Hendropriyono, Palestina, dan Paham A. Baars

oleh -

OLEH: Nasrullah Muhammadong*

Mantan Kepala Badan Intelejen Nasional, A.M. Hendropriyono belum lama ini membuat pernyatan kontroversial soal penindasan terhadap bangsa Palestina. Beberapa media online pun menurunkan berita tersebut.

Sebut saja Sindonews.com (19/5/2021), mewartakan, mantan Kepala Badan Intelejen Nasional, A.M. Hendropriyono menilai konflik Palestina dan Israel bukan urusan Indonesia, melainkan urusan mereka, bangsa Arab dan Yahudi.

Masih di laman yang sama, ucapan tersebut mendapat kritikan dari Sekum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, bahwa pernyataan A.M. Hendropriyono soal Palestina tersebut, tidak mencerminkan sikap seorang negarawan.

Juga, Republika.co.id (20/5/2021), yang mengutip pernyataaan Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia(Alpha) Azmi Syahputra, di mana menyindir Hendropriyono yang tak punya rasa empati terhadap Palestina. “Komentar seperti itu menunjukkan minimnya empati nurani dan rasa kemanusiaan”.

CORAK BERPIKIR

Cara berpikir Hendropriyono seperti di atas, mengingatkan penulis pada pidato Bung Karno (BK) pada 1 Juni 1945. Kala itu BK berkata di depan sidang BPUPKI, sebagai berikut:

”Saya mengakui, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah H.B.S. di Surabaya, saya dipengaruhi seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, katanya: jangan berpaham kebangsaan, tetapi berpahamlah rasa kemanusiaan seluruh dunia. Jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 1917”.

BACA JUGA :  KPU Parimo Loloskan Amrullah-Ibrahim Sebagai Paslon Bupati dan Wakil Bupati

Berdasarkan pidato di atas, hemat penulis, corak berpikir Hendropriyono, sama dengan pandangan A. Baars. Hanya bedanya, A. Baars menekankan pada prinsip internasionalisme, dengan menafikan paham kebangsaan.

Sebaliknya Hendropriyono, menekankan paham kebangsaan, dengan mengeyampingkan urusan internasionalisme.

JALAN TENGAH

Dari pidato 1 Juni tadi, BK akhirnya mengambil jalan tengah. Ini dilakukan setelah ia membaca tulisan Sun Yat Sen, berjudul “San Min Cu I”.

BK berkata: “Akan tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, ia adalah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam tulisannya “San Min Cu I” atau “The Three people’s Principles”, saya mendapatkan pelajaran yang membongkar kosmopolitanisme yang diajarkan oleh A. Baars itu.

Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh The Three people’s Principles itu”.

Akhirnya, dalam pidato tersebut, BK mengemukakan lima sila dari dasar negara yang dipersiapkan, yaitu, 1) Kebangsaan Indonesia; 2) Internasionalisme atau peri-kemanusiaan; 3) Mufakat atau domokrasi; 4) Kesejahteraan sosial; dan 5) Ke-Tuhanan.

Dalam urutan sila di atas, terlihat, sila Internasionalisme atau peri-kemanusiaan ditempatkan oleh BK pada urutan kedua (setelah kebangsaan indonesia).

BACA JUGA :  Kapolres Banggai Sambut Jenazah Benny Laos

MENGAPA INTERNASIONALISME

Sebelum menjawab pertanyaan itu, BK dalam pidatonya menjelaskan: “memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham “Indonesia uber Alles”.

Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini!

Lalu beliau tegaskan: “Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia. Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.

Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principe yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan “internasionalime”.

Atas prinsip yang ditawarkan di atas, BK terlihat memiliki tujuan, bukan hanya membangun nasionalisme dalam negeri yang dimerdekakan. Melainkan lebih dari itu. Yakni untuk membangun kekeluargaan bangsa-bangsa, yang di era sekarang mungkin lebih tepat dikatakan usaha membangun kerjasama antar bangsa-bangsa dan membangun perdamaian dunia (Gatut Saksono: Pancasila Soekarno, 2007: 68-69).

REFORMULASI SILA

Setelah memperkenalkan isi sila dari ideologi yang diberi nama Pancasila, akhirnya anggota BPUPKI bersepakat, bahwa pidato Soekarno-lah yang menjawab pertanyaan sidang tentang apa dasarnya Indonesia merdeka.

BACA JUGA :  Reses di Jalan Belimbing Palu Barat, Muchsin Ali Diminta Perjuangkan Peningkatan Infrastruktur

Pada proses mendapatkan konsensus bersama inilah, prinsip-prinsip Pancasila dari Pidato Soekarno itu mengalami proses reposisi dan penyempurnaan. Teristimewa prinsip “Internasionalisme atau peri-kemanusiaan” tetap diletakkan pada sila kedua, namun redaksinya mengalami penyempurnaan menjadi “Kemanusian yang adil dan beradab” (Yudi Latif, Negara Paripurna, 2011: 21 dan 25).

PENUTUP

Kembali ke pernyataan Hendropriyono di atas. Menurut penulis, alangkah bijaknya kalau ia berkata, kita tetap peduli dengan penindasan yang dialami bangsa lain, tapi jangan sampai pula melupakan penindasan yang akan dicoba-coba oleh bangsa lain kepada kita. Misalnya urusan kapal nelayan dan militer China yang selalu nekat merangsek masuk ke wilayah kelautan negara indonesia.

Ini adalah salah satu contoh cikal bakal penjajahan atau neokolonialisme, yang tidak boleh dipandang remeh.

Kiranya, si bung besar telah menasihati kita soal itu. Yakni, menjaga keseimbangan antara paham kebangsaan dan prinsip internasionalisme.

Meminjam frasa dari kitab suci yaitu Ummatan Washatan. Yaitu, umat yang berpikir dan berperilaku moderasi, adil dan proporsional untuk segala kepentingan, terutama kepentingan “kemanusiaan yang adil dan beradab”.

*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu.