BANGGAI – Sebuah motor bebek menggandeng dua kotak yang terlihat berat, berjalan lambat menyusuri jalan melewati beberapa desa di wilayah Kecamatan Balantak, Kabupaten Banggai.
Sepeda motor itu dikemudikan seorang lelaki paruh baya yang dikenal bernama Aripin Kasim. Lelaki ini setiap paginya pergi ke Desa Luok, tempat di mana kapal ikan berlabuh. Ikan hasil tangkapan para nelayan setempat itu rata-rata ikan katombo, namun juga terdapat cakalang dan lajang.
Ikan lajang atau atau yang lebih dikenal masyarakat dengan sebutan malalugis itu sudah dibersihkan dan disusun rapi oleh Aripin. Tak lama kemudian muncul seorang bocah dengan sepeda motor bebek juga, membawa sabuk kelapa atau dalam bahasa lokal disebut gonofu, kemudian diatur dengan rapi untuk digunakan nanti jika ikan sudah siap.
Sementara itu, seorang perempuan paruh baya bernama Arni Bimadu juga kelihatan membersihkan sebatang demi sebatang alat yang akan digunakan menusuk ikan.
Setelah siap, satu persatu ikan mulai ditancapkan dengan sebatang kayu runcing. Gonofu mulai disusun rapi memanjang mengikuti panjang alat tambatan ikan yang diasap. Setelah tersusun rapi, alat pemantik api siap membakar gonofu. Tak berselang lama gonofu mulai menampakkan api yang merata. Tangan-tangan lincah dan cekatan mulai bergerak mematikan api yang sedang menyala agar ada bara yang tersisa.
Bara mulai nampak yang menandakan ikan siap untuk diasapi. Jarak bara dengan ikan pun agak jauh, ikan disusun berdiri agar tingkat kematangan merata dari kepala hingga ekor.
”Memang cara masaknya berbeda seperti kita akan membakar ikan. Kalo ikan pupu jaraknya diatur sedemikian rupa agar matang merata dan kulitnya kelihatan keemas-emasan,” jelas Arni Bimadu.
Kata dia, ikan pupu harus dijaga agar gonofu tidak menimbulkan nyala api. Di saat ini, bagi yang baru mencoba-coba pasti akan merasakan perih di mata karena terkena asap.
Berbeda halnya dengan bu Arni yang sudah terbiasa melakoni usaha ikan pupu. Asap yang menyelimuti tempat pengasapan ikan tidak jadi soal baginya.
Bu Arni merupakan salah seorang yang tergabung dalam kelompok usaha kecil berbasis sumber daya ikan yang merupakan kelompok dampingan Relawan untuk Orang dan Alam (ROA) dukungan Burung Indonesia serta Critical Ecosystem Partnership Fund di wilayah Kecamatan Balantak, Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah.
Bu Arni melakoni usaha ikan pupu, selain memenuhi permintaan pemesan juga kadang oleh pak Aripin dijajakan di wilayah yang berdekatan dengan wilayah pegunungan, dibawa menggunakan motor bebek.
“Harga ikan pupu juga bervariasi ada tiga ekor Rp10 ribu atau empat ekor Rp10 ribu tergantung besar kecilnya bentuk ukuran ikan. Malam nanti kita makan ikan pupu suir-suir sambel tomat dan cabe, pasti kamu akan batambah makannya belum lagi kalo ikan pupu dimasak santan,” ujar Arni sambil tersenyum melihat kami yang sudah membayangkan makan ikan.
Suara kesibukan di dapur pun sejak sore hingga lepas magrib sudah mulai terdengar.
Akhirnya panggilan makan pun terdengar dari dapur. Kami tak menunggu panggilan kedua sudah berada tepat di meja makan yang telah tersaji nasi putih, pisang rebus, ikan bakar dan ikan pupu, sambal tomat dan cabe. Gerakan tangan pun lincah mengambil piring masing-masing dan memang benar, sasaran utama adalah ikan pupu goreng sambel tomat dan cabe.
“Wuihhh lezatnya ditambah lagi disajikan hangat-hangat. Sungguh makan malam yang nikmat malam ini, terima kasih Bu Arna, saya mau ikan pupu dibawa ke Pulo Dua saat kami camping di sana nanti sekalian juga saat kami pulang ke Palu,” pesan Abal.
Lain lagi dengan Neni, teman kami. Ia bahkan memosting proses pembuatan ikan pupu sampai siap dimakan ke media sosial.
Alhasil tak sedikit yang meminta padanya untuk dibawa pulang sebagai ole-ole dan pesanan ke Ibu Arni pun dimulai lagi. ***