PALU – Aktivitas pertambangan, baik nikel, emas maupun galian C, diakui memiliki dampak yang buruk terhadap lingkungan, apabila tidak dikelola dengan baik, apalagi yang tidak disertai dengan kajian lingkungan dan syarat-syarat lainnya.
Namun, di sisi lain, aktivitas pengerukan hasil bumi ini juga memiliki nilai positif dari sisi ekonomi, khususnya di daerah penghasil.
Kepala Dinas (Kadis) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sulteng, Yanmart Nainggolan, pekan lalu, menguraikan secara umum sumber-sumber pendapatan daerah yang bisa ditarik dari sektor pertambangan tersebut.
Secara langsung, kata dia, daerah bisa menarik pendapatan dari landrent atau semacam pajak atas tanah.
“Kemudian royalti yakni pajak atas produksi. Sekarang ini, pajak atas tanah sebesar 4 dolar per hektar per tahun. Jadi kalau ada investor yang mempunyai IUP 1000 hektar misalnya, berarti paling tidak dia harus bayar per tahun 4000 dolar,” terangnya.
Kemudian lanjut dia, hasil produksi yang harus diberikan oleh investor sebesar 10 persen dari harga jual.
“Semisal dalam satu tahun dia jual 1 juta metrik ton dengan harga Rp100 ribu, berarti dia dapat 100 miliar. Maka hasil untuk negara yang didapat dari situ adalah sebesar Rp10 miliar,” tambahnya.
Dari pendapatan-pendapatan yang dimaksud, termasuk landrent tersebut, lanjut dia, maka 20 persennya diambil oleh pemerintah pusat dan 80 persen menjadi bagian daerah.
“Nah 80 persen bagian daerah ini, 16 persen bagian dari provinsi, 32 persen bagian dari kabupaten/kota penghasil dan 32 persennya lagi dibagi-bagi ke seluruh daerah yang ada di Sulteng. Itu keuntungan langsung yang didapat daerah,” rincinya.
Selain itu, kata dia, ada juga pajak-pajak lain yang bisa ditarik dari aktivitas pertambangan tersebut, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Penghasilan (PPh) dari gaji karyawan, pajak atas barang-barang, pajak atas bahan bakar, pajak kendaraan bermotor yang beroperasi.
“Belum lagi kita berharap ada tenaga kerja lokal yang diserap,” katanya.
Ia mencontohkan pendapatan daerah yang telah diperoleh dari sektor pertambangan nikel di Morowali. Menurutnya, royalti yang sudah didapat daerah mendapai Rp156,4 milliar pada Bulan Oktober 2019 dan Rp185 miliar pada Bulan Desember yang merupakan Dana Bagi Hasil (DBH) dari pemerintah pusat.
Ia juga menyinggung semua syarat yang harus dipenuhi semua investor pertambangan sebelum memulai aktivitas produksi. Khusus untuk pemegang Izin Operasi Produksi (OP) tambang emas di Kelurahan Poboya, yakni PT Citra Palu Minerals, kata dia, jika sudah mengantongi Izin OP, maka sudah bisa mempresentasekan RKAB (Rencana Kerja Anggaran Biaya).
“Desember lalu, RKAB CPM lalu sudah dibahas di Jakarta dan kebetulan kami diundang juga berarti menurut Dirjen Minerba, persyaratan-persyaratan sebelum itu memang sudah terpenuhi,” ujarnya.
Syarat yang dimaksud, kata dia, misalnya apakah sudah mempunyai kepala tehnik tambang, persyaratan yang berhubungan dengan jaminan reklamasi, AMDAL dan sebagainya.
Dalam RKAB, kata dia, termaktub hal-hal yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan, tenaga kerja, pemberdayaan masyarakat dan lainnya.
Namun, kata dia, dengan adanya aktivitas CPM nanti, maka disinilah kelemahan ESDM. Karena izinnya menjadi kewenangan pusat, maka pihaknya pun tidak pernah dilibatkan dalam pengawasan.
“Mereka (Dirjen Minerba) yang datang sendiri,” katanya.
Ia berharap, dalam revisi UU Minerba nanti, ada sinergitas dalam hal pengawasan. Minimal, kata dia, harusnya dibuka semacam balai seperti kementerian yang lain, untuk pengawasan aktivitas tambang. (RIFAY)