Rukmini Toheke (53) dengan hati-hati menggenggam dua helai tangkai benih yang mirip biji padi kering. Layaknya sedang  menimang bayi, Ia menjaga benih itu tak dibiarkan lepas barang sebiji saja dari tangkainya. Sebab, keberadaannya yang tak hanya langka tetapi juga manfaatnya dalam menyelamatkan lumbung pangan di Desa Toro.

Desa Toro atau Ngata Toro adalah sebuah Desa dalam wilayah  administratif berada di Kecamatan Kulawi berjarak sekitar 70 Km dari Ibu Kota Pemerintahan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Desa adat yang berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) itu, sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani dan menggantungkan kebutuhan hidupnya dari hasil pertanian. Namun, belakangan produksi padi di desa ini terus menurun. Petani kerap kali dilanda gagal panen dengan menghadapi bencana kekeringan akibat El Nino, serangan hama, puso maupun penyakit.

Rukmini Toheke

Tahun 2023 terjadi El Nino cukup kuat, sehingga terjadi penurunan padi secara meluas di Indonesia. Jika dahulu di lahan keluarga Rukmini bisa memanen 500-800 kg padi gabah kering, kini hanya bisa memanen 46 kg gabah pada tahun 2023. Hal yang sama dialami Answar , seorang  petani yang biasa memanen padi hingga 500 kg tak jauh berbeda dengan jumlah 40 kg padi gabah.

https://sulteng.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTc3IzI=/produksi-padi-menurut-kabupaten-kota.html

Dari tradisi yang hilang berujung pangan lokal yang terpinggirkan

Dua benih yang digenggam Rukmini  adalah jewawut dan sorgum hitam, masyarakat lokal menyebutnya bailo dan kalide. Dulunya tumbuh subur di tanah Ngata Toro. Tanaman ini masuk dalam golongan serealia dan famili poaceae/gramineae yang dapat juga dimanfaatkan sebagai pangan.

Beberapa golongan serealia lainnya dulu juga pernah tumbuh disana, masyarakat lokal menyebutnya dale (jali-jali varietas coix lacryma-jobi var. ma-yuen ) dan rope (jali-jali varietas coix lacryma-jobi var.lacryma-jobi).

Dale yang lembek dulunya sering dimasak menjadi kolak atau baje sementara rope, orang Toro lebih sering memanfaatkannya sebagai perhiasan, seperti talienu (ikat kepala perempuan) atau memintalnya menjadi gelang.

Tanaman bailo, kalide dan dale dulunya tumbuh di lahan perkebunan warga. Hingga pada suatu saat sekira tahun 1970-an, satu persatu petani Toro beralih pada sistem pertanian sawah yang dianggap lebih produktif. Sayangnya padi non-lokal yang didatangkan dari luar pun akhirnya mendatangkan masalah baru, tentang kemunculannya yang pada akhirnya tidak adaptif terhadap perubahan iklim.

Dalam menggali tradisi pertanian di  Desa Toro, kami bertemu dengan Said Tolao, seorang Tondo Ngata atau polisi hutan dengan pengalaman 28 tahun menjaga hutan adat Toro menjelajah kawasan hutan TNLL. 75 tahun usianya masih menjunjung semangat dan perhatian pada kearifan alam di wilayah adat itu.

Ia mendirikan sekolah alam nonformal secara mandiri dengan usaha, biaya dan tangannya sendiri pun menjadi guru tunggal bagi anak-anak di Ngata Toro. Ialah Sekolah Alam Ngata Toro yang telah 10 tahun berdiri di lahan bekas kebun kakaonya yang tanpa ragu Ia tebas padahal sedang berbuah subur.

Dari penuturanya dan catatan arsip pengetahuan soal tanaman lokal yang dulu tumbuh di Ngata Toro, terdapat 7 jenis padi varietas lokal dan 7 varietas lokal jenis ketan yang ditanam dengan cara berladang. 

Untuk menjaga tanaman padi ladang tak diserang hama, terlebih dahulu di pinggiran lahan padi di pagari dengan jewawut, jali-jali atau tanaman lainnya. tanaman ini sebagai makanan bagi hama agar secara alami tidak menyerang padi.

“Hama itu bagian dari ciptaan Tuhan yang tidak boleh dimusnahkan, kalau sumber makananya habis Ia akan menyerang padi. Karena itu, kami buatkan kebunnya dulu (hama)  lalu kita buat kebun padi”, tuturnya penuh penghayatan.

