PALU – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) kembali menggelar sosialisasi dan pendidikan pemilih kepada kalangan mahasiswa di Kota Palu, Senin (10/10).

Kali ini, KPU menyasar mahasiswa di Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama  Palu, setelah sebelumnya juga menggelar kegiatan yang sama di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) dan Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (Stisipol) Panca Bhakti Palu.

Pada kesempatan itu, Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih (Sosdiklih) dan Partisipasi Masyarakat (Parmas) KPU Sulteng, Dr Sahran Raden yang hadir sebagai pemateri, menyampaikan beberapa hal yang menjadi tantangan pada Pemilu 2024 mendatang.

Beberapa tantangan yang dimaksud adalah maraknya disinformasi dan berita hoax dalam kampanye, maraknya politik uang, keserentakan memilih dengan 5 surat suara, politik identitas atau SARA dan kualitas daftar pemilih.

Khusus politik identitas, Sahran mengungkapkan potensi timbulnya isu tersebut pada tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD dan DPRD, Gubernur, Bupati dan Wali Kota serta menjelang pemungutan suara.

Menurutnya, politik identitas merupakan pemanfaatan manusia secara politis yang mengutamakan kepentingan sebuah kelompok karena persamaan identitas yang mencakup ras, etnis, dan gender, atau agama tertentu.

“Politik ini kerap digunakan di masa lampau. Sebagai Contoh Adolf Hitler yang meyakinkan orang-orang Jerman bahwa sumber krisis ekonomi dan kekalahan perang dunia adalah karena pengaruh orang-orang Yahudi,” jelasnya.

Di Indonesia, kata dia, pola operasionalisasi politik Identitas dimainkan secara optimal melalui roda pemerintahan. Hal ini sejalan dengan bergesernya pola sentralisasi menjadi desentralisasi, di mana pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri dan pengakuan politik dalam pemilihan kepala daerah oleh konstituen di daerah masing-masing.

“Wilayah agama sebagai lahan beroperasinya politik identitas,” tekannya.

Ia pun mengemukakan beberapa solusi dalam menyikapi isu tersebut.

“Moderasi beragama atau Islam Washatiyah adalah salah satu solusinya,” ujarnya.

Dosen Jurusan Hukum Tata Negara Islam (Siyasah Syariyyah), Fakultas Syariah, UIN Datokarama Palu itu menjelaskan, Islam Washatiyah mempunyai sejumlah pilar yang bisa menangkal politik identitas.

“Pertama, pilar keadilan, adil dalam arti sama, yakni persamaan dalam hak. Seseorang yang berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda,” jelasnya.

Selanjutnya adalah pilar keseimbangan. Kata dia, keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua bagian unit agar seimbang.

“Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya,” jelasnya.

Pilar ketiga adalah toleransi. Sahran menjelaskan, toleransi adalah batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih bisa diterima.

“Toleransi adalah penyimpangan yang tadinya harus dilakukan menjadi tidak dilakukan, singkatnya adalah penyimpangan yang dapat dibenarkan,” terangnya.

Sahran juga menguraikan beberapa karakteristik Islam Washatiyah, seperti idiologi non-kekerasan, mengadopsi pola kehidupan moderen beserta seluruh derivasinya, seperti sains dan teknologi, demokrasi, HAM dan semacamnya. 

“Penggunaan pemikiran rasional dalam mendekati dan memahami ajaran agama, menggunakan pendekatan kontekstual dalam memahami sumber-sumber ajaran agama,” tuturnya.

Lebih lanjut ia mengungkapkan solusi lain dalam menyikapi tantangan-tantangan dalam Pemilu ke depan, yakni strategi pendidikan pemilih melalui konsep pemilu inklusif.

“Pemilu Inklusif adalah pemilu terbuka, ramah, meniadakan hambatan tanpa terkecuali, menghargai dan merangkul setiap perbedaan. Hal ini bisa memberikan peluang bagi setiap orang untuk berpartisipasi mengupayakan kemudahan melaksanakan haknya dalam pemilu,” tandasnya. */RIFAY