Kekerasan berlatar belakang idiologi memang sukar dibendung. Benih-benihnya akan membesar menjadi sebuah paham berbahaya bernama radikalisme. Apalagi, jika sudah ditunggangi kepentingan lain yang memanfaatkan akar masalah, yang kecil dan seharusnya mudah diselesaikan.
Beberapa tahun belakangan ini, wilayah Sulawesi Tengah menjadi pusat perhatian dunia, saking tingginya angka kekerasan dan merebaknya paham radikalisme.
Penghujung tahun 1998, tepatnya di awal-awal reformasi, menjadi titik tumpu (milestone) senarai kekerasan bernuansa SARA di Sulawesi Tengah. Sejak saat itu, susul menyusul aksi kekerasan terjadi di Sulawesi Tengah dengan Poso menjadi episentrumnya. Pertengahan tahun 2000 adalah milestone terbesar dari sisi jumlah korban yang jatuh.
Kerusuhan Poso seakan menjadi “inspirasi” bagi kasus-kasus kekerasan dan aksu terror berikutnya. Fenomenanya seakan susul menyusul, antara lain penyerangan di Desa Maranatha, Kabupaten Donggala (Tahun 2004), pembunuhan terhadap Helmy Tombiling di Poso (Tahun 2004), penembakan dua siswi di Poso dengan korban Ivon dan Siti, peledakan bom di Pasar Sentral Poso (Tahun 2005).
Selanjutnya, penembakan terhadap Briptu Agus Sulaeman, Sugito, dan Budiyanto di Poso (Tahun 2005) dan penembakan terhadap Kapolres Poso AKBP Rudi Sufahriadi (Tahun 2006), kemudian pengeroyokan terhadap Bripda Dedy Hendra (anggota Polmas Tegalrejo, 11 Januari 2007).
Skalanya juga meluas. Tak hanya di lingkup Bumi Sintuvu Maroso itu saja, Kota Palu yang menjadi sentra pemerintahan provinsi ini juga tak luput dari sasaran teror. Mulai dari penembakan Dosen Universitas Tadulako (Untad) Puji Sulaksono dan istrinya, ledakan bom di Pasar Daging Babi di Maesa (tahun 2005) yang menewaskan delapan orang, penembakan Irianto Kongkoli MTh di Toko Bangunan Sinar Sakti Palu pada 2006, menyusul teror bom di Kantor PT Utama Taksi Kelurahan Tondo, Kecamatan Palu Utara (Tahun 2009), penembakan tiga polisi di Kantor BCA Palu (Tahun 2011) dan penembakan ke Polsek Palu Selatan (Tahun 2013) serta penembakan di STQ Jalan Soekarno Hatta (Tahun 2017).
Selaksa peristiwa kelam bertumbal nyawa itu memang berpotensi terus terjadi, kapan dan di mana saja.
Geliatnya akan mengecil, manakala semua elemen masyarakat ikut terlibat meredamnya. Apalagi, Sulawesi Tengah ternyata memiliki kearifan lokal untuk menangkal pelbagai bentuk kekerasan ini.
Suku Kaili, suku terbesar di Palu dan sekitarnya ternyata memiliki itu. Kearifan lokal warisan leluhur, dipandang tepat mengatasi bentuk-bentuk intoleransi yang berkembang di masyarakat.
MANFAAT KEARIFAN LOKAL, SISI AKADEMIS DAN BUDAYA
Budayawan, sekaligus akademisi, Tjatjo Saichu Atja mengatakan, ada banyak kegiatan kearifan lokal bisa dibuat supaya terjadi keakraban, merasakan kebersamaan, merasakan persatuan, senasib, merasa sama-sama suku, merasa sebangsa dan setanah air.
“Ada banyak kearifan lokal mulai dari peribahasa, ungkapan, petatah dan petitih sebagai penangkal kekerasan komunnal,” katanya kepada MAL, belum lama ini.
Budayawan lainnya, Jambrin Abubakar, berpendapat, perlunya memungsikan kembali tatanan adat, yang saat ini dinilainya sudah mulai cenderung masuk dalam ranah politis.
“Adat itu bukan urusan politik, tetapi urusannya budaya yang dapat mempersatukan,” kata Jamrin.
Menurut alumni Universitas Tadulako ini, hal itulah yang seharusnya dilakukan dalam menangkal paham radikalisme dan terorisme.
“Namanya adat pasti semua mengurus soal yang positif seperti keberagaman, perbedaan yang mengarah pada persatuan dan kesatuan,” tekan Jamrin.
Untuk itu, dia menyarankan kepada dewan adat untuk diberi kewenangan tersendiri dalam menangani setiap persoalan yang timbul dalam masyarakat.
Terpisah, Ketua Lembaga Adat Kelurahan Boyaoge, Kecamatan Tatanga Samran D. Roja mengatakan, guna mencegah tumbuhnya paham radikalisme, maka perlu dilakukan ritual tolak bala.
Di Kota Palu, kata dia, dulu-dulunya selalu mengadakan ritual tolak bala seperti manuru anitu, manuru viata, dan manuru to manuru.
“Ritual tolak bala ini dibuat selama kurang lebih dua hari tiga malam. Pada malam puncak, semua warga dari kampung lain bersama-sama membawa nasi empat macam serta buah-buahan yang manis dan dimakan bersama. Dari situlah terjalin silaturahim dan keakraban,” imbuhnya.
Dari sisi akademis, Dosen Untad Muhammad Marzuki berpandangan, kearifan lokal yang ada menjadi wisdom (kebijaksanaan) serta nilai dalam hidup bermasyarakat.
