PALU – Setelah melalui proses panjang penuh perjuangan, Ibu “R”, seorang Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Kabupaten Sigi, akhirnya bisa kembali ke tanah kelahirannya. Pemulangan ini melalui upaya advokasi keluarga bersama Solidaritas Perempuan (SP) Palu dan Sekretariat Nasional SP.
Sejak 2009, Ibu “R” sudah menjadi pekerja migran di Timur Tengah. Pengalaman pahit menimpanya saat bekerja di Qatar. Selama hampir 20 jam per hari ia dipaksa bekerja tanpa cukup waktu istirahat. Kondisi itu membuatnya sering sakit dan kelelahan. Puncaknya, pada Februari 2025, ia dilaporkan oleh majikan dengan tuduhan mencelakai anak majikan berusia empat tahun. Padahal, menurut kesaksian rekan kerja, anak majikanlah yang justru memukul dan jatuh sendiri.
Sejak saat itu, keluarga kehilangan komunikasi karena telepon genggam dan dokumen pribadi R ditahan. Informasi tentang nasibnya baru diketahui setelah sebuah surat yang dititipkan R melalui temannya tiba di kampung halaman, Sigi. Dalam surat itu, ia menuliskan tentang tekanan, kekerasan verbal, dan tuduhan yang dianggapnya tidak adil.
Keluarga R lalu mengadukan kasus ini ke SP Palu pada Mei 2025. Selama empat bulan, SP Palu bersama keluarga melakukan koordinasi intensif dengan berbagai lembaga, termasuk BP3MI Sulawesi Tengah, Komnas HAM RI, hingga PWNI-BHI. Akhirnya, perjuangan panjang itu membuahkan hasil: pemerintah merespons dan memastikan R bisa kembali pulang.
Pada 28 Agustus 2025, Ibu “R” tiba di Bandara Mutiara SIS Al-Jufri, Palu. Kedatangannya disambut haru keluarga, SP Palu, dan pemerintah terkait. Bagi keluarganya, momen itu adalah penantian panjang yang penuh air mata.
Kasus yang menimpa R menegaskan pentingnya perlindungan komprehensif bagi PMI, terutama perempuan. Minimnya akses informasi dan lemahnya perlindungan membuat banyak PMI rentan mengalami kekerasan dan tuduhan hukum yang tidak adil di negara penempatan. “Perlindungan berbasis gender harus hadir sejak pra-penempatan, selama bekerja, hingga setelah pulang,” tegas SP Palu.