OLEH: Edi Lukito*

Kritik terhadap alokasi anggaran yang tidak tepat sasaran, baru-baru ini datang dari Presiden Joko Widodo. Beliau mengkritik anggaran pencegahan dan penurunan stunting yang dominan habis oleh kegiatan-kegiatan yang minim manfaat dan sangat boros, seperti rapat koordinasi dan perencanaan  yang berlarut-larut, perjalanan dinas, sosialisasi, dan evaluasi.

“Kalau Rp10 miliar anggarannya mestinya yang untuk lain-lainnya itu Rp2 miliar, yang Rp8 miliar itu langsung beli telur, ikan, daging, sayur. Berikan ke yang stunting. Konkretnya kira-kira seperti itu,” ujar Jokowi.

Hal ini sangat menarik perhatian publik, sebab kebobrokan kinerja lembaga pemerintah dibongkar langsung oleh Pak Presiden. Juga, realisasi anggaran yang dikritik adalah soal stunting, persoalan krusial yang tidak mudah ditangani.

Stunting adalah kekurangan gizi kronis yang menyebabkan kondisi panjang atau tinggi badan seseorang kurang dari normal berdasarkan usia dan jenis kelamin. Sederhananya stunting adalah kondisi tubuh yang berada di bawah ukuran normal orang-orang seusianya. Penyebabnya yang paling sering adalah kekurangan protein hewani yang didapatkan dari daging, ikan, telur, dan ayam.

Stunting sangat mengancam eksistensi satu generasi, sebab ia dapat menghambat pertumbuhan otak dan fisik, sehingga ketika dewasa tidak memiliki daya saing.

Apabila kita melihat data Kementrian Kesehatan, prevelensi balita stunting di Indonesia mencapai 21,6%, sementara standar WHO untuk stunting yakni di bawah 20%. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024 angka stunting ditekan sampai 14%.

Itu artinya stunting masih ada di bawah standar WHO dan masih sangat jauh dengan target nasional. Wajar saja Pak Presiden meluapkan kekesalannya di hadapan publik akibat anggaran stunting yang tidak efektif.

Data ini berbanding lurus dengan tingkat konsumsi daging sapi di Indonesia yang masih sangat rendah. Melihat data 10 tahun terakhir (2011-2021) dari BPS, konsumsi daging sapi di Indonesia stagnan di angka 0,009 kg/kapita/minggu. Bahkan angka itu sempat turun 0,005 kg/kapita/minggu pada tahun 2013-2014. Harga daging dan tingkat kemiskinan penduduk menjadi sebab utama kurangnya konsumsi daging masyarakat Indonesia.

Sementara Ketua Satuan Tugas (Satgas) Stunting IDAI, Prof Dr Damayanti Rusli Sjarif, SpA(K) menyatakan bahwa penelitian menunjukkan jikalau seorang anak mengonsumsi protein hewani lebih dari satu jenis dalam satu hari, maka risiko untuk stunting ikut mengalami penurunan.

Realita di masyarakat, utamanya masyarkat miskin dan sebagian besar masyarakat menengah, cenderung hanya mengonsumsi satu jenis protein setiap hari.

Siklusnya hanya berputar antara telur dan ikan karena terjangkau, sementara daging sapi kemungkinan hanya dapat dikonsumsi saat momen tertentu seperti hajatan dan hari raya Idul Fitri, terutama hari raya Idul Adha (Kurban).

Idul Adha, Hari Raya Penderita Stunting

Idul Adha, merupakan salah satu hari raya umat Islam. Diperingati setiap tanggal 10 Dzulhijjah (dalam sistem penanggalan hijriah).

Dalam perayaan hari raya ini disyariatkan bagi seluruh umat Islam untuk menyembelih hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing, domba dan unta, sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah Swt, ibadah ini populer dengan istilah kurban.

Secara histori ibadah ini berawal dari Nabi Ibrahim As yang diperintahkan oleh Allah Swt untuk menyembelih anak kesayangannya Nabi Ismail As. Namun, saat akan melaksanakan perintah itu, seketika muncul seekor kambing, Allah Swt memerintahkan untuk mengganti Nabi Ismail As dengan  domba itu untuk disembelih.  

Berpijak dari histori ibadah kurban, kita dapat memahami bahwa ibadah ini merupakan reperesentasi totalitas dari seorang hamba kepada tuhannya.

Perintah ini di dalam Al-Qur’an surah al-Hajj ayat 34 yang artinya: “Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak. Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserahdirilah kamu kepada-Nya.”

Mari kita berprasangka baik, bahwasannya Allah Swt menjadikan Idul Adha sebagai hari-hari bagi seluruh umat islam untuk  saling menjaga relasi kesalahen sosial dan hari-hari pemerataan gizi bagi umat manusia, melalui ibadah kurban berupa penyembelihan hewan ternak.

Gizi dari hewan ternak tidak semua orang mampu mendapatkannya. Sementara kebutuhan atas gizi tersebut sangat membantu pemenuhan gizi bagi manusia, agar tidak terjadi kekurangan gizi kronis utamanya pada anak-anak yang menjadi sebab utama stunting. Sehingga efektivisasi daging kurban perlu ditingkatkan lagi untuk menekan angka pengidap stunting yang masih tinggi.

Mengamati data jumlah daging kurban tahun 2022 yang mencapai 106,2 ribu ton daging, bukan tidak mungkin stunting di negeri ini akan menyentuh angka dibawah 2%. Pastinya itu terjadi tatkala distribusi dagingnya tepat sasaran, langsung dan merata kepada seluruh masyarakat kurang mampu, utamanya kepada para pengidap stunting.

Akhirnya, perlu kiranya setiap Idul Adha pembagian daging kurban lebih diperhatikan atau lebih difokuskan kepada para penderita stunting. Tentunya hal ini hanya salah satu upaya yang sangat mudah dilakukan, untuk mengatasi stunting di dunia khususnya di Indonesia.

Pemerintah masih sangat perlu untuk memberi anggaran khusus untuk penanganan persoalan ini, dengan lebih memperkuat pengawasan  dan  birokrasi. Saling menyadarkan antar masyarakat terhadap bahaya stunting juga penting, karena percuma jika diberikan daging kurban atau daging subsidi pemerintah ternyata sebagian besarnya tidak dikonsumsi hanya dijual kembali atau dimonetisasi. Jadikan Hari Raya ini sebagai hari raya pencegahan stunting internasional!

*Penulis adalah Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo