Luka menganga di perut bumi. Bentang alam yang dulu pernah hijau, kini terbaring lesu. Tak ada lagi nyanyian pepohonan yang keluar dari desir daunnya saat tersapa sang bayu. Lembah sunyi, rusa yang sering terdengar manguak dari kejauhan, tak lagi bersuara.

Satu dua yang masih bertahan, tapi memilih membisu di atas hamparan tanah kerontang yang kelelahan. Yang nampak tertiup liar hanyalah debu yang menari di bekas galian, juga udara pekat yang membawa pesan kehilangan.

Inilah wajah bumi yang legam tercoreng ulah manusia, yang pergi begitu saja setelah mengeruk isinya, meninggalkan kubangan lebar dan tanah kritis yang tak memberi harap.

Ini kenyataan pahit yang tersisa dari banyak proses penggalian perut bumi di negeri ini, oleh perusahan tambang tak bertanggung jawab.

Namun kali ini, ada pemandangan berbeda yang terhampar di depan mata. Dari jendela kecil pesawat ATR yang perlahan turun menukik ke landasan, terbentang sebuah pemandangan bak lukisan di atas canvas yang belum tuntas.

Di satu bagian, nampak tanah plontos dengan rona merah kecokelatan. Ya, itu bagian yang sedang ditambang. Banyak excavator dan truk hilir mudik di sana.

Tapi di belahan yang lain, tersaji pemandangan sejuk nan hijau. Pohon-pohon muda mulai merapatkan jarak, membentuk barisan mengikuti baris kehidupan “kakek neneknya” dulu.

Di sana, reklamasi bukan hanya gagasan, tapi ada komitmen ikut tertancap di setiap batang pohon yang merangkak tumbuh.

Oleh perusahaan pengusung sustainability -PT Vale Indonesia Tbk, 5 hektar lahan di jantung kawasan yang pernah dikuliti dan disedot isinya itu, tersemai aneka bibit pohon dan semak. Ada yang masih belia, tak sedikit yang telah menjulang. Ada juga kawanan rusa berkeliaran.

Semuanya dirawat dan disayangi, bagai anak asuh yang dewasa kelak akan dikembalikan ke ibunya. Di taman ini, pengabdian tak hanya tersurat di atas kertas, tapi terwujud di tiap helai daun dan akar yang merayap.

Ada tangan-tangan penuh dedikasi yang sedang merajut harapan. Ada komitmen yang sedang dipertahankan. Demi hutan yang abadi, demi habitat yang kembali murni, hijau seperti di masa nenek moyangnya dulu.

Begini cara mereka menyembuhkan hutan yang sakit. Pelan dan telaten, juga ulet dan sabar. Semua dimulai dari sini, dari Taman Kehati Sawerigading Wallacea. Di Sorowako, Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

KOMITMEN YANG “MELANGGAR” BATAS REGULASI

Kurang lebih 5.900 hektar lahan telah ditambang, sejak PT Vale Indonesia Tbk masih bernama INCO di Tahun 1968.

PT Vale Indonesia Tbk, perseroan yang berani memproklamirkan diri sebagai perusahaan pengusung pertambangan berkelanjutan, maka taat regulasi adalah mutlak. Ada batasan antara hak dan kewajiban yang mesti dijalani, jika tak ingin disebut amburadul dan serampangan.

Maka, dari 5 ribuan hektar lahan yang telah ditambang, 65 persen atau sedikitnya 3.800 hektar sudah direklamasi, berisi 5,1 juta tanaman berbagai jenis. Mulai dari tanaman pionir, hingga tanaman lokal endemik dengan komposisi 40% dan 60%. Ada johar, eucalyptus, sengon, suren, beringin, dan jenis-jenis lainnya di sana.

“Jika regulasi mewajibkan minimum 625 pohon per hektarnya, maka PT Vale menjamin bisa sampai sekitar 714 pohon tanaman, belum termasuk tanaman sisipan. Secara kumulatif bahkan bisa mencapai 1000 tanaman dalam satu hektar,” begitu yang dikatakan Nisma Yani, Engineer Bidang Reklamasi, Taman Kehati Sawerigading Wallacea, di hadapan awak media, akhir bulan lalu.

Tanaman-tanaman yang ada di lahan reklamasi, tidak tumbuh begitu saja. Ada serangkaian proses yang membuatnya bisa bertahan, hingga beranak pinak.

Beraneka ragam tanaman ini juga tak sekadar ditancap ke tanah, tanpa memperhitungkan jenis yang sesuai. Pohon apa yang tepat ditanam di awal, kemudian disusul dengan jenis lain di tahap selanjutnya.

Nisma lalu bercerita panjang tentang konsep reklamasi yang diamanahkan PT Vale Indonesia Tbk kepada mereka yang mengabdi di bawah Departement Sustanibility.

“Reklamasi bukan hanya menanam, reklamasi itu adalah kegiatan penataan lahan yang kemudian dilanjutkan dengan proses revegetasi,” kata Nisma.

