Dikisahkan, suatu ketika Siti Khadijah r.a. meminta tolong Nabi Muhammad saw. untuk membelikannya buah delima. Ketika itu kebetulan, belum masuk musim buah delima.
Dengan susah payah, Nabi Muhammad saw. berhasil mendapatkan sebutir buah delima. Buah itu pun dibelinya dengan harga yang mahal. Setelah itu, Nabi bergegas pulang. Di tengah jalan, ia menjumpai seorang laki-laki yang terlihat bingung dan sedih.
Rasulullah pun menyapa lelaki itu, “Mengapa kau kelihatan sedih, teman?”
Dengan enggan laki-laki itu menjawab, “Istriku sedang hamil. Ia meminta buah delima. Seharian aku mencari ke mana-mana, tetapi aku tidak mendapatkannya. Istriku pasti sangat sedih,” kata lelaki itu, seraya tertunduk dan sedikit menitikkan air mata.
Melihat hal itu, Nabi merasa terharu. Tanpa berpikir panjang, beliau memberikan buah delimanya kepada laki-laki itu. Laki-laki itu kelihatan sangat senang. Berkali-kali ia mengucapkan terima kasih kepada Nabi Muhammad Saw.
Nabi Muhammad saw. kemudian pulang. Sesampainya di rumah, beliau menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya kepada Siti Khadijah r.a.
Mendengar cerita suaminya, wanita berjuluk ath-tahirah (yang suci) itu sejenak terdiam.
Ia kemudian tersenyum dan berkata, “Kalau memang buah delima itu engkau berikan kepada orang yang membutuhkan, aku ikhlas. Inilah sedekah kita.”
Intisari dari kisah di atas adalah ikhlas dalam beramal. ikhlas bermakna shafa’ (bening), lantaran orang ikhlas adalah orang yang hatinya bening atau bersih.
Menurut Imam Ghazali, ikhlas bermakna shidq-u al-niyyah fi al-‘amal (niat yang benar dalam bekerja atau beribadah). Ini berarti, setiap amal dan kebaikan haruslah dilakukan karena Allah SWT.
Tanpa ketulusan, maka semua kebaikan yang kita lakukan, selain tidak sejati, juga terancam penyakit hati yang sangat berbahaya, yaitu riya’ (pamrih) dan syirik. Orang yang tulus pada hakikatnya adalah orang yang diselamatkan oleh Allah dari dua penyakit itu: riya’ dan syirik.
Dalam konteks inilah Ghazali berkata, ”Semua manusia celaka, kecuali orang-orang yang berilmu. Para ilmuwan inipun celaka, kecuali mereka yang mengamalkan ilmunya. Dan yang disebutkan terakhir inipun celaka, kecuali mereka yang tulus ikhlas.”
Berbeda dengan manusia pada umumnya, orang yang tulus memiliki ciri-ciri yang khas.
Pertama, mereka tidak terpengaruh oleh pujian dan cercaan manusia. Bagi mereka pujian atau cercaan sama saja. Oleh sebab itu, orang yang masih suka dipuja dan takut dicerca, pastilah ia bukan tipe orang yang ikhlas.
Kedua, mereka tidak berharap imbalan apa pun (pamrih) dari amal kebaikan yang mereka lakukan, selain mengharap perkenan dan ridha Tuhan.
Dari sini diketahui bahwa orang yang bekerja dan beribadah karena motif-motif dan kepentingan duniawi, seperti mencari muka dan popularitas, serta demi pangkat dan kedudukan, maka ia sama sekali bukan orang ikhlas.
Dalam Hadits Bukhari diterangkan bahwa orang semacam itu akan menyesal dan nelangsa, lantaran tidak memperoleh kebaikan apa pun di akhirat kelak.
Ketiga, mereka lupa dan tidak ingat lagi semua kebaikan yang pernah dilakukan. Orang yang selalu menuturkan kebaikannya apalagi disertai cercaan (al-mannu wa al-adza) kepada orang yang pernah diberinya bantuan, sungguh ia jauh dari orang ikhlas.
Sabda Nabi SAW yang menyuruh agar kita memberi sedekah secara diam-diam, jauh dari gembar-gembor, ibarat tangan kanan memberi, tapi tangan kiri tidak mengetahuinya, tentulah hanya bisa dimengerti dalam konteks ikhlas ini. Semoga kita ikhlas beramal, bukan beramal seikhlasnya. Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)