Saya dari kecil dengar radio, selalu ada penyiar perempuan. Tapi waktu dengar radionya Banggai, beda, tidak ada penyiar perempuan.
Moment hari radio internasional tanggal 13 Februari, dan kegiatan pembinaan penyiar Islam di Palu tanggal 15 sampai 17 Februari 2023, mengingatkan pada sosok Karmila, perempuan asli Banggai tepatnya di Pulau Peling yang bermimpi besar memasyarakatkan radio di daerahnya.
Mimpin itu terus dipupuk meski saat ini orang-orang lebih banyak beralih ke media sosial, dan bahkan hampir tidak ada yang mendengarkan radio Benggawi.
Jika memasyarakatkan radio ini dilakukan, Radio Benggawi masih dikenal, katanya. Karena radio itu sarana yang baik untuk daerah, dan punya sejarah dan peran penting untuk bangsa Indonesia.
Tahun 1945, bahkan sebelum kemerdekaan, kata dia, melalui radiolah informasi tersampaikan kepada para pejuang, sehingga tidak salah jika memasyarakatkan radio kembali di Banggai. Bahkan sekarang, orang-orang tua yang tidak punya gawai, masih terhibur dengan acara radio.
“Kalau pemerintah serius urus radio, dan roadshow ke sekolah-sekolah memperkenalkan radio ke pendengar, saya rasa masih banyak yang mau dengar radio. Siaran radio bisa lewat internet atau aplikasi, dengan program yang bisa diminati, diterima kalangan usia berapapun, dan saya pikir radio masih punya pendengar,” tutur Karmila ketika ditemui awak media ini, belum lama ini.
Di Banggai Laut (Balut), pernah ada beberapa radio yang mengudara, salah satunya Radio Pratiwi.
Bagi pendengar Radio Pratiwi di tahun 2005 hingga awal tahun 2006, pasti mengenal suara Karmila dengan nama udara, Viola.
Suaranya yang khas penyiar radio, ringan dan riang menghibur masyarakat Banggai hingga ke pulau-pulau. Apalagi acara Ginsa, dimana orang-orang dapat mengirim surat, menulis pesan kepada orang lain, request lagu, atau ingin menulis apapun lewat radio. Bahkan surat-surat itu dititipkan melalu kapal dari pulau-pulau.
Viola, sulung dari lima bersaudara, lahir tanggal 12 Juli 1983 di Desa Oluno, Kecamatan Bulagi, Kabupaten Banggai Kepulauan. Kini ia tinggal di Desa Lambako, Kecamatan Banggai Utara, bersama dengan suaminya.
Saat ditanya mengapa menjadi penyiar radio, dengan tesenyum Mila, sapaan akrabnya, menjawab bahwa ia telah kenal radio sejak kecil, dan setiap mendengar radio selalu ada penyiar radio perempuan. Tetapi berbeda ketika mendengar Radio Pratiwi.
“Ini radio rame, tapi kenapa tidak ada perempuan yang menyiar?” katanya.
Iseng ia pergi ke Radio Pratiwi, bertanya apakah bisa menjadi penyiar, sementara dia tidak punya bekal pendidikan selain lulusan Sekolah Dasar (SD).
“Saya diterima setelah dua minggu di-training. Tapi belum langsung siaran, masih latihan, saya bicara sendiri. Makanya saya pernah bilang kalau mau jadi penyiar mesti belajar gila, karena bercerita sendiri, ketawa sendiri,” tuturnya mengingat bagaimana ia latihan siaran sebelum on air perdananya.
Di Radio Pratiwi ada empat orang penyiar dan Mila satu-satunya perempuan. Dia menyiar Ginsa sore, kalau acara dangdut dan tidak ada yang isi, Mila akan mengisi.
Tahun 2006, setelah menikah, ia berhenti sebagai penyiar radio karena radio itu mulai menunjukkan tanda-tanda tidak mengudara. Tidak lama setelah ia berhenti, Radio Pratiwi benar-benar off.
Mila mulai siaran kembali tanggal 21 September 2017. Awal mulanya juga sama seperti ketika ia menjadi penyiar di Radio Pratiwi. Menurutnya, sebuah keajaiban ketika dirinya diterima sebagai penyiar di Radio Benggawi. Sebab, ia tidak punya ijazah, hanya punya pengalaman.
“Karena setahu saya, radio pemda itu, di bawah humas (sekarang Kominfo) harus orang yang punya pendidikan tinggi. Waktu itu saya sebenarnya cuma iseng, saya tahu saya sulit diterima karena tidak punya pendidikan. Saya pergi bertanya. Kebetulan saya dengar radio juga, ceritanya juga sama, tidak ada penyiar perempuan,” ujarnya.
