PALU – Pasca dilantik menjadi Kepala Desa Lee Morowali Utara, Trisno P Dumpele bergerak untuk melanjutkan perjuangan masyarakatnya, terkait konflik agraria  terjadi di wilayahnya.

Trisno mendatangi langsung Satgas Penyelesaian Konflik Agraria (PKA) di Kantor Gubernur Sulawesi Tengah, Selasa (7/10). Kedatangannya tidak lain, berkonsultasi dan membuat pengaduan atas konflik agraria tersebut.

Trisno pun disambut hangat oleh Ketua Harian Satgas PKA Eva Bande bersama tim kerjanya.

Trisno mengatakan, kehadiran mereka di Satgas PKA merupakan bentuk komitmen untuk mendorong percepatan penyelesaian konflik agraria  berkeadilan, transparan dan berpihak pada rakyat.

“Kami siap bekerja bersama kepada seluruh pihak untuk terwujudnya keadilan agraria, seperti komitmen Gubernur,” katanya.

Sementara, Kordinator advokasi Satgas PKA Noval A. Saputra mengapresiasi kedatangan Trisno. Menurutnya, konflik agraria  berlarut-larut tanpa ada penyelesaian di Desa Lee, karena terjadi pembiaran oleh Negara.

“Negara tidak memberikan kepastian hukum serta hak masyarakat Desa Lee terkhusus sejak Putusan Kasasi dan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung. Sehingga kepastian dan perlindungan hukum serta hak memperoleh keadilan belum terpenuhi sampai saat ini,” ujar Noval Rabu (8/10).

KONFLIK WARGA DESA LEE VS PT SPN

Konflik agraria antara warga Desa Lee dengan PT SPN bermula ketika tanah desa mereka, secara sepihak telah diklaim sebagai bagian HGU perusahaan milik negara tersebut.

Bahkan warga dan Pemdes menegaskan belum pernah melakukan penyerahan tanah untuk proses penerbitan HGU hingga sekarang.

Ironisnya lagi, perusahaan melakukan penggusuran, mulai melakukan penggusuran kebun warga sejak 2015.

Tahun 2019, warga Desa Lee melakukan upaya-upaya penuntutan hak atas tanahnya, termasuk menempuh jalur hukum dengan mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Hingga putusan pengadilan pun sudah sampai tahap Putusan Kasasi dengan Nomor 174/K/TUN/2020 tertanggal 20 Mei 2020 dan Putusan Peninjauan Kembali Nomor 120/PK/TUN/2021 tertanggal 9 September 2021.

Berdasarkan amarnya yaitu membatalkan dan mencabut sertifikat HGU PT Sinergi Perkebunan Nusantara berada di Desa Lee. Sehingga sampai saat ini, Warga Desa Lee menanti eksekusi atas kepastian hukum sudah inkrah tersebut.

Sementara di Konfirmasi  kuasa hukum PT SPN, Abdul Aan Achbar mengatakan, konflik agraria antara masyarakat Desa Lee dengan PT. SPN sejatinya sudah tidak ada lagi. Sengketa tersebut telah melalui seluruh tahapan proses hukum, mulai dari perkara pada tingkat pertama di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palu hingga upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (PK).

Namun demikian, kata Aan,  hingga saat ini pelaksanaan putusan tersebut belum dijalankan. Pelaksanaan putusan merupakan kewajiban dari pihak Penggugat untuk berupaya mengambil langkah-langkah hukum diperlukan agar putusan tersebut dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Dalam proses hukum, kata dia, pelaksanaan putusan menjadi bagian penting untuk memastikan berjalannya produk kekuasaan yudikatif secara efektif dan berkeadilan.

“Adapun alas hak berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) milik PT. SPN tidak akan kehilangan eksistensinya selama belum terdapat pelaksanaan putusan sah sesuai ketentuan hukum  berlaku,” kata Aan turut didampingi rekannya, Purnawadi Otoluwa.