Jangan Sesat Pikir soal HAM

oleh -
Dedi Askary

OLEH: Dedy Askary*

Di negara ini, Hak asasi manusia (HAM) bukan hanya sekadar isu, di Negara ini Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan produk konstitusional bangsa.

Jika tidak percaya, silakan periksa konstitusi kita, mulai dari mukaddimah, hingga pasal-pasal yang terkait Hak Asasi Manusia (Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J), selain sebagaimana tersebut dalam konstitusi (UUD 1945), ada beragam instrumen turunan yang mengatur perihal HAM di negara ini, di antaranya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan sebagainya.

Lebih jauh, terkait hak ekonomi, sosial dan budaya, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi (mengesahkan) dalam undang-undang, yakni UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak Ekosob.

Bahkan Pemerintah Indonesia, dalam kerangka pemenuhan, pemajuan dan penegakan HAM, telah menetapkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (Ranham) yang hingga kini sudah masuk generasi kelima yang digunakan sebagai acuan kementerian, lembaga dan pemerintah daerah dalam melaksanakan penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan dan pemajuan HAM di Indonesia.

Jadi jangan sampai kita sesat pikir dalam melihat problem HAM di negara ini. Problem HAM di negara ini, dari dulu hingga saat ini bukan menyangkut isu. Di negara ini, HAM adalah produk konstitusional yang secara tegas dinyatakan dalam UUD 1945 dan berbagai instrumen turunannya.

Yang soal kemudian adalah terkait soal pemajuan, pemenuhan dan penegakan HAM, termasuk antara pelaku industeri ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan skala besar, sebagaimana yang kasat mata serta berdasarkan pengaduan masyarakat di wilayah konsesi milik Bumi Resouces Minerals Tbk (BRMS) melalui anak usahanya PT. Citra Palu Minerals (CPM).

Perusahaan ini acapkali diadukan oleh masyarakat Poboya dan beberapa masyarakat kelurahan lingkar tambang yang ada di Blok 1 Poboya.

Banyaknya pengaduan masyarakat terkait eksistensi BRMS melalui anak usahanya PT CPM menunjukan bahwa ada problem di sana. Bisa jadi terkait tata kelola dalam penyelesaian masalah, pola relasi antara masyarakat dan manajemen perusahaan, atau menyangkut pola komunikasi personal yang (maaf), tidak menganggap eksistensi masyarakat setempat.

Jadi ini bukan menyangkut jual soal HAM, menutupi tambang ilegal, tidak.

Soal tambang berizin (legal) dan tambang tidak berizin (ilegal). Mereka-mereka para pemilik konsesi, semisal BRMS melalui anak usahanya PT CPM jangan pernah beranggapan bahwa “seakan” telah berjalan sesuai dengan koridor hukum yang ada.

Untuk selanjutnya, jika ada masalah, pasti karena masyarakat setempat atau apa yang masyarakat sampaikan untuk menutupi tindakan atau terkait soal menutupi pertambangan ilegal yang ada.

Praktik seperti ini bisa dikategorikan sebagai tindakan sistematis terhadap masyarakat yang mempertahankan hak hidupnya. Tindakan ini cenderung menggunakan hukum sebagai alat untuk menekan masyarakat.

Ini tidak ada bedanya melaporkan masyarakat (kriminalisasi) terhadap sesuatu yg tidak jelas atau tidak dilakukan masyarakat, menjadi “dipaksakan” agar seakan-akan masyarakat lakukan. Termasuk terhadap masalah dilaporkannya saudara Agus Ajaliman, ketika itu ke Polres Palu.

Terkait ganti-rugi, baiknya mencermati Pasal 68 ayat 4 UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Itu pertanda bahwa perusahaan wajib menyelesaikan ganti rugi tanah kepada masyarakat, sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan. Apa iya, sudah negara beri izin lewat representasi di K/L, masak negara lagi yang harus memberikan ganti-rugi pada masyarakat.

Yang patut diingat, ganti rugi dan jual-beli itu adalah dua hal yang berbeda. Tetapi itu dua skema dari beberapa skema penyelesaian. Benar, tidak dibenarkan ada jual-beli. Tetapi ganti rugi, sah.

Yang tidak dibenarkan adalah menjalankan skema sebagaimana yang dilakukan sekarang dengan mengalokasikan bahkan memberikan dana kerohiman. Dana kerohiman itu pendekatan untuk penyelesaian lain lagi. Sekalipun masih menyangkut soal lahat, tetapi itu keliru besar.

*Penulis adalah Kepala Perwakilan Komnas-HAM Sulawesi Tengah