PALU – Kepala Dinas (Kadis) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), Haris Kariming mengungkap sebanyak 13 titik pertambangan tanpa izin (PETI) di wilayah kerjanya.
13 titik yang merupakan laporan investigasi Tim Inspektur Tambang, Kementerian ESDM itu disampaikan Haris Kariming saat menghadiri rapat dengar pendapat bersama komisi gabungan DPRD Sulteng, Senin (15/03).
Haris menyampaikan, 13 titik peti tersebut tersebar di sejumlah kabupaten/kota di Sulteng dan terbanyak berada di wilayah Kabupaten Parigi Moutong (Parimo).
Ia menuturkan, khusus untuk wilayah Parimo, masing-masing terdapat di Desa Lobu sebanyak tiga titik, 21,6 hektar (ha) di antaranya berada di kawasan hutan lindung. Sementara dua titik lainnya masing-masing seluas 12,8 ha dan kurang lebih 1 ha.
“Kemudian di Desa Kayubuko seluas 72,371 ha yang telah ditertibkan beberpa kali,” ungkapnya.
Selanjutnya, kata dia, peti di Buranga, Kecamatan Ampibabo yang belum lama ini mengalami longsor dan menelan korban jiwa.
Peti selanjutnya di wilayah Kabupaten Parimo adalah di Tirtanagaya, Kecamatan Bolano Lambunu, kemudian di Sungai Tada Kecamatan Tinombo Selatan, di Desa Sijoli Kecamatan Moutong, dan di Desa Kasimbar Barat dan Kasimbar.
“Kemudian di Sausu Salubanga Kecamatan Sausu seluas 1165 hektar yang diusulkan untuk menjadi WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat),” katanya.
Selain di Parimo, juga terdapat titik peti di sejumlah daerah lainnya di Sulteng, seperti di wilayah Kabupaten Poso, tepatnya di Dongi-Dongi seluas 15 ha lebih dan di Kecamatan Toili Barat Kabupaten Banggai.
“Untuk wilayah Kabupaten Buol terdapat di dua titik, tepatnya di Desa Bulubalang Kecamatan Paleleh Barat dan di Desa Dopalak Kecamatan Paleleh kurang lebih 10 ha,” kata Haris.
Di Kota Palu sendiri juga terdapat titik peti yang sudah beroperasi cukup lama. Lokasi peti tersebut berada di dalam lahan kontrak karya PT. Citra Palu Minerals (CPM) di Kelurahan Poboya, Kecamatan Mantikulore.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sulteng, Sadli Lesnusa yang ikut hadir dalam RDP tersebut, mengatakan, aktivitas peti jelas diartikan melanggar aturan, tidak ada yang membenarkan, sehingga perlu diupayakan penertiban.
“Keberadaan peti ini telah berjalan cukup lama dan turun temurun, di antaranya karena faktor modal usaha kecil, lemahnya pemahaman pelaku usaha, dan pengurusan izin yang dianggap terlalu panjang birokrasinya,” tuturnya.
Padahal, kata dia, aktivitas peti tersebut juga menyebabkan kerusakan lingkungan karena menggunakan sianida dan bahan berbahaya lain yang mencemari tanah dan air.
Ia pun menyarankan adanya tim yang dibentuk dalam penanganan peti tersebut. Di dalamnya, kata dia, terdapat unsur yang melakukan sosialisasi, penertiban dan penegakan hukum.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Komisi I DPRD Sulteng, Sri Indraningsih Lalusu, mempertanyakan kepada sejumlah pihak yang hadir mengenai perannya dalam penanganan peti tersebut.
Sedangka Wakil Ketua Komisi II, Muh Nur Dg Rahmatu juga menegaskan, tidak ada jalan untuk aktivitas yang melanggar aturan, selain penutupan.
“Tinggal bagaimana lagi pemerintah daerah mencarikan solusi kepada pekerja yang menggantungkan hidupnya dari aktivitas itu,” ujarnya.
Selain Kepala DLH dan Kadis ESDM, RDP yang dipimpin Wakil Ketua DPRD Sulteng, Muharram Nurdin itu juga dihadiri Danrem, perwakilan Polda Sulteng, Kepala Dinas Perizinan dan Balai Taman Nasional Lore Lindu. (RIFAY)