Ini Kesaksian Penyintas Bom Jalan Thamrin dan Gereja Santa Maria

oleh -

PALU – Aksi terorisme meninggalkan derita yang cukup panjang bagi penyintas maupun keluarganya. Penderitaan tersebut tidak hanya berdampak pada fisik tapi juga phisikis.

Untuk itu, para penyintas aksi terorisme meminta kepada para pelaku agar menyadari hal itu dan segera menghentikan aksi-aksinya, sebab para penyintas kebanyakan tidak mengenal, bersalah atau mengetahui tujuan yang ingin dicapai dari aksi-aksi kekerasan tersebut.

Permintaan itu disampaikan Andina Rivani, salah satu dari puluhan penyintas peristiwa bom Thamrin 14 Januari 2016 silam, dalam Short Course Daring Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media yang dilaksanakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA), melalui platform zoom, berlangsung selama tiga hari, Selasa (25/05) hingga Kamis (27/05).

Sambil menitikkan air mata, Andina menceritakan peristiwa bom Thamrin kepada seluruh peserta/jurnalis dari berbagai daerah se-Sulawesi.

Kala itu, Andina bekerja sebagai agency digital dan oleh perusahaannya dibolehkan bekerja dari luar kantor.

Andini lalu memilih salah satu cafe tak jauh peristiwa meledaknya bom. Belum sejam dirinya duduk di kafe, tiba-tiba suara ledakan terdengar. Ia sempat tertimpa plafon kafe.

Andini lalu mencoba bangkit menerawang lokasi sekitar untuk mencari tahu apa telah terjadi sebelum akhirnya disusul ledakan kedua yang membuat dirinya terpental dan tak sadarkan diri.

Setelah tersadar, dirinya mencoba bangkit dari serpihan kaca dan berusaha keluar dari lokasi untuk menyelematkan diri, sampai akhirnya ditolong masyarakat setempat. Kala itu, seluruh tubuhnya berlumuran darah sehingga harus dilarikan ke rumah sakit terdekat guna menjalani perawatan medis.

Akibat peristiwa itu, ia mengalami luka di pundak kiri dan kanannya dan terpaksa menjalani operasi akibat terkena serpihan kaca. Ia juga mengalami luka di tungkai kanannya, sementara telinga sebelah kiri mengalami kekurangan pendengaran.

Tidak hanya dampak fisik, peristiwa itu meninggalkan trauma psikologis baginya. Bahkan ia sampai tiga kali melakukan percobaan bunuh diri, sebab berpikir untuk apalagi hidup kalau dirinya telah mengalami cacat.

Beruntung ia ditangani phisikiater selama delapan bulan pascaperistiwa bom tersebut. Namun baginya, hal terpenting agar proses penyembuhan trauma cepat harus bisa berdamai pada diri sendiri, yakni menerima apa yang telah terjadi dan mengambil hikmah atas peristiwa tersebut.

“Susah melupakannya, tapi menerima apa yang terjadi itu bisa menguatkan mental serta mempercepat proses penyembuhan,” sebutnya.

Ia pun menyerahkan pada Tuhan Maha Kuasa, bahwa Tuhan tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya.

“Dengan berpikir seperti itu, saya mulai bisa menerima kenyataan. Tak kalah penting dukungan keluarga, teman-teman dan negara yang turut mempercepat proses penyembuhan,” pungkasnya.

Hal yang sama dirasakan Desmonda Paramatha, penyintas bom gereja Katolik Santa Maria Surabaya 2018 silam.

Awalnya, ia tidak menyadari kalau terjadi ledakan bom, walaupun saat itu dirinya sedang berada di tempat parkir. Ia mengaku melihat dua pria remaja berboncengan motor menerobos masuk ke tempat parkir dan sempat dicegat Satpam gereja.

“Tak berselang lama ledakan terdengar, jarak ledakan dengan saya hanya berkisar tujuh meter. Akibat peristiwa ini saya mengalami luka di leher dan beberapa tubuh bagian lainnya serta mengalami penurunan pendengaran,” katanya.

Setelah dilakukan observasi, ternyata ada serpihan kaca di leher yang mengharuskan dirinya harus dioperasi.

“Bersyukur segala biaya medis ditalangi pemerintah,” katanya.

Sementara itu, Ketua AIDA, Hasibullah Satrawi, mengatakan, potensi radikalisasi melalui virtual sangat besar.

“Terorisme itu nyata adanya, bukan rekayasa atau konspirasi, hal ini harus disadari masyarakat. Semua orang berpotensi menjadi terorisme dan menjadi korban aksi terorisme,” sebutnya.

Selain itu, kata Hasibullah, dalam peliputan isu terorisme para jurnalis tidak hanya menyampaikan berapa jumlah korban, namun lebih kepada perspektif korban atau dampaknya.

“Ada beberapa hal penting, korban langsung dan hak-hak korban, korban tidak langsung dan hak-hak korban. Potensial korban, kesadaran akan masalah, pengenalan diri dan pencegahan dini,” katamya.

Reporter : Ikram
Editor : Rifay