Keterbatasan pengetahuan mesin industri, disebut menjadi kendala minimnya serapan tenaga kerja lokal, di kawasan ekonomi khusus Palu. Sementara, hingga kini sarana pendidikan industri masih juga belum siap.
Ali Misi, warga Kelurahan Pantoloan, sedang bersantai di depan rumahnya yang berbatasan langsung dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Palu, menikmati hari libur kerjanya sebagai sekuriti di kawasan tersebut.
Usia Ali memang tidak muda, tapi perawakannya tampak kuat seperti penjaga keamanan kebanyakan. Ali bilang, hanya dengan modal itu dia bias tetap bekerja di sana sejak tahun 2016.
Tak punya keahlian lain, Ali “nerimo” saja bekerja di sana dengan gaji jauh dari layak. Padahal, dia bilang, di kawasan industri itu, urusannya bukan sekadar nongkrong di pos jaga pintu masuk, melainkan juga memastikan aset di kawasan itu aman.
Beruntung ada anggota keluarganya yang tinggal serumah dengannya, yang membantu menopang kehidupannya. “Gaji saya Rp500 ribu perbulan sejak 2016. Sebenarnya Rp550 Ribu, karena saya tidak punya kartu ATM jadi dipotong Rp 50 Ribu,” cerita Ali.
Situasi yang dialami Ali adalah kondisi yang jamak di Kecamatan Tawaeli, lokasi KEK Palu.
Camat Tawaeli, Mohammad Afandi Yotolemba, mengatakan situasi itu seperti sebuah anomali dan menunjukkan belum bermanfaatnya KEK Palu yang berlabel Proyek Nasional bagi masyarakat sekitar.
“Warga Tawaeli yang bekerja di KEK mayoritas sebagai sekuriti dan buruh kasar,” ungkap Afandi.
Padahal, kata Afandi, KEK Palu menjadi harapan masyarakat untuk meningkatkan perekonomian, terlebih setelah sebagian besar warga terdampak bencana alam pada tahun 2018 lalu.
Tercatat dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Palu tahun 2019, terdapat 4.624 kepala keluarga yang bermukim di lima kelurahan pada kecamatan sebelah utara Palu. Dari jumlah itu, sebanyak 1.775 tergolong keluarga pra-sejahtera berdasarkan data PKH Kota Palu tahu 2021.