MORUT – Proyek pembangunan asrama mahasiswa Morowali Utara di Kelurahan Lasoani, Kota Palu dihentikan oleh warga masyarakat yang mengaku sebagai ahli waris.
Penghentian itu disebabkan pemerintah Kabupaten Morowali Utara belum menyelesaikan pembanyaran ganti rugi tanah, yang berimbas pada tidak selesainya proyek pembangunan yang dikerjakan pihak ketiga PT Megah Mandiri Makmur dan PT Cahaya Tanah Wana, sebagai kontraktor pemenang tender.
Komisaris PT Cahaya Tanah Wana, Ferdi Abd Razak menjelaskan kronologi penghentian proyek itu dimulai pada tanggal 2 Juli 2018 saat kontrak pekerjaan itu ditandatangani oleh pihak pemberi pekerjaan yakni Sekretriat Daerah Pemkab banggai di Bagian Administrasi Pemerintahan dan Otonom Daerah.
Pemilik pekerjaan di sarana dan prasarana aparatur, menyatakan kontrak tertanggal 26 Juni 2018, namun terjadi keterlambatan selama 7 hari.
Kata Ferdi, tanggal 9 Juli 2018, pihaknya baru menerima uang muka pekerjaan. Tanggal 18 Juni 2018, merupakan awal mula kejadian warga yang mengatasnamakan ahli waris pemilik lahan mulai melakukan teror kepada para pekerja, agar pekerjaan pembanguan proyek asrama mahasiswa tersebut dihentikan.
Tanggal 23 Juli 2018, dilakukan peninjauan oleh beberapa anggota DPRD Morowali Utara ke lokasi proyek guna melihat langsung kegiatan warga, yang mengaku ahli waris yang menghalang-halangi pekerjaan.
Tanggal 24 Juli 2018 hingga 12 Agustus 2018, para ahli waris mulai melakukan demo karena tidak ada penyelesaian, sehingga berakhir dengan pemagaran lahan lokasi pekerjaan yang menyebabkan terhenti jalannya perkerjaan.
Kemudian, tanggal 13 Agustus 2018, PPTK atas nama Kepala Bagian Administrasi Pemerintahan & otonom Daerah mengeluarkan surat bernomor 503/158/Adpem-Otda/VIII/2018 dengan perihal penghentian sementara pekerjaan asrama mahasiswa dan berharap sambil menunggu proses penyelesaian masalah.
Namun pada kenyataannya kata Ferdi, hingga sampai berakhir masa kontrak penyelesaian masalah dengan ahli waris tidak juga terselesaikan sehingga pada tanggal 15 Agustus 2018, PPTK atas nama Gema Kurnia Tobigo melaporkan permasalahan tersebut kepada Polda Sulteng dan Polres Palu dengan nomor surat STPL/1407/VIII/2018.
Kemudian kata Ferdi, tanggal 28 September terjadi musibah bencana alam gempa bumi tsunami dan likuifaksi sehingga merugikan pihak kontraktor, akibat penjarahan material yang berada dilokasi pekerjaan.
Tanggal 20 Desember 2018 dilakukan rapat antara tiga pihak yakni PPTK, kontraktor dan inspektorat sebagai instansi pemeriksa bertujuan untuk mencari solusi terhadap permasalahan pekerjaan itu.
Ferdi mengaku heran, karena pada tanggal 21 Desember 2018 terbit surat pemutusan kontrak dengan nomor surat 001/SRT-PK-KSD/ADPEM-OTDA/XII/2018 yang dikeluarkan oleh pihak PPK secara sepihak.
“Jadi kami disini selaku pihak pertama merasa dirugikan oleh pihak kedua, yang telah mengeluarkan surat penghentian pekerjaan secara sepihak,” keluh Ferdi.
Sementara itu, salah seorang ahli waris, Aspan yang dikonfirmasi melalui telpon seluler, Jumat (04/01) mengharapkan kepada pihak pemerintah, sesegera mungkin memberikan ganti rugi di lahan yang menjadi hak miliknya dengan bukti-bukti yang saat masih ada padanya.
Aspan menjelaskan tanah tersebut adalah tanah budel yang dimiliki banyak orang, sedangkan ganti rugi hanya diberikan kepada satu ahli waris saja, sementara yang lain tidak mendapatkan ganti rugi sedikitpun.
“Dalam wasiat oleh orang tua dulu, bahwa lahan seluas 9000 meter lebih tersebut menjadi milik tiga ahli waris. Akan tetapi belakangan ini, diketahui hanya satu ahli waris saja yang menikmati uang ganti ruginya, yang lain tidak dapat apa-apa,” jelas Aspan.
Aspan menambahkan,para ahli waris tidak ada upaya untuk menghalangi pekerjaan tersebut, karena yang dipagar hanya seluas 6000 meter adalah hak miliknya bersama keluarga lainnya. Sementara untuk yang 3000 meter lebih tidak dipagar dan dilokasi itulah silahkan pihak kontraktor melakukan pekerjaannya. (HARIS)