Peristiwa Bom di Sari Club
Ni Luh Erniati berjumpa dengan mendiang suaminya I Gde Badraman saat bersama-sama kerja di Sari Club’. Setamat SMA Erniati yang lahir di Singaraja memutuskan untuk mencari kerja di Sari Club’ Denpasar.
Dari pertemuan di tempat kerja, itulah benih-benih cinta keduanya tumbuh bersemayam di hati, sehingga akhirnya memutuskan menikah serta melahirkan dua putra.
Naas, peristiwa bom Bali tersebut, menjadi sejarah kelam dan titik balik dalam hidupnya. Kebahagiaan hidup bersama mendiang suaminya I Gde Badraman, hilang terenggut seketika atas peristiwa yang merenggut ratusan jiwa itu.
Apalagi kala itu, anak-anaknya masih kecil. Anak pertamanya berusia 9 tahun dan pendiam, sedang anak keduanya berumur 1,5 tahun belum tahu apa-apa.
Peristiwa bom Bali itu terjadi, Sabtu 12 Oktober 2002. ” Sekitar pukul 11.00 WITA, Erniati bersama kedua anaknya yang sedang tidur pulas, dikejutkan oleh suara ledakan sangat keras. Dalam pikirannya, ledakan itu merupakan gardu listrik yang meledak.
” Tidak ada pikiran sama sekali itu bom apalagi saat itu Bali dikenal aman,” kata Erni membuka memorinya kembali atas peristiwa bom tersebut kepada para jurnalis di berbagai daerah dalam pertemuan daring tersebut.
Erni menceritakan, sampai beberapa waktu kemudian teman-teman kos di sekitarnya berhamburan dan kembali pulang.
Erni yang berada di dalam kamar mendengarkan pembicaraan di luar kos, bahwa sepanjang jalan Legian itu banyak terdapat potongan-potongan tubuh korban, akibat ledakan bom.
Mendengar hal itu, Erni lalu keluar kamar, sesampai di luar mereka diam dan tak melanjutkan pembicaraan.
Mereka hanya menanyakan satu hal, ibu, bapak kerja, lalu dijawabnya “Iya”. Pembicaraan itu terhenti kembali, sampai Erni masuk kamar dan mereka bercerita kembali atas peristiwa bom meledak tersebut.
Hal Itu membuatnya drop, dalam hati Erni hanya berdoa, sampai akhirnya Erni tidak sadarkan diri, lalu terbangun karena deringan telepon, dari salah satu rekan kerja suaminya.
Dari balik telepon, teman suaminya itu menanyakan perihal keberadaan suaminya. Erni lalu menjawab bahwa suaminya belum pulang. Ia lalu meminta tolong kepada penelepon tersebut, untuk membantu mencarikan suaminya.
Erni tidak bisa berbuat apa-apa, anaknya yang masih kecil ditambah tidak ada kendaraan memilih menunggu di kos.
Suaminya yang biasa pulang pukul 02.00 WITA , tapi sampai pukul 04.00 dini hari, bahkan sampai pukul 07.00 WITA pagi hari tak kunjung tiba dan pulang ke kos.
Seketika pikirannya bergelayut tak karuan, bagaimana untuk membayar kos membelikan susu untuk anak-anaknya dan lainnya sedang dirinya memiliki uang dan punya siapa-siapa atau keluarga di Denpasar.
“Sebab ‘suaminya membawa semua uang ke Sari club, yang biasanya pada malam itu banyak bule-bule menukarkan dolarnya ke rupiah,” katanya.
Sampai akhirnya, pikirannya yang bergelayut tak karuan tersebut, dikejutkan, tetangga kosnya, menawarkan diri, membantu dirinya untuk mencari suaminya di Sari club dan anak-anaknya dititipkan kepada teman kos lainnya.
Sepanjang jalan menuju Sari club, Erni melihat potongan-potongan tubuh manusia berjejaran di jalan, tidak utuh sebagaimana tubuh manusia
Sesampainya di Sari club Erni melihat banyak kerumunan massa yang hanya ingin menyaksikan, puing-puing kehancuran dari aksi bom tersebut.
