PALU – Teori tentang “karakter” terus menjadi pekerjaan yang hampir tiada berujung di dunia pendidikan kita. Segala usaha dan metode mengajar terus diterapkan, tapi hasilnya belum dapat kita saksikan secara baik.
Lantas bagaimana menerapkan “pendidikan karakter” tersebut sebenarnya? Jaringan Sekolah Islam Terpadu, memiliki berbagai konsep untuk menanamkan karakter di semua satuan pendidikan binaannya.
Sekretaris Jenderal JSIT Indonesia, Suhartono mengatakan, ada tiga konsep real Pendidikan karakter. Tanpa itu Pendidikan karakter tidak akan terterapkan dengan baik.
Pertama, kata Suhartono, yaitu keteladanan. Guru haruslah menjadi teladan, lalu bersinergi dengan orang tua, atau juga tokoh masyarakat.
“Karena keteladanan dari top down (atas) bukan dari bottom up (bawah),” kata dia pada saat mengisi Seminar Nasional Pendidikan bertema “Pendidikan Karakter Religius untuk Sulawesi Tengah yang Bermartabat, di Aula Gedung LPMP Sulteng, Ahad (26/11).
Kedua katanya, pembiasaan. Anak-anak harus dibiasakan terus menerus melakukan kegiatan berkarakter. Dan ketiga, adalah pembudayaan.
Untuk prosesnya kata Soehartono yakni, awalnya diajarkan lalu pembiasaan, lalu dilatih untuk konsisten. Setelah menjadi kebiasaan maka akan menjadi karakter. Setelah menjadi karakter maka akan menjadi budaya.
Masalahnya, ketika sekolah sudah melakukan keteladanan dan pembiasaan, proses itu tidak sama dengan apa yang dilakukan oleh orang tua di rumah. Sehingga pembelajaran dan pembiasaan itu tidak mampu diterapkan.
Suhartono menyarankan sekolah melakukan beberapa cara diantaranya. Mengundang orang tua menunjukkan metode pengajaran guru. Lalu dengan itu, orang tua melakukan hal yang sama. Agar apa yang dilakukan seiring dengan sekolah.
Kemudian selain itu, undang pula orang tua dalam program kelas “parenting”. Di situ orang tua disampaikan bagaimana sekolah mengajar anak-anak mereka.
Terakhir lakukan “home visit” (mengunjungi langsung rumah murid). Guru menyampaikan sejauh mana perkembangan anaknya. Apa kelebihan yang diapresiasi, dan apa kelemahan yang harus diselesaikan secara Bersama.
“Dengan itu kita bisa mengetahui hal apa yang telah dicapai oleh anak dan hal apa yang disepakati untuk melakukan pengajaran pada anak,” imbuhnya.
Salah satu bukti dari penerapan beragai cara itu adalah, SDIT di bawah JSIT meraih peringkat ketiga untuk Indeks Integritas UN.
Dia mengatakan, hampir semua guru pengawas UN di SDIT, merasa senang karena siswa SDIT mengerjakan soal secara mandiri dan jujur. Sebaliknya, guru SDIT yang mengawasi UN sekolah lain dipusingkan dengan perilaku murid yang tidak jujur.
Suhartono, mengisi materi pada seminar yang digelar oleh JSIT Sulteng. Seminar yang dimoderatori Wiwik Jumatul Rofiah ini, juga menghadirkan pemateri Akademisi Untad Asep Mahfudz dan Perwakilan LPMP Sulteng Asria. (NANANG)