PALU – Partai Golkar dengan tegas melarang kadernya untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, melalui partai lain. Kader harus menaati aturan manakala partai sudah memutuskan mengusung figur lain yang bukan kader, berdasarkan hasil survei.
Kader partai juga tidak dibolehkan mencalonkan diri melalui jalur independen atau perseorangan.
Partai Golkar mengakui, banyak kader partai yang memiliki peluang, namun jika ada figur di luar Partai Golkar yang lebih baik melalui survei, maka itulah yang diusung.
“Sanksinya sangat tegas, kalau dia anggota DPRD seketika itu akan dilakukan PAW. Sementara kalau dia kepala daerah seperti wali kota atau bupati, langsung kita berhentikan. Jika dia berada di struktur pengurus, maka langsung kita pecat,” tegas Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Sulteng, Amran Bakir Nai, kemarin, menyikapi perhelatan Pilkada serentak gelombang ketiga tanggal 27 Juni 2018 mendatang.
Menurutnya, hal tersebut mengartikan bahwa orang-orang seperti itu telah melecehkan keberadaan partai.
Di Sulteng sendiri, ada tiga daerah yang akan menggelar Pilkada serentak tahun depan, yakni Donggala, Parigi Moutong dan Morowali.
Terkait syarat jumlah kursi di parlemen, Partai Golkar di Parigi Moutong memiliki 5 kursi, masih kekurangan 3 kursi lagi untuk mengusung satu pasang bakal calon. Di Kabupaten Morowali masih kekurangan 2 kursi serta di Kabupaten Donggala masih kekurangan 2 kursi.
Sehingga, kata dia, Partai Golkar masih membutuhkan partai lain untuk berkoalisi. Untuk menentukan partai mana yang akan digandeng dalam koalisi, perlu pemaparan ketua-ketua partai tingkat kabupaten, saat rapat tim Pilkada serentak yang diperluas nantinya.
Menurut Amran, di tiga daerah yang melaksanakan Pilkada nanti, ada banyak kader partai Golkar yang akan ikut berkompetisi. Untuk mengantisipasi keterlambatan dalam mengusung calon, maka dalam waktu dekat, Partai Golkar sudah membuka pendaftaran kepada bakal calon.
Mantan Ketua KPU Kota Palu itu menambahkan, Partai Golkar tidak memungut mahar sepeserpun pada pendaftaran bakal calon. Jika pun ada biaya operasional untuk partai, maka akan dibicarakan secara terbuka.
“Kami pun ketika meminta biaya dari pasangan calon, peruntukannya jelas, misalnya untuk dana saksi. Kita tidak inginkan pengalaman sebelumnya, begitu selesai Pilkada, banyak saksi yang belum dibayar. Maka DPD lah yang menjadi sasaran. Saksi, karena tidak dibayar menjadi ribut,” tuturnya.
Dalam rangka menjaring bakal calon, Partai Golkar akan menerapkan survei, baik untuk kader internal maupun eksetrnal partai.
“Kalau berdasarkan hasil survey bagus, namun lantas kita kalah, artinya kita sudah punya standar. Tetapi kalau hasil surveinya sudah tidak layak tetapi kita paksakan untuk diusung, maka itu menjadi masalah besar. Tapi dalam kondisi tertentu, ada kebijakan dari DPD Provinsi maupun DPP untuk menetapkan calon sendiri atau misalnya di satu daerah, ada petahana dari Partai Golkar yang mau maju kembali, maka tidak lagi dilakukan survey lagi,” ujarnya.
Ketua Tim Pilkada itu menambahkan, saat ini ada MoU yang dilakukan dengan empat lembaga survey, namun pihaknya dapat memilih salah satunya.
“Kemungkinan besar ada sharing anggaran pembiayaan dengan DPP, sehingga tidak seperti informasi yang beredar, bahwa biaya survey itu dibebankan kepada kandidat atau calon yang akan disurvey,” pungkasnya. (FAUZI/RIFAY)