OLEH: Sofyan Farid Lembah
Apa itu Segitiga Emas (The Golden Triangle)? Sebagaimana sering saya kemukakan dalam berbagai kesempatan, pendekatan propartif amat sangat bergantung pada soal segitiga emas ini.
Perilaku manusia amat sangat dipengaruhi oleh 3 hal, yakni sikap, pengetahuan/keterampilan dan proses menjalani kehidupannya.
Pertama, dalam text book propartif soal sikap disebutkan adalah tatanan nilai yang harus dimiliki setiap individu utamanya dalam perannya sebagai mediator, antara lain seperti soal bersikap terbuka, selalu ingin tahu (curious), netral, empati, sabar dan integritas.
Dalam kehidupan yang lebih luas maka hal ini tidak cukup dimana setiap individu dalam berperan harus mengembangkan sebaik-baiknya Ahlakul Kharimah sebagaimana dicontohkan Nabi dan Rasul Muhammad SAW, Isa Alaihi Salam, Ibrahim AS dan para rasul lainnya.
Di situ ada sikap lainnya seperti jujur, amanah, berani, semangat juang, tawaddu’, kasih sayang, berpihak pada kebenaran, berlomba-lomba dalam kebaikan dan lain sebagainya.
Al Farabi dalam kitab Negara Utama selalu mengajarkan bahwa setiap individu adalah seorang pemimpin. Sebagai pemimpin dia harus mewarisi sikap sebagai seorang nabi (the prophet) dan seorang filsuf.
Di sinilah arti penting peranan pemimpin dalam pencapaian sebuah Negara Utama, di mana pemimpinnya menjadi pendorong masyarakat untuk menjadi masyarakat yang berahlakul kharimah, sekaligus menjadikan masyarakat terus mengembangkan ilmu pengetahuan.
Inilah sikap yang seharusnya menjadi inti dari segi tiga emas. Setiap kader harus benar-benar menjiwai soal peran ini agar dia memahami posisinya sebagai hamba (meaning) dan apa arti tujuan hidupnya (purpose).
Kedua, soal keterampilan dan pengetahuan. Harus disadari bahwa keterampilan dan pengetahuan sebagaimana telah diberikan di setiap jenjang perkaderan tidaklah cukup dalam menjalani kerasnya kehidupan. Itu hanyalah sebuah basic standard.
Seorang kader tidaklah boleh terlalu percaya diri dengan apa yang sudah dimilikinya. Sikap curious harus dikedepankan. Dalam status sebagai insan akademis, dia harus terus menambah pengetahuan hingga sampai ke jenjang pendidikan Strata 3. Itupun tidaklah cukup. Dia harus belajar meraih pendidikan non formal berupa berbagai keterampilan yang dibutuhkan dalam menjalani kehidupan.
Bila dalam propartif sebagai mediator paling tidak memiliki berberapa keterampilan seperti LSD (Listening, Summerizing, Deep question), CEI (Contens, Emotion, Intention), Reframming, Conflict Manajement, dan Peel The Union.
Maka dalam menjalani kehidupan amat sangat dibutuhkan berbagai keterampilan lainnya, terlebih ketika kita memainkan peranan baik sebagai dosen, pengusaha, petani, politisi, birokrasi, guru, buruh maupun sebagai artis film, makelar, pekerja sosial dan pekerjaan lainnya. Berbagai keterampilan amat sangat dibutuhkan.
Saya masih teringat ketika masih menjadi mahasiswa, saya sudah ikut berlatih soal pelatihan jejaring penyelamatan hutan Indonesia, pelatihan pengelolaan project ekonomi dan lingkungan yang memperkenalkan bagaimana lakukan konservasi hutan dan lingkungan di satu sisi dan pada sisi lain secara progresif mengembangkan ekonomi masyarakan lewat keterampilan Learning by Doing.
Di situlah saya berkenalan dengan tokoh-tokoh lingkungan di tahun 1985 seperti Zulkarnain, Roem Tomatimassang, Sudjahri van Gobel, Supri Laode dan lainnya.
