PALU – Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep) kini menghadapi ancaman investasi pertambangan batu gamping. Terdapat puluhan Izin Usaha Pertambangan (IUP) batuan di wilayah tersebut, satu di antaranya telah memiliki izin operasional, sementara sisanya masih berupa wilayah pencadangan.

Berdasarkan data Geoportal ESDM tahun 2025, sebaran penguasaan izin pertambangan di Jantung Pulau Peling meliputi Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP), dengan total 20 izin yang menguasai lahan seluas 1.593,54 hektare.

Padahal, Kabupaten Banggai Kepulauan telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi keanekaragaman hayati ekosistem karst berdasarkan Keputusan Bupati Bangkep Nomor 224 Tahun 2024.
Masuknya investasi pertambangan batu gamping dikhawatirkan akan mengubah kondisi iklim, tutupan hutan dan lahan, peta NDWI, proyeksi genangan banjir, serta memengaruhi kualitas air dan udara. Selain itu, terdapat ancaman terhadap ekosistem terumbu karang dan keanekaragaman hayati, termasuk potensi dampak ekonomi dan sosial bagi masyarakat setempat.

Hal tersebut diungkapkan oleh Koordinator Divisi Konservasi Sumber Daya Alam Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU), Yulia Astuti, dalam diskusi pemaparan hasil kajian penetapan peta indikatif area No Go Mining Zone di Jantung Pulau Peling, Banggai Kepulauan. Diskusi ini berlangsung di Kantor JATAM Sulteng, Jalan Yojokodi, Kota Palu, Senin (5/5), dan dihadiri oleh NGO, media, serta mahasiswa.

Yulia mengatakan bahwa rencana pertambangan batu gamping menjadi masalah utama karena konsesi tambang berada di area perlindungan lokal, habitat spesies endemik Pulau Peling, perkebunan produktif, dan kawasan terumbu karang.

“Area-area ini kemudian didelineasi ke dalam peta indikatif No Go Mining Zone. Peta ini disusun untuk menyeimbangkan aspek ekonomi dan lingkungan. Kami merekomendasikan agar Pemerintah Kabupaten dan Provinsi Sulawesi Tengah menggunakan peta ini sebagai acuan teknis dalam memberi rekomendasi kepada perusahaan-perusahaan yang berinvestasi di Banggai Kepulauan,” jelas Yulia.

Peta indikatif tersebut membagi Jantung Pulau Peling ke dalam tiga zonasi:
Zona Hulu: 6.504,05 hektare,Zona Tengah: 6.759,66 hektare dan Zona Hilir: 4.607,82 hektare

Menanggapi hasil kajian tersebut, Koordinator JATAM Sulteng, Moh Taufik, menyatakan bahwa akar persoalan terletak pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2016. Dalam Pasal 1 dan Pasal 3, tidak ditetapkan secara spesifik kecamatan mana diperbolehkan untuk kegiatan pertambangan, sehingga seluruh wilayah Bangkep terbuka untuk konsesi tambang.

“Hampir seluruh wilayah Bangkep telah diterbitkan konsesi tambang,” ujarnya.

Taufik menambahkan, berdasarkan Perda Nomor 16 Tahun 2019, 97 persen wilayah Bangkep merupakan kawasan karst, dan hasil kajian UGM menyatakan bahwa wilayah tersebut tidak layak untuk ditambang karena keunikan geologis dan ekologisnya.

Direktur Eksekutif WALHI Sulteng, Sunardi Katili, juga menegaskan bahwa sekitar 80 persen warga dan kepala desa di Bangkep menolak investasi pertambangan batu gamping. Penolakan ini disertai dengan pernyataan tertulis dari pemerintah dan masyarakat desa.

“Ketika terjadi bencana ekologis dan kerusakan lingkungan, yang pertama kali terdampak adalah manusia. Perlindungan manusia tidak boleh mengabaikan pentingnya menjaga lingkungan,” tegas Sunardi.

Sunardi mempertanyakan sikap Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, yang memiliki kewenangan atas izin pertambangan tersebut. “Beranikah Gubernur mencabut izin-izin pertambangan sudah terbit?” tanyanya.

Reporter: Ikram