Sabtu 24 Oktober 2020, jarum jam menunjukan pukul 22.00 Wita. Itu artinya, sejam lagi portal di Pos Lapangan Covid-19 yang ada di perbatasan Kota Palu dan Kabupaten Donggala, tepatnya di Kelurahan Tawaeli sudah harus dibentangkan. Pintu masuk ke Ibu Kota Sulawesi Tengah ditutup.
Hanya pelaku perjalanan yang membawa surat keterangan rapid test atau hasil swab test dari daerah asal yang dibolehkan masuk. Bagi mereka yang sama sekali tak membawa dokumen persyaratan tersebut, jangan harap bisa lolos. Tak ada pilihan, selain harus memutar balik kembali ke daerah asal.
Ada pilihan lain. Pelaku perjalanan harus bersedian dilakukan rapid test langsung ditempat, dengan tarif yang sudah ditentukan oleh Pemerintah Kota Palu melalui Dinas Kesehatan setempat.
Tapi, itu pun belum boleh bernafas lega atau senang. Apabila hasil rapid test reaktif, maka jangankan bisa lolos ke tempat tujuan, kembali ke daerah asal pun tidak dibolehkan, karena ruang karantina atau isolasi sudah siap menampung.
Di Kota Palu sendiri, namanya dihaluskan. Bukan tempat isolasi atau karantina, melainkan pondok perawatan Covid-19.
Keharusan itu, rupa-rupanya menjadi salah satu dorongan bagi masyarakat berubah secara drastis dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Bak pepatah, banyak jalan menuju ke roma, maka banyak pula jalan menuju Kota Palu tanpa harus melewati petugas di posko depan Kantor Camat Tawaeli itu.
JALAN TIKUS, RUTE NYAMAN MASUK PALU
Penuturan dua warga Desa Nuvabomba, Kecamatan Tanantove, Kabupaten Donggala kepada Media Alkhairaat, cukup mengonfirmasi bagaimana pos penjagaan yang dijaga ketat oleh aparat gabungan, Polri, Dishub, Pol PP dan TNI, tidak berkutik sama sekali.
Semula, awam mungkin akan menganggap biasa, manakala melihat ada banyak jejeran sepeda motor yang terparkir di ruas jalan yang menghubungkan langsung Kota Palu-Parigi itu.
Tapi sesungguhnya, itu bukanlah pemandangan biasa. Mereka yang tampak santai mengobrol dari atas motornya, justru sedang menjalankan “bisnis” yang mungkin bagi pemerintah adalah ilegal dan terlarang.
Mata mereka jeli melihat pengendara dari arah Parigi yang akan masuk ke wilayah Kota Palu.
“Jalan tikus om…om jalan tikus” atau “jalan pintas…jalan pintas”.
Ituklah kalimat yang sering terdengar dari mereka yang menawarkan jasa bagi pelaku perjalanan yang melintas di depannya.
Memang, tidak kepada semua pengendara mereka akan menawarkan jasa semacam itu. Hanya kepada yang terlihat memiliki banyak barang bawaanlah tawaran itu berlaku. Salah-salah menawarkan kepada orang, maka jaruji sudah pasti menanti.
Jika ada kendaraan yang berhenti atau memelankan kendaraannya, seketika muncul tiga empat orang mengajak berbicara. Mereka akan memastikan terlebih dahulu, apakah pengendara tersebut memang tidak memiliki dokumen penting untuk melintas di pos penjagaan Covid-19.
Sesudah itu, jasa untuk membantu mengelabui aparat di pos penjagaan dengan menempuh jalan pintas atau jalan tikus, pun ditawarkan.
Tak butuh waktu lama, karena berikutnya adalah tawar menawar harga. Jika harga cocok, selanjutnya adalah menentukan siapa yang harus mengendarai motor.
Namun untuk kepentingan menyamarkan identitas, warga setempatlah yang mengendarai motor. Sedangkan pemilik kendaraan cukup duduk manis di belakang. Sebelum, nangkring disadel motor, atribut yang menandakan sedang dalam perjalanan jauh harus disamarkan, misalnya tidak boleh membawa tas mencolok di punggung. Tas diletakan di bagian depan di bawah setang motor. Helm dicopot. Akan lebih mulus lagi jika hanya memakai sendal jepit.
“Io bang, supaya tidak kentara toh kalau kita dari luar,” kata Anca (nama samaran), sang pemandu “jalan tikus”.
Anca mengungkapkan, semakin sedikit tentengan, makin bagus untuk penyamaran. Sebab petugas akan mengira, mereka adalah penduduk setempat yang lalu lalang mengurus kebutuhannya.
