Penulis: Moh. Ahlis Djirimu

BEBERAPA waktu lalu, seorang kawan di pemerintahan daerah ini bertanya tentang fiskal, apakah fiskal itu hanya uang yang masuk? Penjelasan asimetris ini selalu muncul dalam sambutan Pemerintah Provinsi Sulteng dalam setiap event. Pertanyaan ini wajar saja, karena  setiap kali mereka disuguhi diskursus fiskal-fiskal melulu tanpa penjelasan yang utuh. Hal ini diperparah oleh salah kaprah bahkan dangkal memaknai fiskal. Kalimat, yang muncul seperti “alhamdulillah, fiskal kita bertambah”, yang bertambah itu pendapatan asli daerah (PAD), fiskal itu tataran kebijakan beserta instrumennya. Fiskal tidak semata-mata uang masuk, tetapi juga uang keluar. Uang masuk merupakan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pendapatan Transfer yang berasal dari Pemerintah Pusat, dan Lain-Lain Pendapatan yang sah. Ketiganya harus dikelola dengan baik agar kinerja tata kelolanya dapat berjalan baik. PAD Sulteng hanya 25 persen dari APBD. Selebihnya meminta ke Pemerintah Pusat yang bermakna Kemandirian Fiskal sangat rendah atau Ketergantungan Fiskal Sangat Tinggi. Kemandirian Fiskal tinggi membuat celah fiskal atau fiscal space sempit karena untuk membiayai target-target makroekonomi, minim dana pembangunan karena minim kreativitas mencari sumber PAD. Saat ini, telah tersedia Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.07/2021 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah. Kapasitas Fiskal Daerah adalah kemampuan keuangan masing-masing daerah yang dicerminkan melalui pendapatan daerah dikurangi dengan pendapatan yang penggunaannya sudah ditentukan dan belanja tertentu. Peta Kapasitas Fiskal Daerah adalah gambaran kemampuan keuangan daerah yang dikelompokkan berdasarkan Indeks Kapasitas Fiskal Daerah (IKFD). IKFD menunjukkan bahwa Provinsi Sulteng di Tahun 2020, Sulteng (IKFD) sebesar 0,278 poin termasuk kategori Kapasitas Fiskal Rendah sekelompok dengan Sulut (0,336 poin), NTB (0,448 poin), NTT (0,454 poin), Kepri (0,368), Kaltara (0,294 poin), Aceh (0,303 poin), Kalteng (0,392). Sembilan provinsi berada pada kategori IKFD Sangat Rendah termasuk dua provinsi di Sulawesi yaitu Sulbar dan Gorontalo. Sebaliknya, Provinsi DKI, Jabar, Jateng, Jatim berada pada kategori IKFD Sangat Tinggi. Sedangkan Kaltim, Banten, Sumut, Sumsel, Riau berada pada kategori Tinggi.

Di Sulteng, dua daerah yang mempunyai IKFD tinggi adalah Kabupaten Banggai dan Morowali dengan masing-masing koefisien IKFD 1,147 poin dan 1,093 poin. Kota Palu berada pada kategori “sedang” dengan IKFD 0,941 poin, atau terdegradasi dari kategori tinggi. Sedangkan Kabupaten Bangkep, Buol, Sigi, Banggai Laut berada pada kategori IKFD “Sangat Rendah”. Peta IKFD ini berguna bagi penetapan daerah penerima hibah dan penentuan besarnya dana pendamping bagi daerah jika dipersyaratkan, serta penggunaan lain sesuai ketentuan perundang-undangan berlaku. Bagi Sulteng, ada dua pilihan meningkatkan IKFG agar mencapai kategori Tinggi dan Sangat Tinggi. Pertama, optimalisasi PAD. Untuk maksud ini, Bapenda bersama Unit Pelaksana Tehnis Daerah (UPTD) tidak dapat bekerja hanya biasa-biasa saja. Bekerja berdasarkan indikator bahwa Pajak Daerah merupakan fungsi dari PDRB dan Retribusi Daerah juga merupakan fungsi dari PDRB. Indikator yang dicapai ditetapkan berdasarkan target yang ditetapkan sesuai pendekatan historis. Kedua, melakukan spending review.