IMG-20241002-WA0016

Sumber : Said Tolao, pendiri dan guru sekolah alam Ngata Toro

Padi ladang hanya panen sekali dalam setahun, untuk mengisi kebutuhan pangan rumah tangga sebelum panen, persediaan lumbung padi pada situasi darurat tersimpan dalam bangunan adat yang disebut gampiri.  Lalu  petani Toro sembari memanfaatkan tanaman lain. Seperti mengolah tanaman sagu, talas hingga umbi-umbian lain sebagai sumber karbohidrat.

Sagu biasa diolah menjadi pangan tradisional seperti  ta baro (sagu kering yang dimasak diatas piringan tanah liat dan diberi pilihan isi ikan, kerang atau gula merah) dan beo (bubur sagu yang dicampur sayur atau ikan). Tak ketinggalan ulat sagu (wati) dengan kandungan protein tinggi itu dimasak seperti sate.

 Ngemil taraju yang berasal dari ubi jalar, bailo, kalide dan dale yang kaya serat itu menjadi bubur kolak atau baje.

Tradisi bertani padi ladang telah semacam ini dipertahankan bertahun-tahun oleh leluhur orang Toro.  Berladang menggunakan benih dari padi lokal menjadi tahan penyakit, lebih adaptif terhadap  perubahan iklim  dan petani tidak perlu membeli  pupuk kimia  ataupun  menggunakan pestisida yang mahal. 

Namun demikian, tradisi bertani ini mulai ditinggalkan oleh petani Toro, kala masyarakat mulai membuka lahan sawah.

As’at Toheke mengatakan, pertanian padi ladang perlahan mulai bergeser ketika masyarakat mulai membuka sawah berlangsung sekitar tahun 1980-an.

Menurut tutur yang berkembang di masyarakat, padi sawah ditemukan kala varietas lokal tumbuh dikubangan berlumpur bekas berkumpulnya kelompok rusa. Varietas padi lokal untuk  padi sawah bermunculan dari sini. Ada 7 varietas padi lokal dan 3 jenis benih padi ketan yang biasa dikelola melalui persawahan.

Padi sawah semakin masif kala program  Swasembada Beras yang berkembang masa pemerintahan Soeharto  dengan mendorong produktivitas padi supaya lebih meningkat. Alih-alih mengembangkan padi lokal, benih-benih padi dari luar justru berdatangan demi menunjang produksi lebih.

Petani Toro mulai meninggalkan pertanian padi ladang yang produksinya rendah dan membuka sawah supaya memproduksi padi lebih banyak lagi yang dianggap menguntungkan.

“Dulu sekira tahun 1984, awal petani disini membuka sawah. Desa Toro sempat mendapat rekor produksi padi tinggi mencapai 6 ton dalam 1 hektar sawah,” ungkap As’at.

Kata As’at sebagian orang meninggalkan padi lokal, dan beralih ke padi yang lebih genjah seperti inpari 24 dan PB 8. Umur kedua padi itu relatif singkat, hanya 3 bulan.

Alasan lain petani meninggalkan padi lokal karena hasil panen rendah, hanya 1,5-2 ton per hektar. Dibandingkan dengan padi hasil pemuliaan modern rata-rata menghasilkan 3 ton per hektar.

24 varietas padi lokal yang dihimpun oleh Said Tolao kini hanya tersisa 2 jenis padi lokal di Ngata Toro,  As’at Toheke dan Rukmini Toheke yang masih menyimpannya. 

Muhd. Nur Sangadji, Associate Prof. Bidang Ekologi Manusia, mengatakan, sekalipun padi lokal memiliki umur tanam yang lebih lama, padi lokal memiliki keunggulan yang penting dilestarikan. 

“Meskipun menanamnya membutuhkan waktu panen lebih lama dari pertanian konvensional, padi lokal yang sifatnya organik  sama sekali tidak menggunakan pupuk kimia atau pestisida sehingga relatif sangat sehat dikonsumsi. Penanaman padi lokal biasanya menggunakan praktik ladang berpindah sehingga membentuk rotasi yang bisa memutus siklus hama pada tanaman,” kata peneliti Kajian Lingkungan Hidup Strategis ( KLHS ) itu. 