Dirinya sempat marah, kerumunan orang itu diterobosnya, bahkan garis polisi yang dipasangpun diterobosnya, hanya ingin melihat kondisi suaminya, sampai seorang polisi mencegatnya dan menenangkannya untuk mengecek ke rumah sakit (RS) Sanglah.
Sepanjang jalan, Erni singgah dan bertanya di setiap Puskesmas yang mereka lalui kalau ada data nama suaminya, begitupun sampai di RS. Sanglah. Namun hasilnya nihil.
Erni lalu memutuskan untuk pulang kembali ke Singaraja, atas ajakan keluarganya dan setiap ada waktu kesempatan dirinya ke Denpasar, sekadar ingin mencari informasi keberadaan suaminya.
Sampai 4 bulan kemudian, akhirnya mendapat telepon dari bagian forensik rumah sakit Sanglah, bahwa suaminya sudah teridentifikasi, dirinya yang selama ini getol mencari informasi keberadaan suaminya, tapi setelah mendapatkan telepon, seakan lemas, tak berdaya.
Ia lalu bertanya kepada dokter tersebut, bagaimana kondisi suaminya, dokter menjawab 70 persen sudah tidak dikenali. Dan setelah melihat kondisi suaminya, membuat dirinya yakin bahwa tubuh yang berada di ruang jenazah tersebut adalah suaminya dari ciri-ciri yang dikenalinya. Hal ini diperkuat dari hasil DNA (deoxyribonucleic acid).
Kematian suaminya, membuat Erni menjalani kehidupan sehari-harinya penuh masa sulit, status janda disandangnya, usianya masih tergolong muda, apalagi tradisi Bali, bila ia menikah, maka hak asuh anak akan kembali kepada keluarga suami.
Hal ini tak diinginkannya, sebab dia kurang yakin bahwa anak-anaknya bisa bahagia seperti sebahagia saat bersamanya. Akhirnya keputusannya membesarkan anak-anaknya sendiri, bahkan banyak keluarga yang sanksi akan hal tersebut.
Namun seiring waktu berjalan, Erni terus menyembuhkan dirinya dari trauma dan belajar untuk memaafkan, mempelajari keterampilan menjahit.
Hingga akhirnya Erni dapat, membesarkan anak-anaknya dari hasil menjahit serta mengantarkan anak pertamanya lulus di perguruan tinggi dengan jurusan analisis kesehatan. Sementara anak keduanya masih menempuh pendidikan di perguruan tinggi dengan jurusan akuntansi.
Tidak terasa puluhan tahun masa-masa sulit itu dapat dilaluinya dan bangkit dari keterpurukan, sehingga dapat memaafkan pelaku terorisme dan berteman dengan pelaku terorisme yang lainnya yang telah insaf dan bertobat.
Erni berharap serta membuat komitmen bersama kepada pelaku pelaku terorisme tersebut untuk jadi agen perdamaian.
“Cukuplah diri dan keluarganya menjadi korban aksi terorisme, tidak usah ada korban lainnya, mari kita terus memberikan pesan damai kepada semua, tak ada satu agamapun yang mengajarkan pembunuhan,” pungkasnya.
Betapa, aksi terorisme tersebut berdampak besar pada kehidupan Erni dan keluarganya. Begitupun korban lainnya, baik secara sosial, psikologi maupun ekonomi.
Untuk sampai pada tahap memaafkan terhadap pelaku, bagi Erni tidak mudah cepat, melalui proses cukup sulit, perlu kelapangan dada dan kebesaran jiwa.
Erni bersyukur, AIDA turut memberikan warna dan andil dalam proses pemulihan trauma dan keterpurukan hidup atas kematian suaminya pada peristiwa Bom Bali I tersebut.
Erni hanyalah salah satu bagian dari korban aksi terorisme di tanah air, masih banyak korban-korban lainnya yang mungkin memiliki cerita mengharu biru kan dan belum bisa berdamai dengan kenyataan hidup dialaminya, maupun memaafkan pelaku terorisme. (IKRAM)