Kapasitas Fiskal Riil merupakan PAD ditambah Lain-Lain Pendapatan Yang Sah dikurangi Belanja Rutin dibagi dengan jumlah penduduk miskin. Di Tahun 2020, Kabupaten Morowali mempunyai kapasitas Fiskal Riil paling tinggi mencapai Rp27,37,- juta per penduduk miskin, diikuti oleh Kapasitas Fiskal Riil Kabupaten Banggai Laut mencapai Rp22,29,- juta per penduduk miskin, lalu Kapasitas Fiskal Riil Kabupaten Banggai mencapai Rp21,08,- juta per penduduk. Sebaliknya, Kapasitas Fiskal Riil Rendah dialokasikan oleh Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong hanya sebesar Rp5,- juta per penduduk per tahun, diikuti oleh Kabupaten Donggala di aatasnya yang hanya mengalokasikan APBD sebesar Rp5,75,- juta per penduduk, serta Kabupaten Poso hanya sebesar Rp7,27,- per penduduk.

 Sulteng bagaikan pengemis nan dermawan. Saat ini, Pemerintah Provinsi Sulteng berusaha mencari sumber penerimaan baik dari pemerintah pusat maupun pihak asing, Sepertinya, Pemerintah Provinsi Sulteng belum sadar bahwa perekonomian sedang lesu, berbagai negara wait and see dalam belanja. Beberapa daerah fokus pada strategi ketersediaan pangan. Kita belum tersentak bahwa kapasitas Sulteng dalam menyediakan pangan telah terlampaui 2,59 juta ha atau setara dengan 42 persen. Angka ini bermakna, Sulteng bersiap menjadi importir pangan. Sebaliknya, uang keluar merupakan belanja. Pemerintah lupa dan belum berpikir strategis, bahwa daripada sibuk mencari sumber penerimaan, lebih baik mengamati dan mengawasi belanja, membandingkannya dengan target-target pembangunan yang tertuang dalam berbagai indikator pembangunan. Menteri Keuangan, pernah berkata, bahwa setiap Rp1 yang dibelanjakan, patut diketahui hasilnya seperti apa, apakah belanja tersebut berkualitas? Pengawasan atas belanja berada pada tataran fungsi pembinaan dan pengawasan, terutama Wakil Gubernur dan Sekretaris Provinsi selaku ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), apakah hal ini berfungsi? Sayangnya ini sama sekali jika tidak dilakukan. Ambil contoh, petunjuk pertama, mengapa terjadi Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) hingga Rp698 miliar yang meningkat dari Rp389 miliar? Bukankah hal ini BPKAD merencanakan SiLPA bagi pembiayaan berikutnya? SiLPA ini mengindikasikan adanya mismanagement dalam tata kelola keuangan daerah. Semakin mendekati nol SiLPA, maka semakin baik pengelolaan keuangan daerah. Bukan berarti jor-joran dalam belanja supaya mendekati nol, padahal belanjanya kurang menyentuh sasaran makroekonomi maupun sasaran spasial yakni seperti peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, penurunan angka kemiskinan, menyempitnya ketimpangan, meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM), menurunnya tingkat pengangguran terbuka (TPT), serta meningkatnya Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH). SiLPA berbeda dengan SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran).

Petunjuk kedua, pada Perubahan APBD Tahun 2022, di dalamnya perjalanan dinas meningkat dari Rp203 miliar menjadi Rp266 miliar. Logika menunjukkan bahwa masa pemerintahan Tahun 2022, tinggal 1 triwulan (Oktober-Desember 2022), mengapa perjandis meningkat hingga 31 persen? Nilai ini mencapai 15 persen dari total belanja, bahkan lebih besar proporsinya dari pemerintahan sebelumnya yang besarnya sekitar 12 persen dari belanja total. Bukankah pandemi covid-19 mengajarkan pada kita, interaksi pemerintah provinsi ke Pemerintah Pusat dan Pemerintah kabupaten/kota dapat dilakukan secara daring? Pemandangan lumrah terjadi di Sulawesi Tengah, bila perjalanan ke kabupaten atau perjandis dalam daerah, maka jumlah orang yang berangkat lebih sedikit daripada jumlah Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD). SPPD titipan menjadi hal yang biasa. Kewajiban membuat foto dan laporan perjalanan individu menjadi solusi dari tindakan kurang terpuji ini. Selain itu, perlu penyadaran kritis, bahwa perjandis keluar daerah secara langsung, sama saja penduduk Sulteng justru membantu kecepatan perputaran uang di daerah lain di luar Sulteng yang selanjutnya mendorong atraktivitas ekonomi daerah tujuan. Ada pandangan kritis dan logis, dari ASN di tingkat bawah yang menolak ketika diperintahkan oleh atasannya untuk melakukan perjandis keluar daerah tanpa alasan yang jelas atas nama koordinasi. Koordinasi dijadikan alasan melakukan perjandis. Pola pikir atasan seperti inilah yang benar-benar tidak mendukung pelaksanaan Reformasi Birokrasi, hanya memunculkan Repot Masih Birokrasi.

