HBI Menghidupkan Kembali Karya Hasan Bahasyuan di Era Global

oleh -
Dari kiri Ketua Dewan Kesenian Sulteng Hapri Ika Poigi, Direktur HBI Zulfikar Usman dan Pegiat literasi Neni Muhidin saat konferensi pers di Hotel Santika, Kota Palu, Selasa (27/11). (Foto : IKRAM/MAL)

HASAN Muhammad Bahasyuan merupakan maestro legendaris dimiliki oleh Sulawesi Tengah (Sulteng). Ratusan hasil karya seni tari, lagu dilahirkan dari kreasi dan kreatifitasnya menjadi maha karya.

Karyanya tidak lekang oleh zaman. Tidak sedikit hasil karyanya dibawakan oleh individu atau komunitas tanpa menyebut Hasan M Bahasyuan sebagai penciptanya, padahal di sinilah letak nilai moralnya.

Karya-karyanya juga mampu mewakili identitas kultural masyarakat Sulteng. Penghargaan tinggi terhadap nilai pluralitas dan kemajemukan budaya, nilai edukasi kultural serta kebanggan terhadap tradisi lokal, menjadi esensi dalam karyanya. Sehingga dapat diterima oleh masyarakat Sulteng beragam secara etnis dan kultur.

Sebagai bentuk tanggung jawab atas karya-karyanya, Hasan Bahasyuan Institute (HBI) menggelar ” a (R) tribute to Hasan Bahasyuan berupa pertunjukan musik, tarian dan pameran foto di Convetion Hall Hotel Santika Palu Selasa (26/11) malam.

“Karyanya sangat banyak, ratusan, ada bukunya, tapi sengaja kami angkat yang populer sebagai pengingat kembali. Biasanya karya besar itu, namanya itu tersembunyi dari karya besarnya,”kata Direktur Eksekutif HBI Zulfikar Usman di Palu.

Zul mengatakan, gelar mahakarya dibuat merupakan agenda dua atau tiga tahunan dari HBI. Tentunya juga dengan konsep yang berbeda.

“Gelar mahakarya ini juga merupakan satu bentuk penghormatan dan bentuk apresiasi untuk Hasan Bahasyuan seorang seniman yang telah berperan besar dalam membentuk wajah seni Sulteng,” ujar istri dari Syaiful Bahri anak semata wayang alamarhum Hasan M Bahasyuan.

Zul mengatakan derasnya arus globalisasi, karyanya itu tepat menunjukkan betapa pentingnya menjaga jati diri dan identitas di daerah lokal.

“Kami berkomitmen untuk terus mencarikan, mengembangkan dan men-advokasi karya-karya beliau. Karya-karyanya sebanyak ratusan, baru sempat didaftarkan di Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) untuk mendapatkan perlindungan, ada 60 karya, 51 lagu, dan sekitar 11 tarian,” kata Zul.

Perlu Pelestarian Karya Maestro Seni dan Budaya Kaili

Ketua Dewan Kesenian Sulteng Hapri Ika Poigi dalam pandanganya mengenai karya-karya almarhum Hasan Bahasyuan, seorang maestro seni dan budaya dari Sulawesi Tengah. Selama 57 tahun berkarya, Hasan Bahasyuan menghasilkan berbagai karya masterpiece yang mencerminkan kehidupan masyarakat agraris hingga pesisir di wilayah Sulteng.

Hapri menyebut bahwa banyak karya almarhum belum terdokumentasi dengan baik, karena teknologi pada masanya masih terbatas. Karya-karyanya, seperti musik tradisional “Sandra Tasik” dan berbagai tarian kreatif, tetap relevan hingga kini. Salah satu contohnya adalah lagu-lagu seperti Tanangu Kaili dan Tanangu Potove, yang meskipun berasal dari dialek Tara, diterima oleh beragam sub-etnik di Sulawesi Tengah.

Lebih lanjut, Almarhum Hasan Bahasyuan juga mengembangkan instrumen tradisional seperti gamelan Kaili dengan dasar-dasar tradisional yang kuat. Sayangnya, hingga kini belum ada seniman yang melanjutkan inovasi tersebut ke arah kontemporer. Selain itu, konsep budaya seperti cinde dan mokambu juga menjadi bagian dari warisan yang penting untuk dikembangkan dan dilestarikan.

“Salah satu tantangan terbesar adalah minimnya fasilitas representatif untuk melestarikan dan memajukan budaya ini. Gedung Hasan Bahasyuan, yang sempat menjadi pusat kegiatan seni, telah hancur akibat tsunami,” inikatanya.

Olehnya Hapri mengusulkan agar dibangun gedung baru yang menjadi wadah kreasi seni dan budaya lokal, sekaligus menghormati karya-karya Hasan Bahasyuan.

Hapri menegaskan bahwa pelestarian budaya membutuhkan riset yang mendalam dan kolaborasi berbagai pihak. “Karya-karya Almarhum ini mencerminkan kekayaan budaya Sulawesi Tengah dan harus terus menjadi inspirasi bagi generasi mendatang,” ujarnya.

Reporter : IKRAM/Editor: NANANG