Ketika menghadapi perang Badar, Rasullah SAW bermusyawarah dengan kaum Muhajirin dan Anshar, setelah sepakat barulah Beliau dan kaum muslimin menuju ke medan perang.
Setelah tiba di medan perang Rasulullah kembali bermusyawarah untuk kali kedua.
Para sahabat semua tahu bahwa hal-hal yang berhubungan dengan ibadah murni mereka akan taat dan patuh kepada perintah Rasullullah, namun sebaliknya terhadap perintah yang bukan bersifat ibadah murni seperti “siasat perang” misalnya mereka akan balik bertanya kepada Rasul.
Demikian yang dilakukan oleh Al Habbab Bin Al Munzir, ketika Rasullullah memerintahkan berhenti para pasukan pada tempat yang jauh dari sumber air.
Lalu Habbab bertanya kepada Rasul: “Apakah perintah berhenti di tempat ini datang dari Allah SWT yang tidak mungkin kami bantah atau perintah ini hanyalah pendapat pribadi dalam rangka berperang dan siasat.
Rasul menjawab: ini semata-mata pendapat pribadi. Habbab berkata lagi: Kalau begitu ya Rasullullah tempat ini tidak pantas sebagai tempat berhenti pasukan, lebih baik kita berhenti yang dekat dengan sumber air sebelum diduduki musuh.
Rasul menjawab, pendapat Habbab sangat tepat, lalu Rasul memerintahkan seluruh pasukan untu berpindah ke tempat yang ditunjuk Habbab al Munzir.
Begitu pentingnya masalah musyawarah dalam pandangan Islam sehingga satu di antara 114 surat dalam Al-Quran bernama “Asy Syura” artinya musyawarah.
Surat asy syura diturunkan di Mekkah ketika kaum muslimin masih merupakan kelompok minoritas di tengah-tengah kesombongan kaum musyrikin Quraisy yang mayoritas.
Rasullah juga mencontohkan kepada keluarga Muslim untuk senantiasa bermusyawarah dalam keluarga. Beliau biasanya mengajak istri-istrinya bermusyawarah dalam banyak urusan. Beliau sangat menghargai pendapat-pendapat mereka.
Dalam Alquran surat ath-Thalaaq ayat 6, Allah SWT juga mengajarkan umat manusia untuk bermusyawarah. ”Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka”.
Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”
Setiap pertimbangan dan pendapat dari para sahabat, senantiasa didengarkan dan disimak secara baik. Rasulullah SAW pun kemudian mengambil pendapat yang dinilai paling tepat. Kemudian, beliau memberi apresiasi kepada orang yang mengemukakan pendapat yang paling tepat itu.
Musyawarah yang dilakukan secara baik akan selalu berbuah kebaikan pula. Hal itu terjadi ketika umat Islam akan menghadapi serangan 10 ribu orang kaum kafir yang terdiri dari berbagai suku terhadap umat Islam di Madinah. Rasulullah SAW pun kemudian berunding dengan para sahabat.
Atas usul Salman Al-Farisi, seorang muslim asal Persia, Rasulullah lalu memutuskan untuk mempertahankan kota dengan cara membuat parit besar di sekeliling Madinah. Kaum Muslimin bekerja selama 20 hari untuk menggali parit besar di sekeliling kota. Hasilnya, umat Islam berhasil meraih kemenangan.
Ulama Syekh Yusuf al-Qaradhawi kerap berpesan agar umat Islam harus senantiasa tolong-menolong dalam hal yang disepakati dan bersikap toleran dalam masalah yang dipertentangkan.
Syekh al-Qaradhawi mengungkapkan, Nabi SAW pernah bersabda kepada Abu Bakar dan Umar RA, ”Jika kalian bersatu dalam suatu musyawarah, niscaya aku tidak akan menentang kalian berdua.”
Pertentangan dan perbedaan pendapat pun kerap terjadi di tubuh organisasi keislaman. Sesungguhnya, perpecahan tak perlu terjadi, apabila semua urusan diselesaikan dengan cara musyawarah, seperti yang diajarkan Rasulullah SAW. Bukankah, setiap Muslim adalah bersaudara? Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)