Empat belas abad yang lalu Nabi kita Muhammad Rasulullah Saw telah mengajarkan bahwa hidup di dunia adalah bagian dari investasi akhirat.
Kenikmatan yang kita dapatkan di dunia berupa rezeki dan umur hanyalah panjar yang diberikan di dunia, dan Allah akan memberikannya secara totalitas di akhirat kelak.
Islam adalah agama yang memberikan motivasi seimbang bagi umatnya untuk berkerja secara totalitas. Sungguh amat keliru bila kita memahami hakikat kerja, dimana uang menjadi segalanya.
Di bawah bimbingan Rasulullah sendiri telah melahirkan kualitas sahabat dengan karakter yang berbeda. Bahwa Rasulullah memuji para sahabatnya dengan bersabda; ashhabi kan nujum; para sahabatku seperti bintang. Dimana karakter ini sendiri tak bisa diubah tetapi dibalut secara rapi dalam nilai-nilai ilahiyah.
Khalifah Abubakar karena usianya yang sebaya dengan Rasulullah manjadi sahabat paling bijak diantara yang lain. Banyak sekali tulisan tentang keutamaan sahabat mulia ini. Umar di kala masa jahiliyah adalah seorang yang keras wataknya, tetapi Umar mudah luluh melihat kekurangan di sekitar berupa kemiskinan.
Ini menarik karena watak keras itu mampu ditranformasikan ke dalam Islam sehingga justru membangkitkan marwah Islam itu sendiri. Demikian juga dengan Usman dengan sisi kelembutannya menjadikan Usman sebagai pribadi yang low profile, Pun begitu dengan Ali yang terkenal dengan sisi intelektualitasnya.
Nampaknya manajeman waktu yang erat sekali kaitannya dengan kerja-kerja manusia telah Allah gambarkan secara gamblang dalam Alquran dalam beberapa ayat semisal wal ashr, wa Adhuha.
Seorang muslim sejatinya harus bekerja lebih dari apa yang dibayar kepada dirinya, misalnya jika gajinya itu 5 juta sebulan maka ia diharuskan bekerja seperti gaji 10 juta perbulan.
Inilah yang disebut dengan investasi akhirat. Jika pola bekerja ini diterapkan dalam berbagai dimensi pekerjaan maka pekerjaan yang dilakukan akan mendekati kepada kesempurnaan.
Para pemimpin sejatinya melihat kepada pola kerja dalam format Islam yakni bekerja lebih dari gaji yang ia peroleh, sebagai bagian ibadah dan investasi akhirat. Dengan pola seperti ini maka insya Allah akan melahirkan pola kerja yang maksimal, bertanggung jawab dan profesional.
Selanjutnya shalat haruslah menjadi tolak ukur dalam bekerja, jangan berharap kerja-kerja sukses akan tercapai bila manajemen shalat belum berjalan sempurna. Maka kita sangat mengapresiasi jika ada pejabat daerah yang mengawali kerjanya dengan melaksanakan shalat shubuh berjamaah.
Sehingga komitmen seorang muslim dengan shalat berjamaah lima waktunya tersebut akan mampu mendongkrak kinerja. Shalat terbukti mampu memberikan ketenangan jiwa yang berguna dalam bekerja.
Pengaruh amaliah shalat akan mampu memberikan ide-de segar kreatif para pemimpin dalam membangun daerah. Sehingga kita akan menunggu bagaimana misalnya seorang kepala dareah mengupdate status sekali waktu di media sosialnya; mari rakyatku kita shalat, shalat dan shalat.
Belajar kembali dari kegemilangan Islam pada tiga era yakni Umayyah, Abbasiyah dan Ustmaniyah, mereka adalah para pemimpin yang membawa kegemilangan Islam saat itu para pemimpin notabene menjadi pemimpin untuk menegakkan shalat.
Kita ingat bagaimana kisah dramatis ketika Konstatitinopel untuk pertama sekali ditakhlukkan umat Islam. Maka ditanya siapa yang tidak pernah meninggalkan shalatnya seumur hidup, dialah yang layak menjadi imam shalat.
Semua jamaah yang hadir saat itu tak ada yang berkutik, tiba-tiba seorang yang sangat berwibawa, warak dan santun bangkit dialah seorang pemimpin umat Islam yakni sultan Muhammad Alfatih bangkit mengimami rakyatnya.
Tentu saja zaman sudah bertukar, kita tak akan serupa seratus persen dengan apa yang terjadi kala itu, tetapi semangat Alfatih ini harus dimiliki oleh siapapun pemimpin yang setiap hari disibukkan dengan beragam pekerjaan.
Maka ketahuilah apa yang dikerjakan saat ini adalah investasi akhirat, shalat berjamah adalah nafkah akhirat. Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)