Pernah, kata Anca, ia membawa warga dari Morowali yang tentengannya banyak. Terpaksa, tas dan sejumlah bawaan lainnya harus ditumpangkan pada teman lainnya, agar penyamaran sempurna.
“Tapi bayarannya ditambah juga,” ungkapnya.
Ditempat yang sama, Ojan (28) -juga nama samaran- mengatakan, saat ini warga Nupabomba yang menjadi pengojek dadakan, tak hanya mereka. Siapa pun yang mempunyai motor di rumahnya, bisa melakukannya.
Walau tidak ada kesepakatan di antara mereka, namun harga umumnya dipatok Rp30 ribu sekali jalan.
Ojan bilang, angka itu terbilang kecil jika dibandingkan harus membayar rapid test mandiri dari daerah asal maupun yang disiapkan di posko.
Namun tarif Rp30 ribu itu pun bisa dinego. Sebab kerap kali yang menggunakan jasanya adalah mahasiswa. Tarif bisa dikorting Rp20 ribu sekali antar.
Selanjutnya kata Ojan, tari Rp30 ribu itu hanyalah dimulai dari tempatnya mangkal sebagai tempat terjauh. Tarif bisa naik menjadi Rp50 ribu-Rp60 ribu jika semakin dekat dengan pos penjagaan. Bahkan, akan lebih tinggi tarifnya menjadi Rp100 ribu jika jarak posko penjagaan menyisakan hitungan puluhan meter.
Apa penyebabnya? Kalau semakin dekat, kecurigaan petugas makin kuat, apa lagi jika kebetulan ada petugas yang melihat dari jarak jauh.
”Wadoh bang kalau keliatan, bisa langsung ke kantor polisi kitorang ini,” kata Ojan, dibarengi sedikit tertawa.
Tak hanya motor, ternyata mereka juga bisa meloloskan mobil. Caranya dilakukan dengan hati-hati. Sebab, tak banyak orang di kampungnya yang mempunyai kendaraan roda empat, sehingga jika ada penduduk kampung yang keseringan membawa mobil, itu bisa mengundang kecurigaan.
Biasanya, jika ada mobil yang harus Ojan bawa melewati jalan pintas, maka lebih dulu dilakukan survei untuk memastikan posisi petugas.
Kecepatan kendaraan pun harus diatur, sehingga tidak memancing perhatian petugas. Tarifnya Rp60 ribu sekali jalan.
“Kalau selama ini, alhamdulillah selalu lolos,” katanya.
Ojan mengaku, ia tidak tiap hari menjadi joki motor. Ini untuk menghindari kecurigaan petugas jika setiap hari lalu lalang di jalan dengan kendaraan dan kawan berbeda.
Kekhawatiran mereka sangat beralasan. Pasalnya, jalur pintas yang disebutnya jalan tikus, sangat dengan posko penjagaan.
Hanya berjarak sekitar lima meter dari petugas, Ojan sudah harus membelokan setir motor ke arah kanan melintasi jalan tikus. Memutar mengitari Kantor Camat Palu Utara, ke arah belakang Kantor Camat dan tembus ke jalan utama –depan Kantor Pegadaian sebagai tujuan terakhir.
Anca dan Ojan mengungkapkan, pada masa pagebluk Covid-19, ia banting setir menjadi tukang ojek dadakan. Karena perusahaan tempatnya bekerja, yakni pabrik pengolahan rotan di Kayumalue kini belum beroperasi.
Untung yang didapat diakuinya tak seberapa. Sehari ia pernah mengantar 10 orang. Namun hari ini adalah antaran terbanyak yang ia dapat sejak pengetatan di perbatasan Tawaeli. Hasilnya dibagi dengan temannya masing-masing Rp150 ribu.
Biasanya, kata dia, penumpang akan membludak pada akhir pekan, Jumat, Sabtu dan Minggu cukup banyak. Namun saingan juga banyak.
Selain itu, ia tidak bisa sesering mengantar penumpang, khawatir penyamarannya terendus petugas.
Rekan Anca itu menyadari betul apa yang dilakukannya memang keliru. Namun tak ada pilihan lain, risiko terpapar virus ganas jika pelaku pengendara tersebut betul-betul reaktif, serta bayang-bayang jeruji jika tertangkap aparat, harus diambil.
Sebab, si tulang punggung keluarga itu pun harus memastikan, dapur mereka tetap mengepul di hari esok. Susu formula untuk si buah hati juga harus dipastikan tersedia.
Reporter : Faldi
Editor : Rifay