JALAN TIKUS, RUTE NYAMAN MASUK PALU

Penuturan dua warga Desa Nuvabomba, Kecamatan Tanantove, Kabupaten Donggala kepada Media Alkhairaat, cukup mengonfirmasi bagaimana pos penjagaan yang dijaga ketat oleh aparat gabungan, Polri, Dishub, Pol PP dan TNI, tidak berkutik sama sekali.

Semula, awam mungkin akan menganggap biasa, manakala melihat ada banyak jejeran sepeda motor yang terparkir di ruas jalan yang menghubungkan langsung Kota Palu-Parigi itu.

Tapi sesungguhnya, itu bukanlah pemandangan biasa. Mereka yang tampak santai mengobrol dari atas motornya, justru sedang menjalankan “bisnis” yang mungkin bagi pemerintah adalah ilegal dan terlarang.

Mata mereka jeli melihat pengendara dari arah Parigi yang akan masuk ke wilayah Kota Palu.

“Jalan tikus om…om jalan tikus” atau “jalan pintas…jalan pintas”.

Ituklah kalimat yang sering terdengar dari mereka yang menawarkan jasa bagi pelaku perjalanan yang melintas di depannya.

Memang, tidak kepada semua pengendara mereka akan menawarkan jasa semacam itu. Hanya kepada yang terlihat memiliki banyak barang bawaanlah tawaran itu berlaku. Salah-salah menawarkan kepada orang, maka jaruji sudah pasti menanti.

Jika ada kendaraan yang berhenti atau memelankan kendaraannya, seketika muncul tiga empat orang mengajak berbicara. Mereka akan memastikan terlebih dahulu, apakah pengendara tersebut memang tidak memiliki dokumen penting untuk melintas di pos penjagaan Covid-19.

Sesudah itu, jasa untuk membantu mengelabui aparat di pos penjagaan dengan menempuh jalan pintas atau jalan tikus, pun ditawarkan.

Tak butuh waktu lama, karena berikutnya adalah tawar menawar harga. Jika harga cocok, selanjutnya adalah menentukan siapa yang harus mengendarai motor.

Namun untuk kepentingan menyamarkan identitas, warga setempatlah yang mengendarai motor. Sedangkan pemilik kendaraan cukup duduk manis di belakang. Sebelum, nangkring disadel motor, atribut yang menandakan sedang dalam perjalanan jauh harus disamarkan, misalnya tidak boleh membawa tas mencolok di punggung. Tas diletakan di bagian depan di bawah setang motor. Helm dicopot. Akan lebih mulus lagi jika hanya memakai sendal jepit.

“Io bang, supaya tidak kentara toh kalau kita dari luar,” kata Anca (nama samaran), sang pemandu “jalan tikus”.

Anca mengungkapkan, semakin sedikit tentengan, makin bagus untuk penyamaran. Sebab petugas akan mengira, mereka adalah penduduk setempat yang lalu lalang mengurus kebutuhannya.

Petugas kesehatan sedang mengukur suhu tubuh pengendara yang akan masuk ke Ibu Sulawesi Tengah, tepatnya di Perbatasan Kota Palu-Donggala, beberapa waktu lalu. (FOTO: FALDI)

Pernah, kata Anca, ia membawa warga dari Morowali yang tentengannya banyak. Terpaksa, tas dan sejumlah bawaan lainnya harus ditumpangkan pada teman lainnya, agar penyamaran sempurna.

“Tapi bayarannya ditambah juga,” ungkapnya.

Ditempat yang sama, Ojan (28) -juga nama samaran- mengatakan, saat ini warga Nupabomba yang menjadi pengojek dadakan, tak hanya mereka. Siapa pun yang mempunyai motor di rumahnya, bisa melakukannya.

Walau tidak ada kesepakatan di antara mereka, namun harga umumnya dipatok Rp30 ribu sekali jalan.

Ojan bilang, angka itu terbilang kecil jika dibandingkan harus membayar rapid test mandiri dari daerah asal maupun yang disiapkan di posko.

Namun tarif Rp30 ribu itu pun bisa dinego. Sebab kerap kali yang menggunakan jasanya adalah mahasiswa. Tarif bisa dikorting Rp20 ribu sekali antar.

Selanjutnya kata Ojan, tari Rp30 ribu itu hanyalah dimulai dari tempatnya mangkal sebagai tempat terjauh. Tarif bisa naik menjadi Rp50 ribu-Rp60 ribu jika semakin dekat dengan pos penjagaan. Bahkan, akan lebih tinggi tarifnya menjadi Rp100 ribu jika jarak posko penjagaan menyisakan hitungan puluhan meter.

Apa penyebabnya? Kalau semakin dekat, kecurigaan petugas makin kuat, apa lagi jika kebetulan ada petugas yang melihat dari jarak jauh.

Wadoh bang kalau keliatan, bisa langsung ke kantor polisi kitorang ini,” kata Ojan, dibarengi sedikit tertawa.