Akademisi Pertanian Universitas Tadulako yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Untad itu  menjelaskan bila tanaman lokal (bukan hanya padi)  penting dilestarikan karena memiliki kedekatan dengan masyarakat setempat .

Dalam kajian agroklimat, kata Nur Sangadji tanaman lokal yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat lokal  ini telah menyesuaikan dengan kondisi iklim setempat,  sehingga relatif lebih tahan terhadap cuaca.

Senada dengan penjelasan Muhd. Nur Sangadji, menjadi alasan Rukmini Toheke mengambil peran mempertahankan tanaman lokal itu di tanah leluhurnya.

“Padi lokal yang kita makan sejak kecil rasanya enak sekali, padi lokal lebih tahan penyakit tanpa harus di pupuk. Kewajiban kita untuk mempertahankannya. Walaupun sekarang sudah banyak yang hilang. Yang ada sekarang tinggal raki dan kanari”, kata perempuan yang terpilih sebagai Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) itu.

Jadi surplus beras dan masalah gizi di Sigi

Meskipun keberagaman pangan lokal di Kabupaten Sigi cukup melimpah, ironisnya kabupaten yang menyumbang surplus beras ini justru memiliki tingkat prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan cukup tinggi.  

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan cukup tinggi di Kabupaten Sigi mencapai 14.11 %  dengan total penduduk 266.656  tahun 2023 melampaui rata-rata nasional. Angka ini menempati posisi tertinggi se-Sulawesi Tengah. Ini berarti  ada 37.625 dari total penduduk Sigi yang mengalami ketidakcukupan konsumsi pangan.

Selain itu , persoalan tengkes atau stunting  menjadi perkara kesehatan nasional selama beberapa tahun terakhir tak terkecuali di Sigi. Mengacu pada definisi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tengkes adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang.  

Berdasarkan Survei kesehatan Indonesia (SKI), Prevalensi Stunting di Sigi pernah berada di angka 40,7% pada tahun 2021, angka ini merupakan yang tertinggi di Provinsi Sulawesi Tengah.

Anak-anak di Sekolah Alam Ngata Toro yang hidup berdampingan dengan alam. (FOTO: media.alkhairaat.id/Mun)

Sementara, pada tahun 2022 angka tengkes di Sigi mengalami penurunan menjadi 36,8 % dan menjadi 26,4 % pada tahun 2023.  Meskipun terjadi penurunan stunting yang signifikan, angka ini belum mencapai  standar  yang ditetapkan WHO  yakni prevalensi stunting harus di angka kurang dari 20%. 

Melansir dari Tutura.id Riadin Lahido, Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P2KB) Sigi, mengatakan akar masalah yang paling mempengaruhi tingginya angka tengkes di Sigi salah satunya adalah pernikahan dini. Pasangan suami istri yang tercipta akibat pernikahan dini masih minim pengetahuan soal penyediaan asupan gizi keluarga. 

Pemerintah Kabupaten Sigi terus melakukan upaya pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya gizi seimbang. Terdapat 118 Desa di Kabupaten Sigi yang menjadi lokus utama penanganan stunting, Desa Toro menjadi salah satunya. 

Keragaman pangan di Ngata Toro 

Kami mendapati Said Tolao sedang menghaluskan cabai dalam sebuah tempurung  saat berkunjung pagi hari di Sekolah Alam Ngata Toro yang asri itu. Terdapat pisang, ubi , ikan dan beberapa sayur pakis menjadi menu sarapannya. “Kalau soal makanan saya tidak ambil  pusing, ada rica pete di kebun, ubi tinggal tanam semua bisa  hidup. Semua sudah ada dari pemberian alam”, kata Said di sela-sela aktivitas memasaknya.

Di halaman lahan sekolah alamnya yang berada di pinggiran sungai  itu, terdapat beragam tanaman hidup menghijau menutupi pekarangan kecilnya. Lumbung pangan di Desa Toro ini tidaklah sedikit, setidaknya itulah yang kami amati di pinggiran perkebunan perkampungan penduduk. Meskipun rimbunan pohon kakao tumbuh menjadi lahan perkebunan, beberapa tanaman talas menjadi tumbuhan liar yang  tampak subur di sela-sela pohon hingga pinggiran sungai.

Said Tolao menunjuk sebuah tanaman dengan bunga merah punya wangi yang khas, Ia mengumpulkan beberapa tunas untuk dibawa pulang.

