Menjalankan ibadah kepada Allah dan isti’anah atau memohon pertolongan kepada-Nya itulah sarana untuk menggapai kebahagiaan abadi dan jalan untuk selamat dari segala keburukan. Maka tiada jalan menuju keselamatan kecuali dengan menunaikan keduanya.

Dan sesungguhnya ibadah akan disebut ibadah yang benar apabila diambil dari (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta dilakukan dengan ikhlas demi mencari wajah Allah. Dengan kedua hal inilah sesuatu akan bisa disebut sebagai ibadah.

Disebutkannya isti’anah sesudah ibadah -dalam iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in- padahal isti’anah adalah bagian dari ibadah, hal itu disebabkan besarnya kebutuhan hamba dalam segala ibadahnya untuk memohon pertolongan kepada Allah ta’ala.

Karena sesungguhnya apabila Allah tidak menolong dirinya tidak akan tercapai apa yang dia kehendaki; apakah itu melakukan perintah atau menjauhi larangan.

Lalu apa isti’anah itu?. Isti’anah ialah anugerah yang diturunkan Tuhan sebagai balasan dari berbagai bentuk pengabdian kepada-Nya. Penempatan isti’anah setelah ta’abbud mengisyaratkan bahwa tidak ada isti’anah tanpa diawali ta’abbud atau proses penghambaan diri terhadap Allah SWT.

Artinya, seseorang yang mengharapkan pertolongan Tuhan harus diawali terlebih dahulu dengan ta’abbud. Hanya hamba yang menemukan jalan dan konsisten menjalani jalan itu yang bisa mendapatkan isti’anah.

Dalam melaksanakan ta’abbud, manusia harus memerhatikan beberapa hal. Salah satu di antaranya ialah keikhlasan. Sebab, ta’abbud tidak bisa mencapai puncak jika dipadati dengan riya, dosa, dan egosentrisme.

Isti’anah adalah akibat yang diperoleh melalui usaha ta’abbud yang sejati. Kesejatian ta’abbud dapat diukur melalui tingkat keikhlasan dan kekhusyukan ta’abbud itu sendiri.

Ta’abbud terkait dengan interaksi positif antara abid, Ma’bud, dan ibadah. Abid ialah orang yang bersungguh-sungguh bermaksud mendekatkan diri kepada Allah SWT, Ma’bud tidak lain ialah Allah SWT, dan ibadah ialah tata cara yang mengatur hubungan interaktif antara manusia sebagai abid dan Tuhan sebagai Al-Ma’bud. Ketentuan yang men jadi rambu-rambu antara ‘abid dan ma’bud itulah ibadah.

Iyyaka na’bud wa iyyaka nasta’in menggunakan kata ganti jamak (dhamir). Menurut Muhammad bin Ibrahim Shadruddin Al-Dzairazi, penggunaan kata jamak (na’bud-nasta’in) selain untuk mengagungkan Allah SWT yang disembah, juga berarti penghambaan manusia secara total terhadap Tuhannya.

Pada diri seseorang berlapis-lapis kenyataannya substansi manusia. Ada orang lebih menonjolkan kapasitas dirinya sebagai pejabat, kaya, berpangkat tinggi, dan ada juga lebih menekankan kapasitas dirinya sebagai bagian dari makhluk spiritual.

Ada pula yang melakukan peribadatan lebih menekankan pada aspek psikologis yang sangat pribadi dan sebagian lainnya menekankan aspek sosiologis yang lebih permisif terhadap lingkungan sosialnya.

Di dalam diri kita, juga sesungguhnya terdiri atas unsur yang berlapis-lapis, yaitu jiwa, raga, dan roh. Keseluruhan unsur itu serentak menyembah dan menyerahkan sepenuh dirinya kepada Allah SWT.

Dengan demikian, ta’abbud isti’anah seperti kata majemuk yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Pada saat yang bersamaan, antara abid, Ma’bud, dan ‘ibadah juga tidak bisa dipisahkan. Tidak ada abid tanpa ada Ma’bud dan tidak ada arti abid tanpa ibadah. Demikian pula dengan ta’abbud dan isti’anah, selalu berhubungan dengan abid dan Ma’bud. Wallahu a’lam

DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)