Disadari ataukah tidak, hakikat seorang manusia adalah makhluk akhirat, bukan makhluk dunia.

Cepat atau lambat, pasti manusia akan meninggalkan yang namanya dunia, meski dia sangat mencintainya. Kemudian dia akan menuju alam keabadian yang tak lain adalah akhirat.

Percaya atau tidak, beriman atau kafir, semua akan menuju kepda apa yang telah menjadi pilihannya semala berada di dunia. 

Namun banyak manusia tak menjadari ketika  kita bekerja untuk kepentingan dunia, seakan-akan kita ingin menjadi generasi dunia.

Kebanyakan waktu digunakan untuk kepentingan dunia, seperti mengejar kedudukan dan harta benda, tak peduli walaupun harus mengganjal orang lain atau berbuat tak adil.

Pada saat yang sama sikap kikir kian menguat, sehingga merasa tak penting menabung untuk kehidupan sendiri di akhirat. Bahkan yang sudah tua pun tak peduli keadaan dirinya.

Padahal sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib, pernah mengingatkan bahwa dunia bergerak cepat meninggalkan kita.

Sahabat Ali mengatakan: Dunia berjalan meninggalkan manusia, sedangkan akhirat berjalan menjemput manusia, dan masing-masing memiliki generasi. Maka jadilah kalian generasi akhirat dan janganlah kalian menjadi generasi dunia. Karena hari ini (di dunia) yang ada hanyalah amal, dan belum dihisab; sedangkan besok (di akhirat) yang ada adalah hisab dan tidak ada lagi amal” (‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu).

Hal itu memang tak sebatas perkataan, tetapi kenyataan. Begitu cepat yang ada di dunia ini berubah, seperti manusia dari anak-anak menjadi remaja, lalu menjadi dewasa, tua, dan menghilang (mati) dari dunia ini.

Bahkan sebahagian orang menghilang sebelum tua, dan bahkan sebelum dewasa, atau sebelum remaja.

Kita yang masih diberikan kesempatan hidup sebentar lagi pun bisa melihat sendiri betapa banyak orang-orang di sekeliling kita yang telah pergi menuju akhirat.

Semua manusia bergerak dan berusaha demi kenikmatan yang menjadi tujuan.

Garis besarnya ada dua titik akhir yang diharapkan. Ada yang menginginkan dunia sebagai terminal akhir perjalanan, ada pula yang menatap lebih jauh ke depan, mereka jadikan akhirat sebagai akhir perjalanan yang didambakan.

Masing-masing titik tujuan, ada penggemarnya. Ada yang banting tulang demi nikmat dunia yang didamba, ada yang bekerja keras demi kejayaan hidup setelah dunia menjadi sirna.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy-Syura: 20)

Sebagai mukmin sejati, akhirat adalah terminal dan tujuan terakhir kita. Apapun yang kita perbuat di dunia ini adalah wasilah (jembatan) untuk kehidupan akhirat yang kekal dan abadi.

Dari Abdullah bin Umar –radhiyallahu ‘anhu- ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memegang pundakku seraya bersabda, ‘Jadilah kamu di dunia seperti orang asing, atau orang yang sedang dalam perjalanan (untuk mampir sementara)’

Orang yang cerdas akan menjatuhkan pilihan akhirat sebagai negeri tujuan yang didambakan. Alasannya sangat kuat, tak ada satu celahpun keraguan hati yang melekat. Karena informasi bersumber dari al-Qur’an yang seratus persen akurat. Allah berfirman. ” Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” {Al-‘Ala : 17}

Jenis kenikmatan yang tersedia terlampau hebat untuk dibayangkan. Masa mengenyam kelezatannya kekal tiada batasan. Hanya orang bodoh yang rela kehilangan, demi kenikmatan yang sangat sedikit, dengan durasi waktu yang sangat sempit.

Karena itulah, Nabi memberikan gelar al-kayyis, orang yang jenius bagi mereka yang mau mengevaluasi diri dan berbekal untuk hidup setelah mati.

Jadi, marilah kita memapah diri sendiri untuk mengubah segala sikap dan perilaku layaknya generasi akhirat, yaitu generasi yang selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Wallahu a’lam

DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)