PALU – Kunjungan Akademisi kondang, Rocky Gerung, pada Situs Budaya Pekuburan Pomene, Kelurahan Poboya, Kecamatan Mantikulore, berujung polemik di tingkat tokoh adat.
Sambutan masyarakat dan ketua adat yang mengenakan Siga (pengikat kepada simbol kebesaran masyarakat Kaili) kepada Rocky Gerung yang hanya bercelana puntung dinilai telah melanggar norma adat.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Adat Kelurahan Tondo, bahwa dalam hal pelaksanaan acara penyambuatan tersebut, penyelenggara dianggap lalai karena tidak mempersiapkan dengan baik, termasuk busana yang pantas dikenakan oleh Rocky Gerung yang akan disambut dengan acara pemasangan siga sebelum memberikan kuliah umum.
Menanggapi reaksi tersebut, salah satu pemuda adat yang juga menjadi panitia penyelanggara kedatangan, Rocky Gerung. Mohamamad Amin Panto, mengatakan bahwa kejadian tersebut mesti disikapi secara bijak, dan dia percaya tokoh-tokoh adat, khususnya Kaili Tara yang bermukim di wilayah Mantikulore, akan lebih bijak dalam menanggapi polemik tersebut.
Dia yakini, bahwa informasi yang diberikan kepada tokoh-tokoh adat kurang lengkap, sehingga tokoh adat yang menyikapi masalah itu hanya bersifat spontan mengatakan bahwa acara tersebut telah melanggar norma adat.
“Saya juga memahami dan menjunjung tinggi adat istiadat yang ada di Topotara. Sesuatu yang jelas dan nyata, salah tetap salah, dan yang benar tetap benar, tidak ada kompromi utk hal tersebut,” kata pria yang akrab disapa Amin itu.
Kata Amin, meskipun kehadiran Rocky Gerung di tanah Poboya, Kota Palu, dimaksudkan untuk memberikan kuliah umum, atau dalam rangka berbagi ilmu pengetahuan, khususnya dalam penguatan masyarakat dan pelestarian lingkungan hidup.
Dia menyadari, bahwa banyak pihak yang mungkin terganggu atas kehadiran Rocky Gerung di Pomene Poboya, karena lokasi tersebut merupakan areal perusahan tambang emas PT. CPM.
Amin mengaku, sebelum adanya pemberitaan yang menyalahkan penyelenggara. Pemuda adat Poboya, sudah melakukan pertemuan bersama tokoh-tokoh adat di daerah tersebut, dan hasil pertemuan tersebut disimpulkan bahwa bila ada pihak yang menganggap salah dalam pengenalan siga, maka pemuda adat siap untuk disalahkan.
Lanjut Amin, beberapa saat setelah pertemuan tersebut, ada warga yg menjemput ketua adat yang berdomisili di Kelurahan Tondo mendiskusikan pengenalan siga dan langsung membuat pernyataan untuk pemberitaan di media.
“Olehnya saya sangat mendukung upaya-upaya yang membuat aturan-aturan adat kita semakin kuat. Artinya bila memungkinkan dan diperlukan akan dibuat pertemuan untuk mendiskusikan penyelesaian masalah tersebut,” kata Amin.
Menurut Amin, pihaknya juga sudah melakukan komunikasi dengan tokoh adat lainnya (Totua Mombone adat) Hj. Norma Marjanu, yang saat ini menjabat sebagai Bendahara Badan Musyawarah Adat Sulteng, mengkonfirmasi terkait polemik tersebut.
Kata dia, Hj. Norma Marjanu, bahwa adat kaili mempunyai cara untuk menyelesaikan masalah dengan baik, bijak, adil dan mengayomi semua.
“Kami selaku lembaga adat di tingkat provinsi akan berkoordinasikanya baik di tingkat provinsi maupun di tingkat Kota Palu. Yang jelas kita akan bicarakan melalui libu nu ada. Sebab jangan sampai membuat keretakan sesama tokoh adat kita. Ini yang kita hindari, dan dengan libu nuada ini akan bisa lebih mencermati dan mengawasi pelanggaran-pelanggaran norma adat di tanah kaili dan di Sulawesi Tengah,” terang Amin mengutip Hj. Norma Marjanu.
YAMIN