Mila mengumpulkan seluruh keberanian yang dia punya, dan menapakkan kakinya di gedung kantor bupati untuk bertemu dengan penanggung jawab radio, setelah berkoordinasi dengan penyiar di Radio Benggawi. Isi kepalanya dipenuhi pertanyaan, bisa tidak, ya? Saya tidak punya pendidikan, bahkan sekurang-kurangnya SMA.
Saat bertemu dengan orang yang ditujunya, pertama kali yang ditanyakan kepada Mila adalah ijazah terakhir, seperti yang ia khawatirkan. Perempuan itu menjawab jujur bahwa ia hanya lulusan SD tetapi punya pengalaman sebagai penyiar radio.
Dia kemudian resmi diterima di awal tahun 2018, berdasarkan peraturan penerimaan pegawai kontrak. Tetapi ia mulai mengudara hari itu juga, karena memang sudah senang menyiar.
“Saya gugup, gemetaran seperti pertama kali siaran dulu. Itu pertama kalinya saya operasikan komputer. Kebetulan ada yang jaga radio, dia yang bantu saya jadi operator untuk satu hari itu,” katanya.
Program di Radio Benggawi
Kalau Radio Pratiwi punya program Ginza yang hits, Radio Pemerintah Daerah (RPD) Benggawi punya siaran MPL (Musik Pelepas Lelah), Terminal Dangdut, Rindu Daerah Benggawi (lagu-lagu daerah Banggai), Silingan Pau Banggai (Cerita Anak Banggai, full siaran menggunakan Bahasa Banggai), Pilihan Pendengar (pendengar memilih lagu melalui panggilan telepon), berita sepekan Kab. Balut, dan Lintas berita.
Siaran berbahasa Banggai terus ada, meski telah ada peralihan dari Humas ke Kominfo. Karena baginya, banyak anak-anak tidak bisa lagi bisa berbahasa Banggai. Dan yang dapat dilakukan Mila adalah dengan melestarikan bahasa Banggai melalui siaran radio, silingan pau Banggai.
Mila memandu acara dengan bahasa Banggai di radio Benggawi, 84,4 FM setiap hari minggu jam 10 pagi hingga 12 siang.
Bercinta di Udara
Lagu Bercinta di udara yang dibawakan penyanyi lawas Farid Hardja, benar-benar menggambarkan bagaimana cinta bermula dari gelombang radio. Mila bertemu suaminya melalui radio, meski ia mengaku mereka tidak pacaran.
Hubungan mereka hanya sebatas hubungan penyiar dan pendengar. Awalnya suami perempuan bercadar itu mengirim pesan untuk dibacakan di radio. Dia juga pernah ke radio Pratiwi, jemput surat. Setelah 3 bulan berinteraksi, dan menjadi dekat, mereka memutuskan menikah.
“Saya takut pacaran, di pikiran saya, saya ini bukan orang yang normal seperti wanita pada umumnya, saya jalannya tidak normal. Jadi kalo terjadi sesuatu sama saya, iya kalo orang tanggung jawab, kalo tidak? Sedangkan orang cantik saja, dibuang. Jadi saya takut pacaran,” tuturnya.
Suaminya menjadi support systemnya untuk terus mengudara. Bahkan ia mengingat detail-detail terkait radio dan istrinya, ketika Mila sendiri melupakannya. Seperti tanggal berapa Mila kembali mengudara, bagaimana detail penerimaannya di radio Benggawi dan lainnya. Mila sendiri mengakui, jika terkait hidupnya dan radio, suaminya yang paling dekat.
“Dulu ada yang kasih kabar ke papa saya, we kam pe pau kai so jadi penyiar, dan papa bilang orang yang babicara sendiri itu orang tindo (gila, red),” kenangnya.
Perihal cinta, program Ginsa di Radio Pratiwi memiliki peran yang bahkan tidak hanya Mila dan suami. Radio memberikan ruang di udara untuk saling berkabar dan berkenalan.
“Kalau jaman dulu orang baku rayu di udara, belum pernah ketemu di delta. Jadi itu kata-kata cinta melayang di udara, seperti lagunya Farid Hardja, Bercinta di Udara, begitu kurang lebih gambaran jatuh cinta melalui radio. Begitu, baku gombal di udara, padahal tidak baku tahu yang mana. Mau kaki sebelah tidak ada, mata sebelah tidak ada, orang tidak baku pusing. Orang tidak memandang fisik. Di Radio, fisik seseorang tidaklah penting,” pungkasnya.
Reporter : Iker
Editor : Rifay