PALU – Data Badan Pusat Statistik (BPS) Tanggal 17 Juli 2023, menunjukkan tingkat kemiskinan di Sulawesi Tengah yang mengalami peningkatan dari 12,30% pada 2022 menjadi 12,41%.
Kondisi ini terjadi justru di daerah sebagai daerah penghasil nikel. Hilirisasi nikel yang diklaim telah menaikan pertumbuhan ekonomi daerah sampai 15 persen karena investasi dan ekspor, justru menimbulkan kesenjangan baru.
Analisis kualitas lingkungan dan potensi dampak lingkungan yang dilakukan oleh Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), menemukan bahwa buangan air bahang PLTU captive juga menyebabkan suhu air laut di pesisir Dusun Kurisa, Morowali, Sulawesi Tengah mencapai 31,4° Celcius.
Peningkatan suhu ini berpotensi mengancam ekosistem terumbu karang dan lamun serta berpengaruh pada kesehatan masyarakat pesisir.
Perubahan pola mata pencaharian juga dirasakan oleh warga Morowali, Ibu E. Wanita ini mengungkapkan bahwa sebelum hadirnya industri nikel, desanya merupakan desa yang sejahtera, mudah mencari beragam jenis ikan dan kerang.
“Dulu, jam 7 sampai jam 10 sudah dapat beragam jenis ikan. Saat ini, walau berangkat dari jam 7 sampai sore, ikan sudah susah didapat karena banyaknya kapal-kapal yang mengangkut batubara (captive),” ujarnya.
Tak hanya itu, saat ini warga justru kesulitan mendapatkan sumber air bersih. Bahkan kini harus membayar Rp20 ribu/liter untuk mendapatkan air bersih.
Ibu E juga mengeluh, kebun-kebun yang tidak lagi bisa panen tiap tahun karena tertutup oleh debu kendaraan milik perusahaan. Warga Morowali juga terserang penyakit kulit misterius yang diduga disebabkan oleh polusi.
“Jika mau dibilang ketinggalan, desa kami sangat tidak pantas. Akan tetapi, jangankan sejahtera, menuju sejahtera saja tidak bisa. Untuk pemerintah, dimana janji kalian? Kami protes saja dianggap provokator,” ucapnya.
Merasakan hal yang serupa, warga Desa Morowali Utara, juga mengeluh sulitnya mendapat meti (kerang sungai) yang berkualitas karena saat ini banyak meti yang mengandung pasir di dalamnya.
Ibu Y, salah satu warga mengaku dulunya dapat menyekolahkan anaknya hanya dengan menjual meti, namun saat ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun semakin sulit.
“Para perempuan sudah tidak bisa mengupas meti. Contohnya saya, sekarang sudah tidak dan karena meti yang sudah semakin sulit didapatkan akibat tersedot penambang pasir yang didistribusikan untuk pembangunan beberapa perusahaan antaranya GNI. Dulunya kami bisa mendapatkan Rp20 ribu sampai Rp25 ribu per jam. Mereka beralih menjual makanan,” ucap ibu Y.
Terlebih, kata dia, dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat berasal dari para pekerja perusahaan, banyak kos-kosan yang dibangun tanpa memperhatikan pembuangan limbah rumah tangga.
Akibatnya, Sungai La di Morowali Utara yang menjadi sumber air bersih warga menjadi tercemar dan warga pun sulit mendapatkan akses air bersih.
“Kami harus membeli air galon, walaupun ada sumur tapi kalau cuaca sedang panas air sumur berubah jadi kuning dan air sumur menjadi kering. Istilahnya lebih gampang mencari meti di darat, daripada mencari meti di sungai,” pungkasnya.
Keluhan warga tersebut direspon oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sulawesi Tengah, In’am Fathoni Burhanuddin. Menurutnya, masyarakat bisa melaporkan langsung dampak yang dirasakan kepada DLH.
Ia pun menyatakan bahwa warga sebenarnya dapat mengakses dokumen AMDAL dari perusahaan-perusahaan terkait.
“Masyarakat bisa juga melaporkan kepada Dinas Lingkungan Hidup terkait pencemaran udara akibat dari aktivitas PLTU Batubara,” ujarnya.
Sementara, Mahfud Masuara, calon anggota DPRD Provinsi Sulteng yang akan duduk nanti, berjanji akan
membuat kerangka pengaman (safeguard) bagi masyarakat di lingkar tambang.
Di pihak lain, Pius Ginting dari Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), mengatakan, pemerintah
seharusnya punya paradigma yang berbeda dalam hal peningkatan ekonomi. Dalam hal ini, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, menggantikan paradigma ekonomi yang sekadar tinggi saja.
“Soalnya peningkatan ekonomi semata itu bermasalah, hanya menghasilkan penggusuran petani, upah buruh murah dan penyingkiran nelayan,” jelasnya.
Menurut Yayasan Tanah Merdeka (YTM), sejak adanya pertambangan di Morowali Utara, para perempuan pembela HAM semakin tersingkir dari ruang produksi. Dalam hal ini produksi meti jadi menurun dan para perempuan jadi memilih pekerjaan lain, karena mencari meti (kerang) sudah jarang, terutama di Desa Towara dan Tompira.
Selain itu, menurut YTM, dengan adanya pertambangan nikel yang salah kelola, para pekerja perempuan juga rentan akan kesehatan dan keselamatan kerjanya, karena tidak ada perhatian khusus perusahaan terhadap perempuan menyusui misalnya, dengan menyediakan ruang laktasi seperti di PT. IMIP.
Contoh kasus dialami Nirwana Selle, yang menjadi tumbal pada tahun 2022 di PT. GNI gara-gara perusahaan abai terhadap keselamatan pekerja dan terakhir kejadian di PT. ITSS pada 24 Desember 2023 silam, yang menewaskan 21 pekerja.
Adapun menurut SP Palu, pengrusakan ruang hidup dan sumber-sumber kehidupan perempuan ini adalah bentuk kekerasan yang dilakukan oleh perusahaan dan pemerintah karena telah melakukan pembiaran terhadap pengrusakan kepada ruang hidup perempuan.
Bagi SP Palu, pemerintah harus tegas terhadap perusahaan ataupun investasi yang merusak lingkungan, merusak sumber-sumber kehidupan perempuan di Morowali melalui peraturan perlindungan perempuan, masyarakat dan lingkungan di sekitar tambang, serta mengimplementasikan peraturan tersebut secara
sungguh-sungguh. *