Dan takutlah terhadap doa orang yang terzalimi, karena antara dia dan Allah tidak ada hijab (pembatas yang menghalangi)nya” (HR. Imam Bukhari & Imam Muslim).
Kita sesama manusia derajatnya sama (semuanya hamba Allah, semuanya makhluk Allah). Tidak ada kelebihan atau keunggulan atas orang lain atau bangsa lain di hadapan Allah SWT. Apapun jenis kelaminnya, apapun warna kulitnya, apapun bahasanya, apapun kedudukan dan status sosial ekonominya semuanya sama.
Yang membedakan kita semua ini hanya ketakwaan. Dan itulah yang menjadi ukuran Allah. Sebagaimana firman Alah yang artinya:“Sesungguhnyayang paling mulia di antara kalian di hadapan Allah SWT kecuali ketakwaannya.
Oleh karena itulah, kita tidak boleh semena-mena atas orang lain. Apapun posisi dan kedudukan kita, baik sebagai orang tua, sebagai guru, sebagai ustadz, pemimpin, pejabat, penguasa, aparat, majikan, tokoh masyarakat dan lain sebagainya.
Karena jabatan apapun yang kita sandang sebetulnya kita tetap menjadi hamba Allah, dan siapapun yang ada di bawah kita secara dhohir baik itu anak, bawahan, mereka semua adalah hamba-hamba Allah. Jadi kedudukan tidak menjadi alasan untuk berbuat semena-mena terhadap orang lain.
Yang dibutuhkan adalah selalu hidup berdampingan, kita diajak untuk senantiasa menjaga niat, lidah, dan perbuatan lainnya. Sebab, di antara semua itu tak tertutup kemungkinan ada yang bersifat menzalimi atau menganiaya orang lain.
Bila menganiaya, azabnya yang begitu dahsyat bukan hanya di dunia ini, tetapi juga di akhirat kelak.
Lebih-lebih lagi, doa orang-orang teraniaya dimudahkan terkabul. Dan tak tertutup kemungkinan, di antara sekian banyak yang berdoa, ada orang-orang taat dan bersih hatinya sehingga cepat dikabulkan doanya.
Bayangkan bila yang teraniaya adalah orang-orang yang tak bersalah dalam jumlah banyak, mulai dari se kampung, se kabupaten atau bahkan se negara. Hal ini berkemungkinan dilakukan, terutama oleh orang-orang yang terlibat dalam orang banyak.
Di antara sekian banyak orang yang berdoa, beberapa saja yang dikabulkan sudah lebih dari cukup untuk membuat orang-orang zalim tak nikmat dalam hidupnya. Lebih-lebih lagi di saat kematiannya, karena dosa sesama hamba tak akan diampuni bila tak memohon maaf kepadanya.
Kenyataannya, tak semua orang mau dan sempat meminta maaf secara terus-terang kepada orang yang dizalimi sebelum maut menjemput. Sungguh tak sanggup dibayangkan berapa banyak dosa yang harus diemban hingga ke akhirat.
Meski demikian kita tetap menjaga sikap optimis karena ini sangat penting dimiliki setiap insan. Termasuk optimis akan berubahnya orang-orang jahat atau zalim (kembali) menjadi orang-orang baik.
Sikap optimis seperti ini dimiliki Rasulullah, sehingga beliau bukan hanya memerintahkan siapapun untuk menolong orang-orang yang terzalimi sekaligus membantu yang suka berbuat zalim.
Ajakan Rasululllah untuk membantu orang-orang yang terzalimi dianggap lumrah oleh para sahabat, namun yang mengundang tanda tanya ialah ketika diminta membantu orang zalim.
Karena itu sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tentu saja saya akan menolong orang yang dizalimi orang. Lantas bagaimana menolong orang yang melakukan kezaliman?” Rasulullah memberikan penjelasan, “Kamu mencegah atau menghalanginya agar tidak melakukan kezaliman, maka hal itu adalah cara untuk menolongnya” (HR. Bukhari).
Kalau direnungi, memang banyak sekali faedah mencegah kezaliman. Antara lain, akan menyelamatkan pelakunya dari berbuat dosa dan mendapat azab. Apalagi doa-doa orang-orang yang terzalimi atau teraniaya mudah dikabulkan Allah. Faedah lain ialah menyelamatkan orang dari kezaliman. Akhirnya, bila yang suka berbuat zalim sudah berkurang atau tiada lagi, maka akan semakin damai dunia ini. Insya Allah. Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)