“Orang Toro bilang ini tikala,  biasa kami  buat sambal. Rasanya enak sekali”, Said sumringah.

Bunga yang dimaksud Said Tolao adalah kecombrang. Tikala tak hanya dibuat sambal, terkadang menjadi campuran daging – seperti nasi ayam bambu– karena aroma khasnya.

Melansir dari International Food Research Journal, bunga kecombrang  mengandung vitamin dan mineral. Dalam 100 gram bunga kecombrang mengandung

Vitamin K 1.589 miligram (mg),  Kalsium 775 mg,  mangan 327 mg , Fosfor 286 mg Sulfur 16 mg.

Dalam memenuhi asupan vitamin, buah-buahan lokal yang mengandung vitamin C di Ngata Toro seperti di dongi, pangi, kamonji biasanya hidup dikawasan hutan adat. 

Pada jenis jamur-jamuran terdapat 8 jenis jamur  yang bisa dikonsumsi warga. Biasanya hidup di perkebunan maupun tumbuh liar dalam hutan.

Untuk sayur-sayuran warga dapat memanfaatkan 21 jenis sayur dari dedaunan dan beberapa lainnya berasal dari tunas-tunas pohon, seperti bambu dan kelapa.

Tak ketinggalan  50 jenis tanaman obat yang tumbuh liar sebagai pengobatan tradisional masyarakat Toro.

Tanaman ini masih terlihat hidup di pinggiran lahan, sebagian lainya kini berada jauh  didalam hutan seperti misalnya umbut-umbutan dari rotan, enau, wanga dan pinang. 

Said Tolao menunjuk sebuah tanaman liar dipekarangannya yang Ia sebut manoe sawi liar. “Coba kau tanya sama anak-anak  disini, tidak  dorang tau ini bisa dimakan”, keluh Said. Menurut Said Tolao sebagian generasi muda  tidak banyak mengenal tanaman lokal sebagai tanaman pangan sehingga sebagian jarang dimanfaatkan.

Seperti untuk memenuhi kebutuhan protein, penduduk dulunya memanfaatkan wati atau ulat sagu yang dimasak menjadi sate atau memasaknya dalam bambu, menurut akademisi Ilmu Gizi dari Universitas Tadulako, Nikmah Utami Dewi, S.KM,. M.Sc  ulat sagu memiliki kandungan nutrisi yang baik untuk pemenuhan gizi dan imunitas tubuh.“Ulat sagu dengan kandungan lemak, karbohidrat dan mineral, zinc cukup tinggi dibandingkan telur,” jelas perempuan yang akrab disapa Tami itu.

Namun, sekali lagi tanaman sagu pun sudah jarang lagi diolah penduduk setempat. Pohon-pohon sagu yang tumbuh meninggi di pinggiran lahan persawahan penduduk  nyaris tak lagi tersentuh. 

Saat kami ingin menggali informasi tentang para petani sagu dahulu, Said Tolao tampak kebingungan mencari siapa yang masih bertahan mengolah pati sagu yang bisa kami wawancarai. Begitu pula keterangan dari Answar, petani Toro milenial  itu menyebut masyarakat Toro saat ini, bila ingin makan sagu akan menunggu penjual sayur keliling lewat mobil pick up  yang datang dari luar daerah.

Makanan yang beraneka ragam termasuk pangan lokal menopang kebutuhan nutrisi warga. Menurut Tami, Alumni Wageningen University Belanda yang berfokus pada gizi itu, menjelaskan pentingnya variasi makanan bagi tubuh supaya tubuh tidak hanya menyerap karbohidrat dari satu sumber pangan, seperti sagu. Terlebih warga Sulteng cenderung mengkonsumsi nasi sebagai pangan utama. 

Kepala Dinas Pangan Sulteng, Eva Rantung dalam sesi diskusi Forum Diskusi Bangun Sulteng 2023 lalu (FDBS) mengungkapan kecenderungan warga Sulteng yang lebih banyak mengonsumsi pangan mengandung karbohidrat ketimbang  protein. 

Eva menerangkan data menunjukkan pencapaian jumlah konsumsi kelompok padi-padian masyarakat Sulteng telah melewati ideal PPH, yaitu sebanyak 1256  Kkal/kap/hari. Sedangkan pangan hewani menjadi pencapaian dengan konsumsi terendah dari ideal PPH.