“Penghargaan terhadap sesama, ikatan-ikatan kekerabatan yang kuat, kejujuran semua nilai-nilai arif masyarakat kita. Hal ini bisa kita pakai untuk memperkuat solidaritas sosial kita dalam menangkal radikalisme,” terangnya.
Jadi, kata dia, kekuatan nilai dasar yang sudah melekat -seperti masyarakat yang terbuka dan menerima semua orang, kemudian mendudukan orang dengan sama- bila dikembangkan, maka radikalisme tidak bisa tumbuh.
“Karena salah satu factor tumbuhnya radikalisme adalah karena ada ketimpangan, merasa disingkirkan dan merasa orang tidak diakui dalam komunitas sosial. Dia pasti akan berpikir mencari nilai baru yang termanfaatkan menjadi radikal,” jelas Marzuki.
Akademisi lainnya, yang juga Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sulawesi Tengah, Jamaludin Mariadjang memandang, kearifan lokal berdasar pada budaya setempat, kebiasaan-kebiasaan untuk selalu memelihara solidaritas dan hubungan masyarakat.
“Seperti kesenian rakyat. Bentuknya bermacam-macam. Jadi jangan dianggap remeh, dalam kegiatan seni itu selalu membawa suasana solidaritas di masyarakat,” terangnya.
Sehingga kata dia, tidak ada masyarakat atau orang-orang yang merasa disingkirkan dalam pergaulan.
Mantan Sekretaris Jenderal Pengurus Besar (PB) Alkhairaat itu menambahkan, ritual barzanji, diba, sholat berjamaah, pertemuan yang membicarakan soal nilai-nilai, semuanya bisa dijadikan untuk menjaga keakraban dan hubungan keseharian antar warga.
“Kalau orang tua dulu tadarrusan atau barzanji dari rumah ke rumah. Hanya saja, sekarang barzanji lebih didominasi kaum hawa, orang tua laki-laki dan anak-anak muda tidak diikutkan,” katanya.
Menurut Jamal, kearifan itu memang bermakna pada kemampuan masyarakat dalam mengatur hubungan-hubungan mereka dengan menjaga kedamaian, kelestarian, ketertiban, dan saling menolong.
“Coba kita lihat dan perhatikan di daerah, tingkat solidaritas dan keakraban tinggi, sehingga masalahnya kurang. Keakraban warga itu bisa didapatkan dari kegiatan-kegiatan dilakukan bersama,” jelasnya.
Di titik ini, kata Jamal, diperlukan fungsi pemimpin masyarakat, seperti tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda dan lainnya untuk selalu berusaha menumbuhkan suasana saling memperhatikan dan menolong, supaya orang merasa menjadi bagian dari masyarakat setempat.
“Peran pemimpin sangat penting, seperti ustad-ustad mengatur ritual keagamaan, misalnya setiap usai sholat magrib sampai sebelum sholat Isya membaca zikir/wirid ratibul hadad,” katanya.
Wadek III Fakultas Sastra, Universitas Alkhairaat (Unisa), Masamah Amin Syam, mengatakan, budaya yang dianut merupakan budaya ketimuran yang penuh nilai-nilai kesantunan, ramah tamah, saling menghargai, menghormati, rukun, dan memegang teguh prinsip nenek moyang.
“Kalau faham budaya otomatis jauh dari tindakan radikal dan terorisme. Di sekolah-sekolah pun telah ditanamkan pendidikan karakter,” ujarnya.
Untuk pencegah timbulnya paham-paham kekerasan, maka perlu ditanamkan sejak dini pendidikan agama kepada keluarga, nilai-nilai luhur tidak nyeleneh, bisa dengan diskusi, pertunjukan teater, tari-tarian, lagu-lagu, pendidikan sastra yang ada muatan edukasinya.
MENANGKAL RADIKALISME DARI SISI RELIGI
Ketua Màjelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Palu, Prof. Zainal Abidin mengatakan, untuk menangkal radikalisme, MUI secara kelembagaan telah melakukan beberapa program kerja, seperti Palu Subuh Berkah (PSB) dan Palu Magrib Berkah (PMB).
Dalam PSB, kata dia, diajarkan berbagai pandangan dan aliran mazhab, dalam rangka menjaga masyarakat untuk tidak bersikap intoleransi dalam memahami sebuah àjaran agama, termasuk Islam.
“Di sini kita diajarkan untuk tidak merasa diri paling benar. Pendapat mazhab yang kita berikan adalah alternatif di antara pendapat-pendapat tersebut, silahkan dipilih salah satunya yang menurut kita paling kuat, sehingga tidak fanatik pada satu pendapat,” tambahnya.
Sejauh ini, kata dia, Program PSB dan PMB telah memasuki tahun ketiga dan mendapat respon yang cukup tinggi. Semakin hari, jumlah jemaah yang hadir juga cukup menggembirakan. Seiring dengan itu, jumlah masjid yang dijangkau juga bertambah banyak, hampir menjangkau semua sisi kecamatan di Kota Palu.
Sementara Kepala Badan Kesbangpol Sulteng, Fahrudin Yambas mengatakan, instansinya memiliki forum kewaspadaan dini masyarakat, terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, lalu forum pembaruan kebangsaan dari kalangan etnis Tionghoa, dan India.
“Hal ini dibangun bagaimana keragaman memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Memperkuat keutuhan NKRI dalam menangkal paham radikalisme dan terorisme,” ujarnya.
Keragaman sudah tentu mengandung kearifan lokal yang menjadi bekal untuk menangkal radikalisme dan variannya. Semoga. (IKRAM)