OLEH: Sitti Rahmawati, S.Tr.Stat*
Inflasi kian berkembang menjadi momok dalam kehidupan. Namun, inflasi yang terkendali justru bagus bagi perekonomian.
Inflasi akan mendorong berkembangnya ekonomi karena permintaan barang dan jasa meningkat sehingga membuat harganya naik. Sebaliknya, apabila inflasi ini tak terkendali, perekonomian negara menjadi tidak stabil bahkan runtuh.
Sebut saja Zimbabwe dan Venezuela yang masih terkendala hiperinflasi sampai sekarang. Bahkan, Sri Lanka mengalami krisis ekonomi dan politik terburuk yang pernah ada akibat hiperinflasi yang mencapai 60,8 persen year-on-year (Y-o-Y) per Juli 2022 ini (Bank Sental Sri Lanka, 2022).
Indonesia pun pernah mengalami hiperinflasi pada 1963 – 1965. Pada waktu itu, inflasi mencapai sekitar 600 persen yang dilatarbelakangi oleh pencetakan uang secara terus menerus untuk membayar hutang dan membiayai proyek mercusuar.
Proyek tersebut antara lain membangun monumen dan bangunan megah, seperti Monumen Nasional (Monas), Gelora Bung Karno, Hotel Indonesia, Jembatan Semanggi dan sebagainya dalam menyambut Games of the New Emerging Forces (GANEFO), ajang olahraga negara-negara berkembang yang didirikan oleh mantan presiden Ir. Soekarno sebagai bukti eksistensi Indonesia di kancah Internasional.
Meskipun hiperinflasi di Indonesia yang separah itu tidak terjadi lagi (hiperinflasi pada 1998 sekitar 70 persen), namun perubahan tingkat harga barang dan penurunan daya beli tetap terasa.
Sebagai perbandingan kecil namun sangat nyata adalah pada 10 tahun lalu kita masih bisa membeli 1 buah donat seharga 500 rupiah. Namun di jaman sekarang, 500 rupiah hanya bisa ditukar dengan permen.
Contoh lainnya, 5 tahun yang lalu dengan 150 juta kita bisa membeli sebuah mobil, namun sekarang jumlah uang tersebut tidak bisa lagi untuk membeli mobil dengan tipe yang sama.
Hal tersebut membuktikan bahwa nilai mata uang yang semakin rendah dari tahun ke tahun.
Apalagi setelah Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka inflasi bulan Juli 2022 sebesar 4,94 persen (Y-o-Y).
Dilansir dari media elektronik Kontan, ekonom Achmad Nur Hidayat, sebagai Pengamat Kebijakan Publik dan Kepala Studi Ekonomi Politik UPN Veteran Jakarta memperkirakan tekanan hiperinflasi double digit akan terjadi mulai September 2022 mendatang.
Untuk Sulawesi Tengah sendiri, menurut BPS, angka inflasi bulan Juli 2022 bahkan lebih besar dari nasional yaitu sebesar 6,21 persen (Y-oY). Kondisi kenaikan harga barang dan jasa yang saling menyusul pada tahun 2022 ini menjadi sinyal kenaikan inflasi selanjutnya.
Lihat saja sekarang, harga BBM non-subsidi naik imbas harga minyak mentah dunia yang masih tinggi. Harga mie instan juga kabarnya akan naik 3 kali lipat akibat pasokan gandum dari Rusia dan Ukraina yang terhambat karena perang. Harga minyak goreng, tahu, tempe, daging sapi, dan lain-lain sudah lebih dulu naik.
Kenaikan harga-harga pada banyak barang dan jasa secara terus menerus inilah yang dinamakan inflasi. Perkembangan inflasi kian terasa semakin mencekik aset keuangan kita.
Nilai uang 1 juta rupiah pada tahun ini tentu akan berbeda dengan nilai 1 juta rupiah pada tahun depan.
Oleh sebab itu, untuk menyiasati inflasi yang tidak dapat dihindari, kita dapat mengamankan nilai aset yang dimiliki sekarang atau bahkan meningkatkannya di masa mendatang. Di sinilah peran investasi menjadi pilihan yang bijak.
Akan tetapi, sebelum melakukan investasi, kita telaah terlebih dahulu apa-apa saja instrumen investasi yang cocok bagi kita. Alasannya karena kita juga harus memilih investasi yang akan menguntungkan kita dengan perolehan tingkat imbal hasil yang lebih tinggi dari inflasi.
Seperti yang dibahas sebelumnya, tujuan berinvestasi adalah untuk mengamankan nilai aset yang telah dimiliki sekarang (wealth preservation) dan meningkatkannya (wealth accumulation). Namun, kita juga jangan sembarang berinvestasi karena teriming-imingi untung yang besar.
Harus kita ketahui, keuntungan imbal hasil atas investasi yang besar tentunya diiringi dengan resiko yang besar pula.
Olehnya itu, kenali lebih dalam instrumen investasi yang kita butuhkan dan pastikan sudah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar segala transaksi berjalan aman dan diawasi langsung oleh OJK.
Dengan demikian, kita tidak akan terjerat investasi bodong seperti yang sudah-sudah. Mari bijak dalam berinvestasi!
*Penulis adalah ASN BPS Kabupaten Banggai Kepulauan