Perempuan berkerudung ini menjelaskan, penataan lahan dimulai ketika proses penambangan sudah dirilis ke tahap rehabilitasi alias mine out.

Tahap paling awal yang dilakukan di proses penataan lahan, melakukan penimbunan kembali lubang bekas tambang. Penimbunan menggunakan material-material non ekonomis yang sudah tidak digunakan.

Lahan telah ditimbun, namun penanaman pohon juga belum bisa dilakukan sebelum pembentukan lereng.

“Sebelum kegiatan itu kita punya engineer untuk desain lahannya. Kita asesmen dulu dari sisi geotek dan hidrologinya. Ketika sudah di-approve oleh manajemen dan engineer baru bisa dipastikan ke tahap berikutnya,” tutur Nisma.

PT Vale sendiri tidak melakukan pembentukan lereng, tanpa mengacu pada regulasi, tepatnya Kepmen ESDM 1827/2018 dan Surat Edaran (SE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor: 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Reklamasi Hutan.

“Selanjutnya adalah pengendalian erosi. Yang PT Vale lakukan banyak sekali. Kita membuat drainase dengan dua metode, ada riprap atau menggunakan bebatuan dan juga metode geomat,” katanya.

Selanjutnya, penghamparan tanah pucuk atau top soil yang masih banyak kandungan organik. Lapisan ini didapat dari ketika proses penambangan dimulai. Lapisan tanah paling atas ini sengaja disimpan di bank top soil sebagai persiapan kebutuhan reklamasi pascatambang.

“Sampai di tahap penghamparan tanah pucuk itu adalah penataan lahan,” katanya.

Tahap selanjutnya yang tak kalah krusial dan membutuhkan kerja keras adalah revegetasi atau penghijauan. Di fase ini, hal pertama yang dilakukan adalah memperbaiki kualitas tanah menggunakan kompos.

“Tak kurang dari 16 ton kompos yang kita tabur di tiap hektarnya. Ini dipakai untuk menumbuhkan rumput dan memulihkan tanahnya,” jelas Nisma.

Dua karyawan PT Vale sedang menanam pohon di lahan reklamasi. Proses reklamasi ini berlangsung di salah satu wilayah konsesi PT Vale Indonesia Tbk di Morowali, Sulteng. Penanaman pohon telah dilakukan sebelum tahap operasi pertambangan berjalan. (FOTO: DOK. PT VALE INDONESIA TBK)

Bayangkan, tanah bekas bukaan tambang. Tak ada kehidupan yang bisa diharap. Unsur haranya terkikis yang pastinya kritis dan tak produktif.

“Jadi butuh effort dari kita, bagaimana di atas tanah bekas tambang ini, tanaman bisa tumbuh kembali,” katanya.

Kompos telah ditabur. Ketika “vitamin” dalam tanah dipastikan mulai kembali, barulah dilakukan penanaman pohon. Tak sembarang pohon yang bisa ditanam di awal, karena tak semua bisa bertahan hidup dari tanah yang baru pulih dari “keracunan”.

Mengantisipasi itu, maka yang dilakukan terlebih dahulu adalah menabur cover crop, semacam rumput-rumput dan kacang-kacangan untuk mengikat unsur hara, memulihkan kualitas tanah.

Jenis tanaman yang pertama kali ditanam adalah pohon perintis atau pionir. Kenapa pohon perintis dulu? Kenapa tidak langsung dicampur dengan pohon lokal?

“Karena memang dalam konsep rehabilitasi dari ilmu kehutanan, pohon perintis ini dikenal dengan pohon-pohon yang tidak toleran. Ketika dia ditanam, tidak boleh ada temannya dulu, karena pasti dia akan mati. Begitu juga sebaliknya, kalau pohon lokal dia harus ternaungi, sehingga harus ditanam di tahap keduanya setelah pohon perintis ini tumbuh baik,” tuturnya.

Ketika pohon perintis dan pohon lokal endemik telah menunjukkan tanda-tanda kehidupan, maka dilakukanlah proses pemeliharaan, di 3 bulan berikutnya.

Banyak hal yang dilakukan di fase ini. Di dalamnya ada proses pemupukan, termasuk mengganti tanaman yang mati. Lalu dipupuk, didangir lagi.

Proses pemeliharaan ini berjalan kurang lebih 1,5 tahun lamanya, sampai akhirnya pohon-pohon itu dianggap bisa tumbuh independent dan telah menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

“Jadi kita rawat seperti anak sendiri, kita rawat beberapa kali,” lanjut Nisma.

Meski pohon-pohon itu sudah tumbuh baik, namun pekerjaan belum selesai. Ada proses lain yang dirasa perlu, utamanya di tahun ketiga.

Ada tahap pengayaan yang dilakukan dengan menanam tanaman multiguna, seperti kayu manis, mangga, atau buah-buahan lain. Hingga akhirnya kegiatan reklamasi itu dinyatakan rampung.

