OLEH: Ignatius Moses*
Beberapa hari pasca pertemuan kelompok Penambang dengan PT. Citra Palu Mineral di Menara Bakrie, Jakarta.
Muncul banyak pemberitaan media online bahwa perjuangan masyarakat lingkar tambang untuk meminta PT CPM menciutkan lokasinya dengan harapan agar bisa didorong menjadi Izin Pertambangan Rakyat (IPR), diklaim berhasil.
Bahkan issu penciutan ini mendorong pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah melalui ESDM Provinsi Sulawesi Tengah mengajukan permohonan penciutan kepada Dirjen Minerba terhadap Kontrak Karya PT CPM.
Peristiwa tersebut mendorong penulis untuk melihat beberapa aspek penting tentang benarkah Penciutan Wilayah Pertambangan PT. CPM akan melahirkan IPR, ataukah dia hanya menjadi alat untuk kepentingan korporasi swasta yang sedang asyik melakukan penambangan dengan metode perendaman yang melanggar hukum serta syarat akan dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
SALAH KAPRAH PROSEDUR PENCIUTAN
Sebagaimana Undang-undang Nomor: 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU Nomor: 4 Tahun 2009 tentang Minerba, penciutan seharusnya dilakukan pada saat kontrak karya tersebut telah selesai masa berlakunya, yang mana salah satu syaratnya adalah karena luas wilayah harus menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan.
Hal ini pernah terjadi pada PT Kaltim Prima Coal di Kalimantan. Dengan berkahirnya kontrak karya, maka izin tersebut berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Berbeda konteks dengan upaya penciutan yang sedang didorong oleh para kelompok penambang yang berkedok tambang rakyat (manual), di wilayah kontrak karya PT. Citra Palu Mineral.
Karena terdesak melakukan aktivitas perendaman dan pengambilan material dengan melawan hukum di dalam kontrak karya PT CPM, maka kelompok tersebut mendorong penciutan di wilayah kontrak karya yang belum berakhir masa berlakunya.
Dengan demikian, upaya tersebut bisa dikatakan sebagai upaya yang sia-sia walaupun mendapat persetujuan pemilik kontrak karya.
Kenapa dikatakan sia-sia? Karena peraturan tidak memberikan ruang penciutan terhadap wilayah yang sedang produksi. Jika pemerintah mendorong penciutan maka berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum dalam berinvestasi.
PENCIUTAN TIDAK MEMBERI RUANG BAGI PENAMBANG MANUAL
Ada dua hal yang berbeda yang sedang berlangsung di Poboya, Kota Palu.
Pertama: Penambang tradisional (rakyat), yang menggunakan teknologi manual seperti menggali secara tradisional, dengan metode produksi menggunakan tromol.
Kedua: Kelompok penambang yang menggunakan teknologi seperti excavator, truck dan metode produksi menggunakan perendaman yang menggunakan bahan beracun.
Dua kelompok yang disebutkan di atas, akan diuraikan sejarah dan kepentingannya masing-masing dalam catatan selanjutnya.
Dalam edisi tulisan pertama ini, penulis hanya berusaha mendudukan penciutan itu untuk kepentingan siapa dan apakah akan diberikan menjadi IPR seketika.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan UU Nomor: 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara, penciutan sejatinya dilakukan setelah masa kontrak karya telah selesai, dan setelah kontrak karya selesai masa berlakunya, maka diterbitkan IUPK sebagai pengganti kontrak karya.
Dalam sejarahnya, seperti yang pernah terjadi di Morowali, PT Vale Indonesia menciutkan lokasinya di blok Bahodopi.
Maka setelah penciutan terjadi, wilayah tersebut ditetapkan menjadi Wilayah Pencadangan Negara (WPN).
Setelah penetapan WPN, maka negara melakukan lelang wilayah potensial kepada BUMN dan atau perusahaan swasta dengan syarat BUMN dan perusahaan swasta menitipkan uang jaminan yang cukup besar, sebagaiamana ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Dengan demikian, penciutan yang didorong oleh kelompok penambang di wilayah kontrak karya PT CPM bukanlah kepentingan rakyat yang menggunakan metode manual dalam menambang, tetapi hanya akan menguntungkan korporasi-korporasi swasta yang sedang tertarik untuk ikut melakukan perendaman di wilayah Poboya, Kota Palu.
*Penulis adalah Peneliti Pertambangan