PALU – Lonjakan konsumsi batubara PLTU captive di kawasan industri Morowali dan Morowali Utara menunjukan adanya kekosongan regulasi hijau dalam tata kelolanya. Hal ini terungkap dalam hasil riset Indonesian Parliamentary Center (IPC).

Riset tersebut dipaparkan langsung Direktur IPC, Arif Adiputro dalam Dialog Kebijakan: Mendorong Green Legislation dalam Rangka Membangun Ekonomi Berkelanjutan di Sulawesi Tengah, yang digelar Indonesian Parliamentary Center (IPC) bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu, di Aston Hotel Palu, Jumat (5/12).

Diskusi yang menghadirkan 20 peserta dari unsur pemerintah, akademisi, jurnalis, pengusaha, dan lembaga masyarakat sipil itu membahas keterkaitan antara ekspansi industri nikel, krisis ekologis, dan lemahnya pengawasan negara lewat regulasi.

Arif Adiputro dari IPC mengungkap konsumsi batubara di kawasan industri mencapai 3 juta ton pada 2023. Dalam periode Juni hingga Desember 2024, penggunaannya diperkirakan menembus 5 juta ton. Menurutnya, pertumbuhan industri nikel sama sekali tidak diikuti kualitas tata kelola yang memadai.

“Kondisi ini mempertegas kekosongan regulasi hijau. Pengawasan tidak sebanding dengan laju aktivitas industri yang terus menekan kualitas lingkungan,” kata Arif.

Ia menambahkan PLTU captive memperumit inventarisasi emisi, sehingga berpotensi menjadikan Sulteng sebagai penyumbang emisi industri terbesar di masa depan.

IPC mendesak agar DPR dan DPRD Sulteng memperkuat regulasi lingkungan, termasuk kewajiban penurunan emisi sedikitnya 10 persen setelah PLTU beroperasi 10 tahun.

Sementara itu, Sekretaris Dinas ESDM Sulteng Devi Yuniarty Elyana Borman menegaskan tantangan besar dalam transisi energi. Bauran energi baru terbarukan baru 10,33 persen, sebagian karena pelaku usaha belum melaporkan komposisi energinya.

“Sulteng memiliki potensi energi surya yang besar. Tetapi persoalan kewenangan membuat pemanfaatannya tidak optimal,” ujarnya.

Ia juga menyampaikan masih ada 86 desa yang belum memiliki akses listrik. Program Berani Menyala menargetkan 1.000 rumah tangga per tahun, namun terhambat minimnya anggaran.

Direktur Kompas Pedilu Hutan (KOMIU), Given, mengingatkan bahwa ketergantungan Morowali dan Morowali Utara pada dana bagi hasil (DBH) Minerba sangat tinggi. Padahal, Sulteng masih memiliki 4,4 juta hektare kawasan hutan dan potensi ekonomi perkebunan yang belum digarap maksimal.

Sementara itu, akademisi FEB Untad Moh Ahlis Djirimu membeberkan ketimpangan pembagian pendapatan sektor tambang. Dari 22 IUP yang mengantongi RKAB 2025, Sulteng hanya menerima Rp945 juta atau 30 persen dari iuran tetap, meski luas konsesi mencapai 52.517 hektare. Ia juga menunjukkan peningkatan kasus ISPA di Bahodopi yang berada dalam kawasan industri. Angkanya jauh lebih tinggi dibanding daerah lain yang berada di luar lingkar industri.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sulteng, Wijaya Candra menilai persoalan lingkungan hidup di Morowali adalah alarm keras bagi pemerintah. “Bencana di Sumatra bukan kejadian mendadak. Aktivitas tambang dan ekspansi sawit punya peran besar. Itu teguran alam,” tegasnya.

Ia juga mempertanyakan rencana pembangunan pabrik pengolahan kelapa di Morowali yang bukan basis produksi kelapa. Produksi daerah itu hanya 1.500 ton per bulan pada 2019, jauh lebih kecil dibanding Sigi dan Parigi Moutong. Sekretaris PWI Sulteng Temu Sutrisno mengingatkan Sulteng memiliki Perda terkait regulasi hijau. “Perda itu ada, tetapi tidak berjalan,” tegasnya.

Sementara itu, Ketua AJI Palu, Agung menyampaikan terimakasihnya kepada IPC yang sudah menggandeng AJI Palu menggelar kegiatan ini. Menurutnya, apa yang disoroti oleh IPC sejalan dengan komitmen AJI dalam memperkuat liputan lingkungan dan energi, serta mendorong transparansi data terkait emisi, kesehatan warga, dan keselamatan kerja.

“Warga harus tahu risiko ekologis dan kesehatan yang mereka hadapi. Jurnalis memiliki tanggung jawab memastikan informasi ini tersedia dan akurat sampai kepada masyarakat awam,” sebut Agung.

Dialog tersebut menjadi forum multipihak untuk merumuskan langkah bersama mendorong regulasi lingkungan yang lebih kuat dan pengawasan industri yang lebih ketat di Sulawesi Tengah Di akhir diskusi, Direktur IPC menyerahkan Hasil Riset terkait dengan ESG (Environmental, Social, Governance) dan dekarbonisasi PLTU captive di Morowali dan Morowali Utara. (AJI PALU)