunity Celter (ICS), ini termasuk program andalan kami yaitu pembangunan hunian nyaman, di dalamnya ada fasilitas perumahan atau unit tempat tinggal, ada fasilitas MCK , ada rumah ibadah, taman bermain anak, dapur umum, sekolah darurat, posko kesehatan dan sekretariat.
Selain itu juga ada ACT Humanity Store (AHS), bentuknya seperti minimarket. Ketika AHS ada, penyintas yang terdata dan lolos seleksi akan punya kartu semacam ATM yang bisa digunakan untuk mengambil sejumlah sekian paket barang. Biasanya bisa diambil pada kurun waktu atau jam tertentu.
Sudah berapa unit ICS yang telah terbangun. Berapa unit yang ditargetkan?
Lokasi pembangunan ICS sendiri sampai saat ini sudah ada 11 titik yang tersebar di daerah terdampak. Yang sudah terbangun dan telah ditempati penyintas ada lima lokasi, yakni ICS Duyu, Sibalaya, Dolo, Lolu dan ICS Wani.
Biasanya ICS kita itu tidak tunggu peresmian dulu, peresmianya nanti belakangan. Ketika huniannya sudah jadi, warga bisa segera menempatinya. Kita tidak ingin para penyintas terlalu lama tinggal ditenda-tenda.
Pertimbanganya yang masuk ICS ini telah melewati seleksi dan verifikasi baik dari kelurahan maupun ACT sendiri.
Kami menargetkan ICS sebanyak 5000 unit. Untuk tahap awal sekitar 1000 ICS dan Alhamdulillah sudah tercapai dengan 11 lokasi yang ada tadi.
Apakah dalam setiap lokasi ICS juga terdapat AHS-nya?
Kita lebih cenderung pada luas lokasi untuk pembangunan AHS. Makanya ICS kita ini rata-rata berada tidak jauh dari daerah pengungsiaan. Hitung-hitunganya kalau jauh dari pengungsian, bisa jadi nanti ICS ini akan kosong. Ketika ekonomi sudah berjalan, akibatnya mereka berhitung dengan biaya transport yang dikeluarkan.
Lokasi pembangunan ICS sendiri ini telah ditetapkan oleh pemerintah setempat. Ini kaitanya dengan kebijakan, ada syarat yang harus dipenuhi seperti kepemilikan lahan baik oleh pemerintah atau warga setempat yang tidak bermasalah hukum di kemudian hari.
Apa tantangan yang dihadapi dalam mengelola bencana ini dan bagaimana kriteria para relawan yang tergabung di ACT?
Tantangan pasti ada. Hanya saja kami tetap berusaha menjadi sempurna. ACT besar seperti ini karena kerja-kerja yang ikhlas. Jadi kami tidak melihat relawan ACT itu harus expert (ahli) semua. Karena pada dasarnya semua orang itu dapat berbuat untuk Palu. ACT itu milik semua orang. Jadi siapapun boleh masuk ACT.
ACT nyaris ada di semua aktifitas, bahkan kami juga terjun untuk recovery ekonomi, walaupun punya syarat.
Seperti apa recovery ekonomi yang akan dilakukan ACT?
Nanti kita akan menyesuaikan dengan kondisi lapangan. Kalau umumnya nelayan, ya nelayan. Jadi tidak bisa dipaksakan.
Bisa jadi dengan adanya gempa ini ada sektor ekonomi yang baru tercipta atau bangkit. Ini masih tahapan transisi recovery. Artinya kita penuhi kebutuhan dasarnya dulu, baru kita ke pemulihan ekonomi.
Apakah ada hal-hal tak terduga ditemui saat di lapangan?
Memang ketika bencana yang kompleks tadi serta segala aktivitas perekonomian lumpuh, otomotis terbayang dalam benak masyarakat itu ke pemenuhan kebutuhan, sehingga wajar terjadi penjarahan dan sebagainya untuk tetap survival (bertahan hidup), menyelamatkan diri masing-masing.
Inilah yang menjadi tantangan kami dalam memberikan bantuan agar benar-benar cermat dan teliti. Jangan sampai ketika kita menyalurkan bantuan, justru bukan membuat penyintas lepas dari penderitaan, tapi menimbulkan konflik atau persoalan baru.
Dalam memberi bantuan, ACT sering memperlakukan penyintas secara manusiawi, menghindari kerumunan orang atau antri. Makanya kadang didatangin. Kalaupun antri itu sudah ada kupony dan terdata.
Alhamdulillah sampai sekarang, walaupun kita sudah memberikan bantuan beribu-ribu ton, nyaris tidak ada peristiwa keributan atau orang terinjak-injak.
Bagaimana Anda melihat penanganan pascabencana di Sulteng ini?
Ini bencana yang nggak mudah. Kalau membaca dari media massa, orang bilang bencana Palu sudah tertangani dan teratasi dengan baik. Tapi faktanya, pembangunan huntara saja belum tercapai dari jumlah penyintas sekitar 70 ribu. Yang ada baru kisaran 3000, sisanya masih berada di tenda-tenda.
Artinya PR kita masih panjang. Belum lagi fasilitas untuk pendidikan, rumah ibadah. Masyarakat harus bersabar, masing-masing sudah harus mandiri. Bagi yang belum terdata agar melapor ke kelurahan atau desa agar pendataannya lebih baik lagi.
Dari Ibu Kepala Cabang ACT Sulteng, Nurmarjani Loulembah. Apa pesan-pesan yang ingin Anda sampaikan?
Yang paling penting dan harus dipahami masyarakat, bahwa baik bencana alam atau bencana kemanusiaan, bisa saja terjadi di mana dan kapanpun.
Dengan kejadian seperti di Sulteng baru-baru ini, kami dari ACT berharap ada konstribusi dari masyarakat terkait dengan bagaimana menyisihkan sebagian harta dan dananya guna disedekahkan, waqaf atau disumbangkan kepada lembaga-lembaga kemanusiaan.
Meskipun di saat seperti ini ada pemerintah yang tentunya akan membantu masyarakat dan bertanggung jawab, namun tidak menutup kemungkinan bahwa juga saat ini bantuan dari lembaga-lembaga kemanusiaan juga sangat diperlukan.
Sehingga dengan kedermawanan, diharapkan masyarakat bisa saling membantu.
ACT sendiri sebenarnya memiliki nilai-nilai, yaitu, kemanusiaan, kedermawanan dan kerelawanan.
Kemanusiaan. Kita mengharapkan adanya rasa kemanusiaan antar sesama, sehingga bisa saling membantu. Dalam bentuk kedermawanan, bisa dalam bentuk uang secara tunai, barang maupun asset seperti lahan dan lainnya.
Tentunya hal ini akan dilaksanakan dan dikelola oleh relawan-relawan, sehingga kita juga punya nilai kerelawanan atau volunteerism, karena masyarakat akan terbantu baik secara materi atau tenaga. (IKRAM)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.