Meski tak mudah, Dahyani yang telah mengalami operasi empedu tetap memiliki semangat yang kuat. Salah satu opsi yang ditempuhnya adalah membangun relasi ke swalayan-swalayan
Usaha kecil-kecilan ini mulai dirintisnya tahun 2019 silam, sejak ia dan keluarganya ditempatkan oleh pemerintah di hunian sementara (huntara) korban bencan alam.
Ide spontan membuat keripik pisang terlintas di kepala Dahyani (51), sebagai pilihan untuk mempertahankan kelanjutan hidup keluarganya. Bergantung terus menerus kepada pemerintah dengan modal status sebagai korban bencana alam, adalah hal yang tak mungkin baginya.
Tak ada pilihan lain, selain harus melakoni usaha itu. Harta benda telah ludes, ditambah harus kehilangan sanak saudara akibat hantaman gempa dahsyat, disusul tsunami dan likuifaksi yang melanda Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), 2018 silam.
Tiga tahun lebih telah berlalu. Peristiwa kelam yang mengubah hampir 180 derajat kehidupan sebagian besar masyarakat Kota Palu itu, kini perlahan mulai pulih kembali. Porsi bantuan dari pemerintah maupun dari pihak swasta pun mulai berkurang. Maka tak ada lagi alasan baginya untuk berdiam diri, selain harus memutar otak agar keripik olahannya bisa terjual, demi menghidupi empat buah hati, termasuk si bungsu Mutiara yang menjadi cikal bakal pemberian nama keripik pisang “Tiara” miliknya.
Di awal-awal merintis usaha, kripik buatanya mulai dibanjiri pesanan, bahkan sering kewalahan menerima pesanan yang datang. Dibantu tiga pasang tangan anaknya, usaha dahyani mulai memproduksi keripik pisang dilakukan setiap hari.
“Tapi kalau anakku itu masuk kantor lagi, dan yang satunya juga masuk kuliah, yang kecil itu tidur, ya harus saya sendiri. Mulai dari mencari pisang, menggoreng sampai membungkusnya. Mau bagaimana lagi, karena dari hasilnya ini yang bikin kita bisa makan juga,” cerita Dhayani ketika ditemui media.alkhairaat.id, di Huntara Bamba, Kelurahan Mpanau, Kecamatan Taweili, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Ahad (30/01).
Keripik pisang buah tangan Dahyani memiliki tiga varian. Varian pedas sambal balado, varian gula aren (gula merah) dan varian original. Ketiganya dijual dengan kemasan berbeda.
Varian sambal balado dan original, dikemas mulai dari ukuran kecil dengan hargai Rp800. Sedangkan varian gula merah dikemas mulai dari ukuran satu kilogram yang dihargai Rp60 ribu.
Akan tetapi, tidak semua varian dapat dijumpai sembarang tempat. Hanya varian sambal balado yang setiap saat bisa dibeli di kios-kios kecil pinggir jalan daerah Tawaili, juga disalah satu kantin perkantoran daerah Donggala tempat anaknya bekerja, serta kantin RS Madani Palu.
Sedang varian original, hanya dapat dijumpai di tempat yang sama jika stok pisang sebagai olahan utama tercukupi.
Berbeda lagi dengan varian gula merah, hanya akan diproduksi jika Dahyani mendapat pesanan dari para konsumen. Hal itu, menurutnya tak lepas dari tata cara penggorengan yang dilakukan untuk memproduksi keripik pisang ala dahyani.
“Kalau yang varian sambal balado ini, awalnya hanya digoreng setengah matang saja, jadi diantar ke kios-kios itu. Nanti kalau sudah habis di sana, baru kita buat lagi. Antar lagi Nak. Kalau yang original ini tidak bisa goreng setengah matang, harus langsung sampai masak. Jadi tidak selalu ada di kios. Sedangkan yang varian gula merah itu, betul-betul nanti ada pesanan saja, karena bahannya kan tidak bisa terlalu lama disimpan,” urainya.
Dalam seminggu, produksi Keripik Pisang Tiara bisa menghabiskan tujuh sampai 10 tandan pisang sepatu. Dahyani memperoleh pisang tersebut dari kebun-kebun milik tetangganya, yang dihargai relatif berdasarkan ukuran pisang.
Sedang untuk bahan-bahan lainnya yang digunakan untuk memproduksi, seperti minyak goreng, tabung gas serta plastik pembungkus, biasanya ia sampai menghabiskan modal mulai dari Rp1,2 juta sampai Rp1,5 juta.
Kondisi itu semakin parah ditengah naik turunnya harga bahan seperti minyak goreng. Upaya subsidi satu harga yang dilakukan pemerintah, belum juga mampu meringankan beban.