Petunjuk ketiga, dalam setiap mutasi maupun promosi aparat sipil negara (ASN) pada perangkat daerah tertentu, terutama pada eselon 2 tertentu diikuti pula tindakan mengubah area kerja dan gedung kantor melalui rehabilitasi gedung dan peralatan kantor yang dibiayai dari belanja operasi rutin. Ketika anggaran rehabilitasi kurang, maka kepala OPD akan mengambil dari anggaran bidang, sehingga jangan berharap tujuan pencapaian Misi yang didukung oleh OPD tersebut akan tercapai karena anggarannya pun diambil untuk rehabilitasi gedung dan peralatan kantor. Ada satu contoh kegiatan rutin lainnya yaitu Pengelolaan Taman Makam Pahlawan Nasional yang dialokasikan sebesar Rp100 juta. Di dalamnya, ada Perjandis dalam negeri sebesar Rp26 juta. Logika masyarakat awam pasti bertanya, untuk apa perjandis seperti ini? Pada suatu OPD terdapat kegiatan Koordinasi dan Penyusunan Laporan Capaian Kinerja dan Ikhtisar Realisasi SKPD setiap tahun mencapai Rp33 miliar. Sementara kegiatan yang sama pada OPD tertentu hanya mencapai Rp50 juta, Rp10 juta, bahkan Rp5 juta. Artinya, outputnya sama yakni dokumen laporan, tetapi acuan standarisasinya berbeda menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat awam. Solusinya, OPD dapat menyusun Kerangkat Acuan Kerja (KAK), sehingga terlihat output dan outcome kegiatan berupa laporan tetapi yang terjadi pemborosan anggaran.

Petunjuk keempat adanya bantuan hibah Belanja Bantuan Keuangan meningkat dari Rp8.605.835.376,00,- menjadi Rp30.400.605.545,00,- atau meningkat 253 persen. Bila Belanja Bantuan Keuangan (BKK) ini ke kabupaten, maka patut dikemukakan alasan-alasan pemberian BKK tersebut termasuk kepentingan strategisnya apa bagi pencapaian indikator kinerja daerah Provinsi Sulteng? Lalu, bagi kabupaten tersebut, adanya BKK ini sepatutnya diikuti oleh peningkatan indikator kinerja utama (IKK), indikator kinerja kunci (IKK) dalam perubahan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) kabupaten tersebut.

Petunjuk kelima, adanya hibah sebesar Rp14 miliar bagi penyelenggaraan musyawarah nasional organisasi kemasyarakat yang sempat menimbulkan perdebatan karena besarannya. Kinerja atraktivitas kegiatan UMKM menjadi satu dari beberapa kinerja ukurannya. Nilai tersebut setara dengan 103 Rumah Sangat Sederhana (RSS) bagi penyintas alumni 28S2018 di Desa Poi Kabupaten Sigi dari rencana Dinas Perkimtan mengalokasikan 150 RSS. Nilai ini setara dengan beasiswa bagi 175 ribu siswa SMA/SMK, setara dengan 4,6 km jalan, setara dengan rehabilitasi 619,68 km jembatan atau setara dengan 206,56 unit jembatan sederhana, setara dengan 16.275 ton benih, setara dengan 127.575 alokasi beras sejahtera, setara dengan 1.645 tunjangan guru di daerah terpencil, serta setara dengan KUR bagi 560 UMKM dan 96.250 kredit bagi Usaha Ultra Mikro (UMi).              

Pemerintahan ini, sepatutnya fokus juga pada Kualitas Belanja apakah tepat waktu, tepat administratif, tepat sasaran maupun tepat mutu melalui spending review. Jenis spending review bermakna dua yakni comprehensive spending review yang dilakukan dalam konteks fiscal stress yang bertujuan untuk melakukan major budget cuts (pemotongan anggaran besar-besaran). Kedua, selective spending review yang dilakukan dalam konteks kondisi normal yang bertujuan untuk melakukan pembatasan pengeluaran. Karakteristik spending review mencakup lima hal. Pertama, spending review tidak hanya menilai efisiensi dan efektifitas program, tetapi konsekuensi dari output/outcome yang dicapai apabila dilakukan budget cut/reallocation. Kedua, hasil dari spending review menjadi input bagi proses penganggaran berikutnya. Ketiga, lintas OPD, sehingga diperlukan adanya central leadership apabila muncul keengganan Pemerintah Provinsi Sulteng melakukan spending review. Keempat, urgensi spending review tidak hanya digunakan dalam rangka pengukuran penentuan alokasi baseline, namun juga diperlukan untuk penentuan prioritas belanja pemerintah. Kelima, spending review dilakukan secara institusional pemerintah dan harus mendapat dukungan dari legislatif. Karena spending review adalah alat untuk mencapai tujuan manajemen pengeluaran publik, dan untuk mengevaluasi kinerja pemerintah, yang hasilnya dijadikan rekomendasi untuk pelaksanaan anggaran pemerintah tahun berikutnya agar lebih efektif dan efisien sehingga akan meningkatkan value for money, maka fokus pengukuran kinerja anggaran dalam spending review mencakup efisiensi keseluruhan, efisien alokasi dan efisiensi tehnis. Efisiensi agregat bermakna pengendalian pengeluaran agregat dalam rangka pencapaian tujuan makroekonomi. Efisiensi ini diukur melalui konsistensi pengeluaran agregat dengan kerangka makroekonomi dan terciptanya kesinambungan fiskal. Efisiensi alokatif bermakna sumberdaya yang dimiliki pemerintah dialokasikan terhadap program yang memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat atas uang yang dibelanjakannya. Efisiensi ini diukur melalui efektivitas dan relevansi program. Efisiensi tehnis bermakna pelayanan pemerintah disediakan pada biaya yang terendah, konsisten dengan kualitas yang terjaga. Efisiensi ini diukur melalui efisiensi atau rasio ouput/input terendah.