“Tapi kalau kita masih merasa masih perlu tindak lanjut, maka kita masuk lagi. Walaupun memang secara regulasi, pemeliharannya hanya sampai di tahun kedua saja. Tapi PT Vale sampai tahun ketiga, atau sampai benar-benar diyakini bahwa lokasi sudah bisa dibebaskan,” katanya.

Ada harapan mulia yang tersirat di benak Nisma. Dengan kerja keras, ketekunan dan komitmen yang telah dilakukan, ekosistem hutan yang sebelumnya tak bisa diharapkan lagi, kini bisa menjadi mandiri dan berkelanjutan.

Berdasarkan lokasi peta hasil foto udara di salah satu area konsesi PT Vale, terlihat hutan hasil reklamasi pascatambang yang mirip dengan aslinya sebelum ditambang atau original forest.

PT Vale sudah bisa mewujudkan ekosistem yang sama dengan semula dalam kurun waktu 15 tahun.

DEDIKASI MELAMPAUI ZONA KONSESI

Beroperasi di satu tempat, bukan berarti tidak wajib peduli dan memberi manfaat di tempat yang lain.

Itulah yang dilakukan Vale. Selain bertanggung jawab mengembalikan kondisi hutan pascatambang di wilayah konsensinya, PT Vale juga ikut memberikan kontribusi hijau di daerah lain, jauh di luar wilayah operasionalnya.

Secara umum, perusahaan pertambangan di Indonesia memiliki dua kewajiban yang bersentuhan dengan hutan dan alam. Reklamasi pascatambang di area konsesi dan rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) di luar wilayah konsesi.

PT Vale sendiri dikewajibkan merehabilitasi DAS kurang lebih seluas 33.306 hektar.

Dari total luasan tersebut, masing-masing di Sulawesi Selatan seluas 14.230 hektar, Sulawesi Tenggara kurang lebih 12.500 hektar, dan di Sulawesi Tengah, masing-masing seluas 2.310 hektar di tahap pertama, dan 3.117 hektar lainnya di tahap kedua. Kesemuanya sedang berproses.

Tiga provinsi di Pulau Sulawesi ini adalah kewajiban mutlak yang diberikan kepada PT Vale, mengingat di ketiganya terdapat kegiatan pertambangan.

Di Sulawesi Selatan ada di Sorowako, Sulawesi Tengah ada di Bahodopi, dan Sulawesi Tenggara terdapat di blok Pomalaa.

“Tapi di luar dari tiga provinsi itu kita punya dua provinsi permintaan khusus. Kita diminta -waktu itu masih Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk membantu di provinsi lain,” ujar Supervisor di Nursery Taman Kehati Sawerigading Walacea, Abkar.

Di provinsi lain, kata Abkar, PT Vale diminta melakukan rehabilitasi DAS di Jawa Barat kurang lebih 435 hektar.

“Di situ ada tiga kabupaten, Tasikmalaya, Pangandaran dan di Sumedang,” katanya.

500 hektar lainnya ada di tiga kabupaten Provinsi Bali, yaitu Buleleng dan Kabupaten Klungkung di Nusa Penida.

Petugas di nursery Taman Kehati Sawerigading Wallacea, Desa Sorowako. Nursery ini dibanfun PT Vale Indonesia Tbk untuk membubidayakan berbagai tanaman yang akan digunakan untuk merehabilitasi hutan pascatambang. (FOTO: media.alkhairaat.id/Rifay)

“Jadi memang Vale punya tanggung jawab melakukan penghijauan untuk mendukung pemerintah dalam menurunkan zero emission,” sebut Abkar.

Menurut dia, tanaman yang ditanam di DAS tersebut, hampir sama dengan reklamasi pascatambang, hanya berbeda di pola penanaman saja.

Di kegiatan rehab DAS itu, kata dia, PT Vale memiliki tanggung jawab lain untuk memberdayakan masyarakat setempat.

“Karena salah satu program kementerian itu untuk menghijaukan area-area kritis dalam tanda kutip yang sudah dimasuki oleh masyarakat, khususnya area kawasan hutan,” imbuhnya.

20 tahun sudah nursery Taman Kehati Sawerigading Wallacea itu berdiri. Sejak digagas dari tahun 2005, sekira 15 dari 71 hektar lahan yang disiapkan sudah terkelola dengan baik.

Di dalamnya juga ada arboretum, area yang dimanfaatkan untuk pengembangan konservasi eksitu, tanaman yang berasal dari luar habitatnya.

Tanaman eksitu yang ada dalam arberotum ini hasil identifikasi biodiversitas keragaman hayati. Didata, kemudian diselamatkan.

Kurang lebih 24 ekor rusa juga hidup di dalam taman ini. 8 ekor di antaranya telah dirilis ke pihak Pemda Kabupaten Luwu Timur.

“Ke depan ada beberapa proyek kapital untuk memaksimalkan Taman Kehati kurang lebih 71 hektar ini. Semuanya bertujuan untuk peningkatan keanekaragaman hayati,” tutup Abkar.