Malam ini, bahkan beberapa saat sebelum pukul 23.59, kita akan menyaksikan langit yang ditaburi cahaya warna warni kembang api. Telinga kita akan penuh sesak dengan bising suara petasan dan bunyi terompet yang ditiup dari mulut banyak orang.
Ya, 31 Desember adalah penghujung tahun masehi yang selalu dirayakan hampir oleh seluruh penduduk di muka bumi. Katanya, sebagai bentuk syukur karena sudah melewati tahun dengan sukses, juga wujud kegembiraan menyambut tahun berikutnya yang penuh dengan harapan baru.
Tradisi ini sudah melekat erat di hati masyarakat dunia. Tahun baru masehi telah menjadi perayaan global yang identik dengan pesta, kembang api, dan berbagai bentuk hiburan lainnya.
Namun, bagi umat Islam, perlu untuk mempertimbangkan sudut pandang syariat terkait partisipasi dalam perayaan ini.
Islam memiliki prinsip-prinsip dasar yang mengatur perilaku umatnya agar tetap sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (SAW).
Dalam pandangan syariat, perayaan Tahun Baru Masehi tidak memiliki dasar. Perayaan ini berasal dari tradisi kaum non-muslim yang tidak terkait dengan nilai-nilai agama Islam.
Islam bahkan menekankan pentingnya menjaga identitas dan tidak ikut-ikutan dalam tradisi atau budaya yang bertentangan dengan ajarannya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala (SWT) berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al-Isra: 36)
Ayat ini mengingatkan umat Islam untuk bersikap selektif dalam mengikuti sesuatu, khususnya jika tidak ada landasan yang jelas dalam agama.
Selain itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud, no. 4031, dan dinyatakan hasan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Hadits ini secara tegas melarang umat Islam untuk menyerupai atau mengikuti tradisi yang berasal dari agama atau budaya lain yang tidak sesuai dengan Islam.
Larangan Tasyabbuh (Menyerupai)
Konsep tasyabbuh merupakan dasar penting dalam memahami hukum terkait perayaan seperti Tahun Baru Masehi.
Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki keunikan identitas, baik dalam akidah, ibadah, maupun kebiasaan sehari-hari.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Kalian benar-benar akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga jika mereka masuk ke lubang biawak pun, kalian akan mengikutinya.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa lagi?”_ (HR. Bukhari, no. 7320; Muslim, no. 2669)
Hadits ini mengingatkan umat Islam agar tidak terjebak dalam budaya yang bertentangan dengan prinsip Islam.
Dampak Negatif Perayaan Tahun Baru
Selain tidak sesuai dengan ajaran Islam, perayaan Tahun Baru sering kali disertai dengan kemaksiatan, seperti:
Pemborosan Harta: Banyak yang menghabiskan uang untuk membeli kembang api, pesta, dan kegiatan lain yang tidak bermanfaat.
Maksiat: Tidak sedikit perayaan ini diwarnai dengan minuman keras, pergaulan bebas, dan hiburan yang melalaikan.
Melupakan Allah: Waktu malam pergantian tahun sering kali berlalu tanpa diisi dengan ibadah atau dzikir.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al-Isra: 26-27)
Makna Tahun Baru dalam Islam
Sebagai umat Islam, sikap terbaik dalam menyikapi perayaan Tahun Baru Masehi adalah tidak Ikut-ikutan, sembari menyampaikan kepada keluarga dan teman dekat tentang pentingnya menjaga identitas Islam dan menjauhi tradisi yang tidak sesuai syariat.
Islam memiliki kalendernya sendiri, yaitu kalender Hijriyah, yang dimulai sejak peristiwa hijrahnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari Makkah ke Madinah.
Dalam kalender ini, terdapat momen-momen penting seperti awal bulan Muharram, yang diisi dengan introspeksi dan amal kebaikan, bukan pesta pora. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya beberapa bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.” (QS. At-Taubah: 36)
Empat bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab) dimuliakan dalam Islam, termasuk Muharram sebagai bulan awal dalam kalender Hijriyah. Wallahu a’lam
RIFAI (REDAKTUR MEDIA ALKHAIRAAT)