PERLAHAN Ramadhan tahun ini akan meninggal kita. Tinggal menghitung hari, Lebaran pun akan menghampiri. Idul Fitri yang penuh berkah entah menjadi hari kemenangan atau mungkin adalah kekalahan.
Takbir yang digemakan sampai telinga pekak mungkin menjadi hampa di hati bagi mereka yang memang puasanya rapuh.
Marilah kita merenungi kembali puasa kita. Lihatlah, serupa dengan pemandangan Ramadhan-Ramadhan telah lalu, masjid-masjid sekarang sudah tidak lagi seramai di awal. Kini ramai itu milik mal-mal atau tempat-tempat perbelanjaan.
Limpahan pahala di 10 terakhir Ramadhan, apalagi pahala Lailatul Qadr yang lebih baik dari pada malam 1000 bulan. Ini sungguh menggiurkan. Namun nyatanya para pemburu pahala sangat jauh lebih sedikit dibanding para pemburu di pusat perbelanjaan.
Qur’an yang khusyu dibaca setiap sehabis shalat hampir tak terdengar lagi. Banyak yang lebih khusyu mengamati catatan-catatan belanjaan, struk atau label pakaian yang bergelimang diskon.
Bacaan shalat Imam Tarawih terkalahkan bising derum, klakson kendaraan dan sempritan parkir-parkir liar. Bahkan di musim penghujan yang becek ini, jalanan di akhir Ramadhan tak pernah mengenal kata sepi. Macet yang berkepanjangan, tak henti-henti hingga dini hari..
Belum lagi para ibu-ibu, sudah mulai cerewet mengamati keperluan rumah tangga. Rumah harus dicat seindah mungkin. Sedari pagi para lelaki mengoles-oles dinding sampai pagar. Tetesan cat di kulit menjadi bengkalai tersendiri bagi sah tidaknya wudhu. Tapi sahnya wudhu itu kadang tak dipedulikan lagi.
Kebutuhan Rumah Tangga, kue-kue, minuman, pakaian Idul Fitri, mudik lebaran, dan hagala (angpao) semuanya meningkat. Maka tunjangan Hari Raya menjadi bahasan utama. Para buruh, karyawan, pegawai, sampai LSM pun ribut gara-gara ini. Yang rajin sampai yang malas-malasan di kepalanya hanya THR, THR dan THR.
Memang semua rutinitas di atas tak bisa kita hindari manakala kebahagian menyambut Idul Fitri tengah meluap-luap. Namun perlulah kita merenungi lagi sejauh mana puasa kita, sehingga suka cita kita benar di hadapan Allah SWT.
Kategori puasa menurut, Imam Ghazali, dalam Kitab Ihya Ulumuddin, membagi puasa menjadi tiga bagian. “Shaum umum, dia hanya sekedar menahan nafsu makan dan minum serta nafsu syahwatnya di siang hari. Kedua shaum khusus, selain yang telah disebutkan, dia mampu menahan segala kemaksiatan mata, telinga, mulut, tangan dan menahan dari segala kepentingan. Ketiga, shaum khusus bil khusus, yaitu selain mampu menahan makan dan minum, hatinya juga berpuasa dengan menahan segala hal yang bersangkut paut dengan hal keduniaan, cukup baginya Allah untuk segalanya”. Nah kita pada katagori mana?
Jangan sia-siakan penghujung Ramadhan ini dengan perkara duniawi. Masih ada kesempatan perbaiki amal ibadah Ramadhan agar Takbir kita benar-benar bermakna saat Idul Fitri nanti. Taqabbalallahu Minna wa Minkum…. (MAL/NANANG)