PALU – Wakil Presiden HM Jusuf Kalla (JK) menegaskan tidak ada pemutihan utang bagi debitur di daerah terdampak bencana alam di Sulteng. Yang ada hanyalah sebatas meringankan para debitur yang masih mempunyai tunggakan di lembaga-lembaga keuangan.
Keringanan tersebut, kata Wapres, adalah penundaan penyelesaian utang dalam jangka waktu sampai tiga tahun.
“Ya misalnya dari setahun diringkan menjadi tiga tahun,” ungkapnya kepada wartawan, usai memimpin rapat koordinasi (rakor) penanganan dampak bencana, di Kantor Gubernur Sulteng, Kamis (31/01).
Wapres juga menyampaikan perihal dana stimulan bagi korban bencana Sulteng yang rumahnya rusak atau hilang serta santunan bagi korban meninggal dunia yang akan dicairkan mulai minggu pertama Februari 2019.
Kata dia, bagi korban bencana yang rumahnya hilang atau terletak di lokasi yang berbahaya (zona merah), maka akan direlokasi dan mendapatkan hunian tetap (huntap) yang nilainya Rp50 juta.
“Itu belum termasuk yang lahan 150 meter persegi,” sebutnya.
Dia menegaskan, para korban yang akan direlokasi, memiiliki kuasa penuh atas lahan dan rumah tersebut serta tidak akan diberi dana stimulan lagi.
Tak hanya huntap, lanjut dia, pemerintah juga akan mencairkan santunan bagi korban meninggal dunia, masing-masing Rp15 juta kepada ahli waris masing-masing.
“Langkah-langkah percepatan pemulihan dan rekonstruksi ditargetkan tuntas dalam tempo dua tahun,” harapnya.
Hingga saat ini, menurut dia, belum ada kendala yang berarti dalam program rekonstruksi yang tengah dikerjakan.
Menanggapi pernyataan JK terkait tidak adanya penghapusan utang debitur, Ketua Panitia Khusus (Pansus) Pengawasan Penyelenggaraan Penanganan Bencana (P3B) Pasigala, DPRD Sulteng, Yahdi Basma, menyatakan, pernyataan JK, khususnya dalam kapasitas sebagai Ketua Satgas Penanggulangan Bencana di NTB, Sulawesi Tengah dan wilayah terdampak lainnya, merupakan bentuk nyata dari “ketololan” pemerintah pusat. Lebih jauh lagi merupakan “kejahatan serius” terhadap seluruh korban bencana alam di Padagimo.
“Otoritas penyelenggara negara termasuk Satgas Penanggulangan Bencana harus menyampaikan secara terbuka, apa dalil atau alasan yang mendasari pernyataan atau kebijakan tersebut?,” tanyanya.
Kata dia, bencana alam yang terjadi 28 September 2018 lalu, selain menimbulkan korban jiwa, juga mengakibatkan kerugian material berupa hilangnya aset-aset penghidupan ribuan masyarakat di Kota Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong, termasuk bagi debitur perbankan dan leasing.
“Dan karena peristiwa tersebut, menyebabkan ketidakmampuan masyarakat dalam membangun kembali kehidupan dan penghidupan mereka, termasuk ketidakmampuan masyarakat membayar kredit perbankan dan leasing, yang secara teoritik disebut kredit macet,” jelasnya.
Dia menambahkan, ketidakmampuan masyarakat itu harus dipandang sebagai keadaan memaksa (force majeure) atau overmacht.
Menurutnya, hal itu nyata sebagai akibat bencana alam, sangat jauh berbeda dengan kasus Bank Century dan Lumpur Lapindo karena sebuah kejahatan perbankan dan kejahatan lingkungan sebagai akibat sekolompok orang atau orang-perorang dan korporasi, yang justru kerugiannya ditalangi oleh negara tanpa sebuah dalil hukum yang jelas.
“Jakarta harus memberi penjelasan secara terbuka, atas alasan dan dalili-dalil apa negara menalangi kerugian dalam skandal Bank Century dan Lumpur Lapindo dan alasan apa menolak atau tidak menalangi beban hutang perbankan dan leasing masyarakat Sulteng yang nyata-nyata hancur dan hilang asset-aset penghidupannya karena peristiwa bencana alam,” imbuhnya.
Senada juga diungkapkan Ketua Koordinator Forum Debitur Korban Bencana Padagimo, Andono Wibisono.
Menurutnya, pernyataan itu menunjukkan bahwa JK belum diberi pemahaman KUH perdata pasal 1224 dan 1225 soal keadaan force majeure.
“JK sebagai Satgas Bencana tidak membaca rekomendasi Bappenas RI terkait pemulihan ekonomi di wilayah terdampak yaitu salah satunya soal pemutihan kredit debitur yang menjadi korban dan terdampak langsung,” singkatnya. (FALDI/RIFAY)