Dalam konteks Sulteng, reviu pelaksanaan anggaran bertumpu pada Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 Pasal 131, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) dapat melakukan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan anggaran belanja Kementrian Negara/Lembaga. Selain itu, reviu pelaksanaan anggaran dilatar belakangi oleh usaha memastikan pengelolaan APBN/APBD yang dilaksanakan K/L maupun dan Satuan Kerja (Satker) di daerah dapat berjalan baik. Namun, fenomena yang terjadi selama ini yakni penyerapan anggaran cenderung masih menumpuk di akhir tahun serta masih banyaknya kendala dan permasalahan dalam pelaksanaan anggaran K/L dan Satker di daerah. Inilah fenomena idle money uang mengendap dan uang yang diendapkan stres karena telat digunakan.

Tujuan penyusunan reviu pelaksanaan anggaran yaitu pertama, mengidentifikasi pelaksanaan anggaran dari level unit Satker daerah sampai ke level K/L. Kedua, menghasilkan rekomendasi kebijakan, strategi implemetasi, mekanisme pelaksanaan anggaran yang bersifat tehnis dan aplikatif, serta ketiga, menilai pelaksanaan anggaran apakah telah dilaksanakan dengan baik, mencapai target keluaran, memenuhi tujuan, memberikan dampak seperti yang diharapkan. Indikator kinerja yang digunakan mencakup penyerapan anggaran, penyelesaian tagihan, data kontrak, penyampaian LPJ Bendahara, revisi DIPA, Pengembalian/Kesalahan SPM, Return SP2D, Dispensasi SPM, Renkas RPD harian, Pagu Minus, dan lain-lain. Indikasi inefisiensi dikaji melalui kelebihan alokasi yang dapat menyebabkan anggaran diserap atau sumberdaya digunakan lebih dari yang dibutuhkan. Selain itu, adanya ketidakwajaran yakni alokasi yang melebihi ukuran kelayanan normal. Fenomena lain yakni duplikasi yakni dalam satu program terdapat dua kegiatan dengan output yang sama, atau dalam satu kegiatan terdapat dua komponen yang sama. Selain indikasi efisiensi, reviu alokasi dilaksanakan melalui “einmalig” yakni program/kegiatan yang berdasarkan sifat/tujuannya hanya perlu dilaksanakan satu kali dan tidak perlu diulang/dilanjutkan pada tahun berikutnya. Contohnya Penyusunan Master Plan, Pemasangan AC Sentral, Penyusunan Renstra SKPD hanya dilakukan sekali dalam lima tahun, tetapi dilakukan setiap tahunnya, rehabilitasi Gedung dan peralatan kantor dilakukan terlalu cepat, dan sebagainya. Singkatnya, buat apa mencari-cari sumber dana pembangunan yang tidak pasti, lebih baik memanfaatkan APBD yang ada di depan mata dengan mengoptimalkan belanja berkualitas agar tepat waktu, tepat mutu, tepat administrasi, tepat sasaran, serta selaras dengan dokumen perencanaan dan penganggaran. Spending Review menunjukkan bahwa boros anggaran di Sulteng pernah terjadi di Tahun 2016 sebesar Rp1,6,- miliar. Lalu bagaimana, dengan pemerintahan pada periode aktual? Tetap terjadi boros anggaran, dan menjadi hal yang biasa dilakukan karena tidak mempunyai sense of crisis dengan keadaan dunia yang melesu membuat penerimaan negara berkurang.  

Moh. Ahlis Djirimu, Associate Professor Ilmu Ekonomi FEB-Untad