“Karbohidrat yang hanya dari nasi saja, bisa berisiko bergantungan pada beras.  Juga  berisiko kekurangan zat gizi lain,  yang terdapat pada sumber karbohidrat dari  jagung, ada kentang, mie basah, roti,  singkong, sukun, talas , ubi jalar atau ketela,” kata Tami.

Untuk memulai agar bisa makan dari sumber pangan yang bervariasi kata Tami, harus dimulai dengan melengkapi pengetahuan soal gizi. Dengan begitu akan tumbuh kesadaran bahwa makan bervariasi itu penting bagi tubuh.

Ancaman lain setelah peminggiran tanaman lokal 

Sebagai tina ngata Rukmini telah  menyadari ada yang salah dari kebiasaan bertani di tanah leluhurnya. Bencana gagal panen berkali-kali dirasakan petani Toro.

Masyarakat adat di Desa Toro meyakini ini adalah bentuk teguran untuk mereka yang tidak lagi utuh memegang kearifan lokal warisan nenek moyang mereka, semisal tidak lagi melakukan prosesi adat wunca pada masa panen raya dalam 15 tahun terakhir. Bahkan di generasi petani Toro milenial seperti Answar hanya sempat menyaksikan 2 kali saja  euforia  prosesi wunca di Ngata Toro.

Wunca adalah prosesi adat to  Kulawi (orang Kulawi) sebagai bentuk rasa terima kasih manusia kepada alam dan pencipta atas pemberian panen yang melimpah. Kami berkesempatan menyaksikan wunca pada 29 Agustus lalu setelah 15 tahun senyap.  Prosesnya diawali dengan pembacaan gane-gane (doa) memakai bahasa Kulawi dialek Mouma di pimpin oleh pemangku adat. 

Penari rego wunca mengelilingi pemangku adat yang telah berhadapan dengan perlengkapan adat, sementara di tengah-tengah mereka seluruh bibit-bibit lokal hingga tanaman lokal berkumpul. Kata Said tanaman yang dihadirkan pada wunca terdahulu, tak hanya padi tetapi juga jagung, sagu, bailo, dale, batang ubi dan beragam tanaman lokal lainnya.

Setelah melakukan tarian rego wunca, anak-anak dibiarkan berebut makanan dengan gembira. Bila makanan adat tersisa, mereka akan saling berbagi membungkusnya untuk para tetangga dan memastikan tidak ada makanan yang terbuang. Tradisi ini  yang orang Kulawi sebut dengan mangkoni mangkeni. 

Pada 29 Agustus 2024 lalu bersamaan dengan mompede Lobo peresmian rumah adat Lobo–rumah peradilan adat bagi masyarakat adat Ngata Toro—, masih dengan memakai halili–kain kulit kayu itu, Rukmini Toheke berdiri ditengah-tengah masyarakat seolah sedang membuat pengakuan dosa:

“Melihat situasi produksi panen kami sebagian gagal panen dan sebagian besar produksi menurun, maka kami melakukan ritual wunca ini sebagai bagian dari syukuran sekaligus pertobatan masyarakat Toro pada bumi yang kita pijaki”, kata dia dengan lantang di hadapan penduduk yang telah menunduk.

Dari sebiji jali-jali yang hilang  dari Ngata Toro itu, Rukmini berniat menyebar benih-benih lokal yang tersisa untuk ditanami lagi pada saat musim tanam tiba nanti. Perempuan yang baru saja menerima penghargaan Kalpataru dari Kementerian  Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai pembina lingkungan itu, dengan penuh pengharapan bibit-bibit itu kembali hidup bersama tradisi leluhur dari tanahnya yang hilang.

Kini tantangan yang dihadapi  Rukmini  dan masyarakat adat Toro lainnya kian berat, kala ada sebagian tanah di Pangale–wilayah hutan yang terletak di dusun VI–lepas dari pengawasan lembaga adat yang akan terjual ke tangan WNA. Tersiar kabar wilayah itu telah di patok kayu pembatas dan beberapa bibit durian telah hidup disana. Setelah padi non lokal, komoditas durian membuka jalan bagi tanaman lokal lainnya terancam terusir dari tanah leluhurnya sendiri.

MUGHNI MAYAH/MUN
(Fellowship Produksi Pangan Berkelanjutan yang Diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen)