Ini Tiga Tersangka Kasus Suap Jembatan IV Palu

oleh -
Aspidsus Kejati Sulteng, Edward Malau, saat konferensi pers terkait penetapan tersangka kasus suap Jembatan IV Palu, di Aula Baharuddin Lopa Kejati Sulteng, Rabu (26/08). (FOTO: IKRAM)

PALU – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) akhirnya menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pembayaran eskalasi sisa utang pembangunan Jembatan IV.

Dari tiga orang tersebut, dua di antaranya dari unsur Pemkot Palu, masing-masing berinisial ID  dan S. Sementara satu orang lainnya berasal dari rekanan berinisial NMR.

Namun menurut pihak Kejati, tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka lain dalam kasus tersebut.

Ketiganya dikenakan pasal 2 ayat 1, 3, 5 , 12 Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi jo pasal 55 ayat (1 ) ke 1 KUHP.

Selain itu dikenakan pasal 1 angka 4, Jo pasal 5 angka 4 Jo pasal 21 Undang-Undang Nomor: 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

BACA JUGA :  Wali Kota Palu Tegaskan Pentingnya Sinergi dan Evaluasi dalam Rapat Paripurna DPRD

Kejati menilai, pembayaran yang dilakukan tidak sah sehingga merugikan negara Rp 14,5 miliar.

“Telah ditemukan alat bukti yang cukup terjadinya tindak pidana korupsi secara bersama-sama melakukan duplikasi pembayaran pekerjaan tambahan sekitar Rp1,7 miliar dan pembayaran penyesuaian harga (eskalasi) secara tidak sah sebesar Rp12 miliar,” kata Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Sulteng, Edward Malau, saat konferensi pers di Aula Baharuddin Lopa Kejati Sulteng, Rabu (26/08).

Ia mengatakan, pembayaran penyesuaian harga secara tidak sah tersebut dilakukan karena tanpa review dari Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

BACA JUGA :  Dugaan Korupsi Alat Lab Untad, Kejati Sita Rp3 Miliar dari Direktur SBA

“Pembayaran harusnya dilakukan Tahun 2007. Di sini tidak terjadi kestabilan harga, sehingga mekanisme penyelesaian melalui BANI merupakan sarana untuk menerima pembayaran dari anggaran negara secara tidak sah sebesar Rp14,5 miliar, ” kata Edward didampingi Asisten Intelijen, Rachmat Supriady, Asisten Pidana Umum (Aspidum), Izamzam dan Kasi Penkum, Inti Astutik.

Dia mengatakan, pembayaran Rp14,5 miliar diminta oleh rekanan karena adanyanya perhitungan pekerjaan tambah kurang dan eskalasi harga yang dibuat secara sepihak oleh PT. GDM, setelah Serah Terima Sementara Pekerjaan atau Provisional Hand Over (PHO) Tahun 2006.

Reporter : Ikram
Editor : Rifay