Sementara keuntungan yang diperoleh Dahyani tak jarang tidak sampai menutupi modal yang sudah ia keluarkan.
“Begitu sudah Nak, karena itu yang kita pake makan juga kan. Saya ini cuman punya semangat saja. Tidak boleh juga kita pasrah dengan keadaannya kita di huntara,” ungkapnya.
Kondisi ini kembali diperparah dengan kedatangan bencana non alam bernama Covid-19 yang melanda seluruh Indonesia. Perubahan sosial dan ekonomi terjadi cukup ekstrem.
Kondisi itupun begitu dirasakan oleh para pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), termasuk Dahyani.
Lara hati pemilik Keripik Pisang Tiara ini semakin menjadi-jadi. Selain karena ongkos produksi kian meningkat, sejumlah lapak untuk menjajakan keripiknya, juga sempat tutup.
Salah satu lapak yang harus tutup adalah di RS Madani Palu, akibat melakukan perawatan terhadap pasien yang terkonfirmasi postif Covid-19. Beberapa kantin perkantoran di daerah Donggala juga demikian, juga sekolah-sekolah yang saat ini baru kembali memulai aktivitas belajar mengajar.
Kondisi itu memaksa ibu empat anak ini berfikir keras agar usahanya itu tetap berproduksi.
Salah satu opsi yang saat ini ditempuhnya adalah membangun relasi ke gerai-gerai swalayan. Meski tak mudah, Dahyani yang telah mengalami operasi empedu tetap memiliki semangat yang kuat, sama seperti warga huntara lainnya.
Serba kekurangan yang dialami di huntara tak pernah membuat surut semangatnya. Kata Dahyani, harapan untuk mengembangkan produksi keripiknya itu masih ada, meski sejumlah hambatan juga ada.
Ia mengaku, usaha miliknya telah mendapatkan survey dari sejumlah pihak pemerintah, sebagai salah satu persyaratan agar keripiknya dapat dijajakan di gerai swalayan.
Sayangnya, hasil dari survey itupun cukup menegangkan hati Dahyani. Pasalnya, produksi yang ia lakukan dari dapur umum huntara, dianggap tidak layak dari sisi higienisnya sebuah produk makanan.
Dahyani tak menyerah. Ia gesit berkomunikasi dengan koordinator huntara agar dirinya bisa melakukan produksi di kamar huntara yang telah kosong. Bilik huntara yang berukuran seadanya itu, disulap sedemikian rupa oleh Dahyani, semacam kamar produksi. Lengkap menerapkan protokol kesehatan.
Berjuag hampir setahun lamanya, Keripik Tiara akhirnya teregistrasi lengkap dengan nomor PIRT seperti yang tertera pada bagian depan kemasan keripik tiara.
Keripik Tiara dinyatakan memenuhi syarat dengan ketentuan, bagian bawah penggorengan tidak diperkanankan sampai menghitam selama masa produksi. Bahkan untuk penggunaan minyak goreng, Dahyani harus rela menggantinya jika mulai berwarna kecoklatan. Jika tidak, nomor produksi keripik tiara akan dicabut.
Tentunya hal itu membuat Dahyani semakin berbesar hati, demi kenyamanan para pelanggan setianya maupun konsumen dari kalangan atas.
Meski begitu, bukan berarti produksinya itu lantas bisa melenggang masuk ke gerai-gerai swalayan.
Ia pusing tujuh keliling, masalah kemudian datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena berkaitan dengan sertifikat halal. Salah satu syaratnya, harus memisahkan lagi antara tempat pengemasan dan tempat penggorengan serta pengupasan.
Beruntungnya Dahyani, pada sisi lain di lokasi huntara yang ia tinggali itu, masih menyisakan lahan yang berukuran tak lebih dari 3 x 4 meter. Disitulah wanita berdarah Sirenja ini mulai mengupas hingga menggoreng keripik pisangnya sejak pukul 06.00 WITA hingga matahari terbenam di ufuk barat.
Sedang pada tempat pengemasan, dua malaikat kecilnya, Maghfira dan Mutiara akan bahu membahu memberikan bumbu pada keripik sesuai cita rasa khas, menempelkan merk hingga memasarkan keripik ke kios-kios.
Dahyani berlega hati, dua anak gadisnya itu tumbuh dengan rasa kepekaan yang teramat dalam terhadap kondisi saat ini.
Sekarang, ia tengah menanti-nanti kabar baik dari MUI setempat tentang kehalalan keripiknya itu, untuk dikonsumsi khalayak.
“Mudahan-mudahan, karena kalau sudah keluar sertifikat halal itu, baru bisa nak dimasukan ke swalayan begitu,” harap Dahyani. (FALDI)