OLEH : Jayadin, S.H*
Mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa dimana dalam proses penyelesaian sengketa ini turut dilibatkan pihak ketiga sebagai penengah diantara para pihak.
Penengah ini sering disebut sebagai mediator yang bertugas untuk memfasilitasi proses penyelesaian sengketa.
Mediator pada prinsipnya harus bersifat imparsial dan tidak dapat memberikan putusan terhadap suatu masalah. Para pihak yang bersengketalah harus menemukan jalan perdamaian.
Mediasi dulunya digunakan sebagai alternatif untuk menyelesaikan masalah-masalah privat, namun baru-baru ini kebijakan mediasi untuk menyelesaikan sengketa pada hukum positif juga masuk pada ranah public.
Pada ranah privat, tentu masalah yang menjadi objek untuk diselesaikan melalui mediasi mempunyai karakter, sifat serta ciri tersendiri, seperti masalah hukum kewarisan, hukum kekayaan intelektual (HAKI), hukum keluarga, kontrak/perjanjian dan bisnis.
Sementara pada ranah hukum publik, setiap masalah pasti selalu berkaitan dengan kepentingan umum, di mana negara berkempentingan untuk menjaga kepentingan umum tersebut seperti masalah kejahatan dan pelanggaran yang diatur dalam hukum pidana serta sengketa yang lahir akibat adanya tindakan/keputusan yang dikeluarkan pejabat tata usaha negara yang ditemukan dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dari semua masalah di atas, tentunya memiliki karakter, sifat dan ciri yang kemudian dari setiap masalah itu membawa konsekuensi hukum dan akibat hukum tersendiri.
Masalah juga memiliki makna semantik seperti menurut JJ. H Bruggink bahwa setiap masalah pasti membawa suatu peristiwa, keadaan serta perbuatan.
Jika memang demikian tentu masalah atau objek memiliki karakter, sifat dan ciri. maka tentunya setiap masalah pasti memiliki mekanisme penyelesaiannya sendiri.
Objek Sengketa di Bawaslu
Undang Undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum dalam pasal 466 mengatakan bahwa sengketa proses pemilu meliputi sengketa yang terjadi antar peserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU, Keputusan KPU Provinsi dan Keputusan KPU Kabupaten/Kota.
Terhadap norma ini pada setiap proposisi kaidahnya memberikan nilai indikatif dan juga konjungtif.
Seperti kaidah atau kalimat pada tahap proses pemilu, indikasi serta konjungtif dari kaidah ini menunjukan informasi yang lebih dari satu kategori.
Kategori proses pemilu mengacu pada tahapan di PKPU Nomor 3 tahun 2022 tentang tahapan dan penyelenggaraan pemilihan umum.
Begitupun terhadap subjek atau para pihak yang dimaksud pada kaidah Pasal 466 tersebut baik itu peserta pemilu maupun penyelenggara pemilu memiliki muatan informasi yang mengacu pada proposisi yang masing-masing diatur dalam UU Pemilu maupun Peraturan KPU.
Terhadap kaidah ataupun proposisi kalimat Keputusan KPU dalam Pasal 466 di atas, juga memberikan nilai indikatif dan juga nilai konjungtif.
Secara terminologi Keputusan KPU dapat juga dikategorikan sebagai beschikking (ketetapan) dalam hukum administrasi negara. Indikatifnya dapat juga kita ketemukan proposisi kalimatnya dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam pasal 1 ayat 3 memberikan karakter, sifat dan ciri beschikking dengan kategori bahwa Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis, dikeluarkan oleh pejabat TUN, yang berisi Tindakan hukum, kongkrit, individual, final serta menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum.
Kaidah atau proposisi Keputusan TUN yang mana juga di terminologikan dalam lapangan hukum administrasi negara disebut sebagai beschikking juga merupakan rangkaian akhir dari prosedur administrasi.
Ini berarti Keputusan KPU pada setiap tahapan pemilu dapat juga dikategorikan sebagai rangkaian akhir dari setiap proses tahapan pemilu itu.
Di samping itu, Bawaslu sendiri sebagai lembaga pengawas pemilihan umum memiliki kewenangan untuk menyelesaikan setiap pelanggaran yang terjadi pada setiap proses tahapan pemilu. Sehingga dari Pasal 466 ini informasi apa yang dapat diambil oleh bawaslu untuk mendisain mekanisme dalam menyelesaikan sengketa proses pada setiap tahapan pemilu?
Proses Sengketa di Bawaslu
Terhadap Pasal 466. Bawaslu sendiri menggunakan mekanisme mediasi maupun ajudikasi untuk menyelesaikan proses pada setiap tahapan pemilu, ini dilakukan untuk meyelesaikan masalah seperti terhadap objek pertama, adanya perbedaan penafsiran atau ketidakjelasan tertentu mengenai kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilu.
Kedua, adanya pengakuan, penolakan dan penghindaran antara peserta pemilu, dan ketiga, adanya keputusan KPU baik provinsi maupun kabupaten/kota (ini diatur dalam pasal 4 ayat 1 Perbawaslu Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum).
Jika dicermati objek pertama dan kedua yang dapat diajukan dalam sengketa proses di Perbawaslu ini, masih masuk pada kaidah yang memuat peristiwa, perbuatan dan keadaan yang bisa saja terjadi pada setiap prosedur dari tahapan proses pemilu dan menempatkan bawaslu berwenang dan juga memiliki kompetensi untuk menyelesaikan objek tersebut.
Namun pilihan dan disain bawaslu melalui Peraturan Bawaslu Nomor 18 tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum.
Dalam pasal 4 ayat 1 menempatkan Keputusan KPU sebagai objek sengketa yang dapat diselesaikan melalui mekanisme mediasi oleh bawaslu.
Inilah yang menjadi problem, sebab dalam konteks hukum administrasi negara atau dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Keputusan KPU yang diterminologikan sebagai beschikking, merupakan kompetensi atau kewenangan dari Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan mengadilinya.
Jika memang ini dilakukan oleh Bawaslu, lalu bagaimana proses pemeriksaan yang dilakukan bawaslu apakah mungkin bawaslu selaku mediator menguji Keputusan KPU yang sudah mempunyai kekuatan hukum mengikat dan mempunyai akibat hukum.
Bukankah objek Keputusan KPU ini masuk pada ranah kompetensi absolut peradilan Tata Usaha Negara.
Kompetensi merupakan pintu masuk bagi pengadilan untuk menilai dan memutus keabsahan suatu objek norma atau tindakan hukum ketika berhadapan dengan fakta, sebagaimana menurut Subekti kompetensi dimaknai sebagai kewenangan untuk mengadili suatu perkara.
Memang kebijakan penggunaan mediasi ini sudah banyak diterapkan seperti di lembaga Peradilan, Kejaksaan, Kepolisian dan Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, namun pilihan itu jangan sampai keliru apalagi sampai melewati batas kompetensi suatu lembaga lain.
*Penulis adalah Advokat, Konsultan Hukum