Salah satu dari empat khalifah yang mendapat julukan gerbangnya ilmu, yaitu Sayyidina Ali r.a. pernah mengatakan bahwa orang yang ikhlas itu jangankan untuk mendapatkan pujian, diberikan ucapan terima kasih pun dia sama sekali tidak akan pernah mengharapkannya.
Karena setiap amal ibadah pada hakikatnya adalah kita sedang melakukan interaksi dengan Allah sehingga harapan yang ada hanyalah kepada mencari keridhoan Allah semata.
Dari perkataan tersebut dapat kita ambil ibrah atau pelajaran bahwa orang yang tidak ikhlas dalam ibadahnya pasti akan mengharapkan pujian dan ucapan terima kasih dari amal perbuatan yang telah dilakukannya terhadap orang lain
Dalam kondisi begitu boleh jadi Allah Ta’ala tidak berkenan menerima ibadahnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Athaillah, “Boleh jadi Allah membuka pintu-pintu ketaatan bagimu, tapi Ia tidak membuka pintu pengabulan (diterimanya amal).”
Salah satu hal yang dapat menghalangi diterimanya ibadah seorang hamba adalah kurangnya tawadhu dan timbulnya rasa bangga atau sombong atas ibadah/kebaikan yang telah diperbuatnya. Hal itu menunjukkan kurangnya keikhlasan dalam beramal.
Allah SWT telah mengingatkan dalam firman-Nya, “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).” (QS al-Bayyinah [98]: 5).
Modal beribadah yang ikhlas adalah takwa kepada Allah SWT. Ketakwaan yang dapat mendorong seorang hamba menetapkan tujuan ibadah yang lurus dan benar (mendapat ridha Allah, bukan ridha manusia lain), dan mengarahkan agar melaksanakan ibadah sesuai dengan tuntutan-Nya (bukan sesuai dengan keinginan pribadi atau keinginan orang lain).
Ali bin Abi Thalib RA mengingatkan berkenaan dengan masalah ini, “Hendaklah kamu lebih memperhatikan tentang bagaimana amalan itu diterima daripada banyak beramal. Karena sesungguhnya, sedikit amalan yang disertai takwa justru lebih baik. Bagaimanakah amalan itu hendak diterima tanpa ketakwaan?”
Kebanggaan dan kesombongan dalam beribadah tidak akan lahir dari ketakwaan kepada Allah SWT. Sebaliknya, ia lahir dari jiwa yang tamak dan rakus terhadap penghargaan dari sesama manusia.
Kebanggaan timbul karena ia merasa telah mampu melakukan ibadah/kebaikan yang belum tentu dapat dilaksanakan orang lain.
Kesombongan lahir dari perasaan dirinya lebih baik dari orang lain yang dianggapnya lebih sedikit amalnya atau bahkan orang lain yang dianggap berdosa.
Ibnu Athaillah lagi-lagi mengingatkan, “Perbuatan dosa yang melahirkan perasaan hina dan rendah hati lebih baik dari ketaatan yang melahirkan ujub dan sombong.”
Sungguh tragis kenyataan yang harus dihadapi di yaumil hisab (Hari Perhitungan) kelak bagi orang yang tidak tawadhu dalam beribadah disebabkan kebanggaan diri dan kesombongannya.
Itulah beberapa ciri-ciri orang yang tidak ikhlas dalam beribadah kepada Allah SWT yang bisa dijelaskan. Masih banyak lagi sebenarnya ciri-ciri dari orang tersebut, seperti shalatnya tidak khusyu’.
Salah satu hal yang bisa ditekankan di sini bahwa Allah SWT tidak akan membeda-bedakan amal ibadah yang dilakukan oleh hamba-Nya selama dia melakukannya dengan niat yang tulus dan ikhlas serta mengharapkan ridho-Nya semata.
Tanpa perlu mengharapkan berbagai pujian dari sesama makhluk-Nya demi membuktikan bahwa dia termasuk orang atau hamba yang baik. Lakukanlah amal ibadah kita dengan lillahi ta’ala (hanya karena Allah SWT).
Semoga kita semua termasuk hamba-Nya yang senantisa diberikan rasa ikhlas dan mendapat ridho-Nya dalam setiap amal ibadah yang kita lakukan. Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)