Mengunjungi kabupaten paling timur Sulawesi Tengah ini, pasti tak lengkap jika melewatkan suguhan wisata pantai yang memiliki keindahan luar biasa.
Tetapi sebelum ke pantai, jangan lewatkan wisata budaya yang ada di jantung kota Banggai Laut. Saya merangkum setidaknya tiga tempat yang wajib dikunjungi.
Untuk ke Kabupaten Banggai Laut, ada dua pilihan transportasi laut. Dari Kabupaten Banggai (Luwuk), menaiki kapal Fery atau kapal kayu. Jadwal kapal kayu ada setiap hari pukul 12 siang dengan harga tiket ekonomi Rp105.000.
Sementara Kapal Ferry dan kapal Fery setiap hari Ahad, Selasa, dan Kamis pukul 21.00 WITA dengan tiket seharga Rp100.000 untuk ekonomi dan VIP Rp125 ribu.
- Banggai Lalongo
Jika tiba di pelabuhan Banggai pagi hari, alangkah baiknya mengunjungi Banggai Lalongo lebih dahulu daripada lokasi lainnya. Karena ada banyak situs budaya yang dicapai dengan berjalan kaki.
Ingin sarapan sebelum berangkat, banyak warung makan di sekitar pelabuhan. Tapi jika ingin mencicipi kue-kue lokal, butuh bergeser sedikit dari pelabuhan dan komplek Pasar Tua, untuk menemukan penjaja kue. Bisa membeli dalam perjalanan ke Banggai Lalongo dan jangan lupa pula membawa air minum.
Dari pelabuhan, saya ke arah kiri menggunakan sepeda motor. Kalau menggunakan ojek, kita perlu membayar Rp10 ribu dan bentor seharga 20 ribu -ongkos bentor dalam kota rata-rata Rp10.000 dan Rp5000 untuk ojek.
Saya menuju SMK Perikanan, melewati Komplek Bebang -pesisir Kelurahan Dodung- aroma ikan mentah menusuk hidung. Para nelayan menjual ikan di depan rumah mereka, juga pengepul ikan mengemas ikan-ikan dengan es batu ke dalam boks ikan untuk dikirim ke luar Banggai.
Komplek Banggai Lalongo ditandai dengan gapura yang tiangnya dari semen berwarna merah dan bagian atapnya dari kayu dengan hijau.
Di Kawasan Cagar Budaya Banggai Lalongo, ada beberapa situs. Ada Kamali atau rumah adat, Sarkofagus Kubur Batu, Meja Batu tempat memancing Mbumbu Sinambembekon, Goa Buaya Pokolis, Air Obat Paisu Tobusi, Makam Mbumbu Pangkalalas Doi Tano, Makam Imam Sya’ban, Sumur Tomundo, Makam Panglima Doi Ndalangon, makam mian doi ndalangon, Makam Kapitan Parang, Malalabakan Tomundo, dan Kota Jin.
Peta lokasi situs tersebut terpampang di bagian belakang Kamali. Sayangnya ketika saya berkunjung (20/12) saya hanya bisa menyambangi beberapa situs, seperti kubur batu, Makam Imam Sya’ban, Sumur Tua, dan Malalabakan Tomundo (tempat bermain raja).
Beberapa situs lainnya saya kesulitan menyambangi karena belum ada jalur ke lokasi dan penunjuk arah. Kebetulan tidak ada penjaga yang bisa saya tanyai.
Selain situs sejarah, ada pasir putih dan menara pandang yang terletak sebelum jalan menurun ke arah pantai dan rumah kamali. Untuk ke menara pandang, dari jalan raya, kita menghabiskan waktu 5 menit saja jalan kaki. Dari atas menara pandang itu, kita bisa melihat rumah kamali, biru laut yang tosca, dan kapal-kapal yang lewat.
Semilir angin, suara burung yang bertengger di ranting pohon kapuk dan bersahutan menambah syahdu suasana, dan membuat saya betah berlama-lama. Saya merebahkan diri sebentar di lantai papan menara pandang sebelum melanjutkan perjalanan.
2. Kamali Boneaka dan Kamali Putal
Dari Banggai Lalongo kita ke Kamali Boneaka. Kamali Boneaka adalah tempat tinggal Putri Boneaka, putri Adi Soko atau Adi Cokro.
Di Kamali Boneaka, telur-telur maleo di gantung di bagian tengah rumah bagian dalam dan akan dikonsumsi tahun depan ketika tumbe maleo dibawa, untuk menggantikan telur yang digantung.
Menariknya, di Kamali Boneaka ini, Pakanggi atau penjaga kamali tinggal dekat dengan kamali, Kakek Sapitu atau dipanggil Tete Tanaas. Rumahnya berseberangan dengan kamali, jadi kita bisa langsung bertanya ke penduduk, dan bertamu ke kakek Sapitu juga meminta masuk dan melihat-lihat isi kamali.
Dari Kamali Boneaka, ada satu kamali di Tano Bonunungan, Kamali Putal. Kamali Putal dahulu adalah tempat tinggal paman dari Putri Boneaka.
Pada prosesi Malabot Tumbe, Kamali Boneaka, Kamali Putal dan Banggai Lalongo saling terhubung. Cerita tentang tiga kamali tersebut dapat dibaca dalam tulisan seri Malabot Tumbe/Mombawa Tumpe: Maleo yang Diperdebatkan.
3. Keraton Banggai
Keraton Banggai, mustahil para pelancong tidak melihat bangunan lama dan mencolok di tengah kota. Bahkan dari laut pun -dekat bak-bak truk kontainer- bangunan keraton sudah terlihat karena terletak satu garis lurus selain sedikit dihalangi oleh gedung Ali Hamid.
Pintu gerbang keraton terbuka untuk siapa pun. Ketika saya datang bahkan tidak terkunci. Hanya saja untuk masuk dan melihat-lihat barang-barang peninggalan masa lampau dan silisah Tomundo di dalam keraton, kita mesti berpamitan dengan penjaga keraton yang tinggal di rumah bagian belakang keraton. Atau bisa juga terhubung dengan Sekretaris Tomundo, Syarif Uda’a yang tinggal tepat di bawah keraton.
Makam Raja Banggai
4. Makam Raja Banggai
Terakhir, Makam Raja Banggai. Ada dua Tomundo (raja) yang dimakamkan di makam ini, Tomundo pertama Maulana Prins Mandapar, dan Tomundo terakhir Iskandar Zaman.
Kita bisa berjalan kaki dari keraton atau naik kendaraan umum, ojek atau bentor. Jaraknya sangat dekat dari keraton, 550 meter ke arah pasar baru, atau 6 menit berjalan kaki, tepat di depan kantor kelurahan Lompio.
Keraton Banggai dan Makam Raja Banggai adalah 2 dari 6 cagar budaya yang dimiliki Banggai Laut berdasarkan Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: KM11/PW007/MKP 03.
Cagar budaya lainnya adalah Makam Tandualang atau Makam Tengku Alam, Bekas benteng Portugis di Lonas Pante, bekas Benteng Tradisional di Desa Tolokibit , dan Gedung Mulo SMP Negeri 1 Banggai yang telah menjadi ruang kelas.
Mengunjungi tempat-tempat tersebut, ada baiknya kita terhubung dengan para penjaga keramat atau perangkat adat, atau kawan yang tahu letak lokasi dan sejarah secara singkat, karena para penjaga, termasuk pemegang kunci tidak tiap hari menetap di kamali atau lokasi wisata tersebut karena memiliki aktivitas lain.
Reporter : Iker
Editor : Rifay