Saat menjadi dosen sekalipun saya masih sering mengikuti pelatihan-pelatihan keterampilan bahkan hingga lintas disiplin ilmu hukum seperti Budidaya Penyu Hijau, PRA, AMT, Pengelolaan Irigasi, Conflict Manajement, dan Search Conference yang diperkenalkan CEPI Project KAnada hingga FTA di Amsterdam.
Semua itu menjadi bahan pengayaan yang dimiliki sebagai bekal hidup seorang kader. Kita tidak boleh merasa puas dengan pengetahuan dan keterampilan yang sudah dimiliki. Jika ada kursus memasak sekalipun saya akan ikuti.
Terpenting adalah bagaimanakah seluruh keterampilan itu bisa diterapkan dan menjadikan kita sebagai eksperties dan melahirkan produk-produk yang bisa diakui dan memberi manfaat baik secara internal maupun kepada masyarakat.
Kita hidup tidak hanya terus menjalani pendidikan dan berlatih semata. Persoalannya sekarang adalah, pelatihan apa yang hendak diikuti esok?
Ketiga, proses menjalani kehidupan. Satu hal terpenting dari point ketiga ini adalah bagaimana kecakapan kita mengaplikasikan seluruh keterampilan yang telah dimiliki dalam proses itu.
Sebagaimana dipahami, dalam propartif untuk (proses) mediasi terdapat fase-fase sebagai tahapan yang harus dijalani mulai dari fase awal, eksplorasi, turning point, co-creation, pengakhiran dan feed back.
Di sinilah peran penting dalam segitiga emas dimana mediator mengimplementasikan sikap dan tehnik- tehnik keterampilan di setiap tahapan tersebut. Kemampuan dan jam terbang akan sangat menentukan keberhasilan apakah proses mediasi itu berhasil atau tidak.
Dalam proses kehidupan yang lebih kompleks bagi seorang kader harus bisa memastikan apa saja tahapan yang harus dilalui untuk sebuah case kehidupan. Ketika kita sudah memastikan tahapan tahapan yang harus dijalani dimana diyakinkan bahwa ujung dari semua itu menjadi tujuan akhir maka kemampuan bijak dengan sikap ahlakul kharimah yang dikedepankan bisa diaplikasikan keterampilan keterampilan yang hendak dimainkan.
Berbagai pengalaman kehidupan dan sesering gunakan keterampilan itu sebagai “tools” akan sangat membantu kita melewati proses itu dengan sukses. Kalupun terjadi kegagalan paling tidak kita bisa menjadikan semua itu sebagai pengalaman.
Itulah pentingnya segitiga emas sebagai sarana pembelajaran yang bisa membantu dan menjadikannya alat dalam menjalani proses kaderisasi.
Sikap bisa menjadi kontrol bagaimana seorang kader mengendalikan sikap tindaknya dalam nilai-nilai ahlakul kharimah dan pengetahuan dan keterampilan bisa mempermudah setiap kader membuka tabir masalah di satu sisi dan pada sisi lain bisa secara bersama mendapatkan solusi yang dikehendaki bersama.
Selanjutnya memahami proses menjadikan solusi kehdupan lebih bermakna karena seluruh tahapan telah dilalui dan diuji lewat banyak keterampilan yang dimiliki sehingga apapun hasil lebih memberi kepuasan tersendiri dan tentunya lebih objektif.
Sebagai seorang pelatih, ingin rasanya seluruh model propartif ini bisa diinfeksikan kepada kader-kader himpunan. Membuat senyum para suhu dan guru seperti Bung Dr. Ahmad Rizal, almarhum Abdulhakim Languha, Prof Bruce Mitchel, alm.Roem T, Supri Laude, Sujahri Van Gobel, Zulkarnain. Kemudian, keluarga besar Yayasan Tifa, Yayasan Satu Nama, Ibnu Chaldun, Linda Reijerkerk, Marisse, Miriam dan Jorn in VU universiteit Belanda sangatlah membahagiakan.
Semoga tulisan sederhana ini bisa memberi inspirasi. Wallahua’lam bissawab.