Kemandirian Fiskal Rendah dan Kualitas Belanja Menurun

oleh -
Ekonomi (Ilustrasi)

Oleh: Moh. Ahlis Djirimu*

Ekonomi Sulteng yang tumbuh 13,06% pada kuartal III 2023, pertumbuhan ini merupakan pertumbuhan tertinggi kedua setelah laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Maluku Utara. Sayang bila hal ini hanya menjadi kebanggaan semu dan belum inlusif karena diikuti oleh kemiskinan meningkat dari 12,30 persen pada September 2022 menjadi 12,41 persen pada Maret 2023. Tingginya pertumbuhan ekonomi Sulteng pada kuartal ketiga 2023 didukung oleh semua komponen PDRB. Pada sisi pengeluaran kinerja ekspor masih tinggi, konsumsi rumah tangga semakin membaik sebagai konsekuensi proses pulihnya pendapatan masyarakat sehingga mendorong diversifikasi konsumsi, serta konsumsi pemerintah yang tumbuh positif. Pertumbuhan ekonomi Sulteng yang tinggi juga tercermin dari sisi produksi, terutama ditopang oleh Sektor Industri Pengolahan, kemudian diikuti sektor Pertambangan dan Penggalian, serta sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Selain itu berakhirnya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sejak akhir Desember 2022, serta pelaksanaan HBKN Idul Fitri dan Idul Adha juga menjadi katalisator perbaikan mobilitas dan konsumsi masyarakat di Sulteng, sehingga aktivitas ekonomi di Sulteng-pun terus membaik. Hilirisasi menjadi strategi tepat pada sektor industri pengolahan berbasis logam dasar nikel agar negara dapat memperoleh nilai tambah, walaupun hilirisasi belum optimal. Hal yang lumrah karena semua membutuhkan proses transisi yang wajib punya kepastian. Ketepatan waktu transisi menjadi kepastian dalam pembangunan. Penyiapan masyarakat lokal dalam menerima transisi industrialisasi perlu dilakukan karena industrialisasi berbarengan dengan urbanisasi.

BACA JUGA :  Menakar Starting Point Posisi Elektabiltas Paslon Gubernur dan Wagub Jelang Kampanye 2024 di Sulteng

Per November 2023, realisasi APBN Regional Sulawesi Tengah, Realisasi Pendapatan Negara mencapai Rp9.510,5,- miliar atau proporsinya dari target Pagu Penerimaan Negara sebesar Rp8.713,6,- mencapai 109,15 persen. Dari jumlah tersebut, dominasi Penerimaan Pajak mencapai Rp8.607,8,- atau proporsi Penerimaan Pajak mencapai 90,50 persen. Penerimaan Pendapatan berasal dari Pajak Dalam Negeri mencapai Rp6.671,9,- atau proporsinya mencapai 77,51 persen dari Penerimaan Pajak. Sedangkan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai Rp902,7,- miliar atau proporsinya terhadap realisasi Pendapatan Negara mencapai 9,49 persen. Sebaliknya, pada sisi Belanja, Realisasi Belanja mencapai Rp.22.031,1,- miliar atau proporsinya terhadap target 84,10 persen atau absolutnya mencapai Rp26.196,3,-

Kinerja APBN Regional Sulteng sampai dengan November 2023 memperlihat kinerja pertumbuhan seiring dengan transformasi ke arah pertumbuhan inklusif. Hal ini didorong oleh Penerimaan pajak menjadi kontributor terbesar terhadap penerimaan negara, utamanya didukung kegiatan ekonomi yang semakin baik pada pemulihan ekonomi pasca Covid yang menekankan strategi pemulihan ekonomi berbasis demand side agar tercipta atraktivitas produksi dan lapangan kerja. Penerimaan PNBP tumbuh sangat baik, bahkan penerimaannya sudah melampaui target, walaupun target tersebut juga telah dinaikan dari target awal Tahun 2023. Pertumbuhan belanja negara didorong oleh realisasi jenis belanja BPP, Serapan Transfer ke Daerah (TKD) tumbuh positif dan turut mendorong pertumbuhan Belanja Negara. Tingginya realisasi DAU, DAK Non Fisik, dan Dana Desa menjadi pendorong pertumbuhan dari sisi TKD, sekaligus mendorong atraktivitas ekonomi hingga ke perdesaan.

BACA JUGA :  Authority Bawaslu Sebelum Penetapan Calon dalam Pemilihan Kepala Daerah

Namun, kita harus mengkaji lebih jauh inklusivitas BPP tersebut. Sampai dengan November 2023 Kinerja APBD Sulteng, realisasi Pendapatan Daerah masih ditopang oleh Pendapatan Transfer dengan kontribusi 86,76% terhadap total Pendapatan Daerah atau realisasi per November 2023 mencapai Rp14.771,4-. Kontribusi TKD bagi APBD di Sulteng terbilang sangat tinggi. Dengan kontribusi rata-rata 80-90% terhadap total penerimaan daerah, menunjukkan pemda sangat tergantung dengan dana TKD. Selama pemberlakuan Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yakni UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999, UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004, hingga UU Nomor 23 Tahun 2014 dan UU Nomor 1 Tahun 2022 Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, Sulteng gagal memperlihatkan kemandirian karena belum menjalankan transformasi dari Money Follows Function ke Money Follows Program, Program Follows Result, apalagi menjalankan Money Follows Talent di samping paradigma belanja yang dianut, besar pasang ketimbang tiang. Tingginya pengaruh TKD juga terlihat dari gejolak realisasi APBD yang ada. Adanya kebijakan earmark DAU, kinerja APBD di Sulteng terus tertahan di arah yang negatif. Kinerja belanja operasional menjadi tumbuh negatif karena pendapatan mereka tidak cukup untuk membiayai belanja-belanja tersebut.

BACA JUGA :  Aspek Hukum, Polemik Larangan Kampanye atau Tindakan Pemerintah pada Norma Pasal 71 UU Nomor 10

Chance does not knock twice. Kesempatan hanya datang sekali. Anggaran besar dari Pemerintah Pusat mencapai 86,76 persen belum diikuti oleh kenaikan Indeks Kapasitas Fiskal dan Kualitas Belanja yang baik yang tercermin dari tujuh kabupaten yakni Buol, Donggala, Parigi Moutong, Poso, Sigi, Tojo Una-Una, Tolitoli, serta Provinsi Sulteng termasuk kategori Kuadran III yakni Indeks Kapasitas Fiskal Rendah dan Kualitas Belanja menurun kualitasnya. Sebaliknya, hanya Morowali yang mempunyai Kapasitas Fiskal tinggi dan Kualitas Belanjanya semakin meningkat. Walaupun Kapasitas Fiskalnya rendah, namun dua daerah kepulauan Sulteng mensyukuri nikmat transfer dari Pemerintah Pusat karena Banggai Kepulauan dan Banggai Laut mempergunakan relatif secara inklusif pada belanja publik yang bersentuhan langsung dengan masyarakat miskin. Sementara Kota Palu dan Banggai mempunyai Kapasitas Fiskal tinggi, tetapi belanjanya belum berkualitas sesuai indikator spending review. Belanja tematik dan spasial menjadi kebutuhan pokok bagi pemerintahan berikutnya.

*Associate Professor FEB-Untad