OLEH : HS Shaleh Bin Muhammad Aldjufri*
Sesungguhnya menjaga kehormatan ulama, mentaati dan memuliakan mereka adalah kebutuhan manusia. Tanpa ulama, manusia akan hidup tanpa bimbingan dan arahan yang pada akhirnya tatkala manusia hidup tanpa aturan, tidak ada yang ditaati dan dipatuhi maka kehancuran kehidupan hanya tinggal menunggu waktu.
Oleh karena itu Rasulullah SAW berpesan agar menjaga ulama: “Ulama adalah pewaris para Nabi” begitulah Rasulullah tegaskan dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At Tirmidzi.
Sebagai pewaris para Nabi, ulama memiliki peran dan fungsi sebagaimana para Nabi sekalipun status mereka tetap sebagai manusia biasa bukan Nabi ataupun Rasul. Oleh karena itu ulama memiliki tanggungjawab membina, membimbing, menjaga umat di jalan kebenaran dan menghindarkan mereka dari jalan kesesatan sesuai syariat Allah dan Rasul-Nya.
Sedemikian pentingnya kedudukan ulama yang begitu vital dan terhormat, maka menjaga kehormatannya menjadi sebuah keniscayaan. Karena membela kehormatan ulama sama dengan membela agama itu sendiri. Syaikh Utsaimin pernah berkata, “Mengghibah ulama memberikan mudharat kepada Islam seluruhnya. Karena umat akan tidak percaya lagi kepada ulama lalu mereka akan meninggalkan fatwa para ulama dan lepaslah mereka dari agama.”
Ulama adalah seorang pemimpin agama yang dikenal luas masyarakat akan kesungguhan dan kesabarannya dalam menegakkan kebenaran, sebagaimana Allah firmankan dalam surat As-Sajdah ayat 24, “Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami, ketika mereka bersabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.”
Jika keberadaan para Nabi adalah karunia yang sangat berharga, maka keberadaan para ulama pun di tengah-tengah masyarakat merupakan karunia yang tak ternilai harganya. Jika keberadaan para Nabi mutlak dibutuhkan oleh umat maka begitupun para ulama. Jika para Nabi adalah manusia agung yang harus ditaati dan dihormati, begitu pula para ulama adalah manusia mulia yang harus ditaati dan dihormati sesuai koridor syar’i.
Memiliki dan mengamalkan adab terhadap ulama adalah keharusan. Tidak boleh mencela, menggibah dan merendahkan kehormatan ulama. Ibnu ‘Asakir berkata, “Ketahuilah, bahwa daging–daging ulama itu beracun, dan sudah diketahui akan kebiasaan Allah dalam membongkar tirai orang-orang yang meremehkan atau merendahkan mereka, dan sesungguhnya barang siapa yang melepaskan lidahnya untuk mencela ulama maka Allah akan mengujinya dengan kematian hati sebelum ia mati.”
Ulama adalah seorang pemimpin agama yang dikenal luas masyarakat akan kesungguhan dan kesabarannya dalam menegakkan kebenaran, sebagaimana Allah firmankan dalam surat As-Sajdah ayat 24, “Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami, ketika mereka bersabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.”
Bila kita tidak memiliki kepercayaan pada para ulama, lalu kepada siapakah kita akan menaruh kepercayaan? Jika kepercayaan terhadap para ulama telah hilang, lalu kepada siapakah kaum muslimin meminta solusi dalam menyelesaikan masalah-masalahnya dan meminta penjelasan tentang hukum-hukum syari’at? Tatkala hal itu telah terjadi, maka akan terjadi kekacauan dan kebingungan dalam umat”.
Sebagai bukti kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, hendaklah manusia mentaati para ulama yang benar sebagaimana Allah titahkan dalam firman-Nya; “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’: 59). Wallahul Mustaan
*Penulis adalah Direktur Utama Harian Umum Media Alkhairaat sekaligus Anggota DPD periode 2014-2019