Tak sampai sehari, tinggal beberapa jam lagi, perayaan tahun baru 2024 akan berlangsung. Seperti tahun-tahun sebelumnya, “pesta” ini biasa ditandai dengan taburan kembang api, letupan petasan, dan pastinya diselingi lengkingan terompet yang meraung-raung memecah malam.
Tradisi ini selalu terdengar di setiap pergantian tahun masehi, bahkan sejak beberapa hari sebelum tanggal 1 Januari.
Terompet telah identik dengan tahun baru Masehi. Anak kecil, remaja, orang dewasa, bahkan para lanjut usia, apapun ras dan agamanya (juga kaum muslimin) tak ketinggalan ikut larut bersuka cita. Naudzubillah.
Padahal sesungguhnya, menunggu malam pergantian tahun baru seperti ini termasuk meniru-niru budaya non muslim, karena tidak pernah ditemukan dalam budaya ataupun ajaran Islam.
Perihal meniup terompet. Hal semacam ini pernah menjadi perhatian serius Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam ketika awal-awal disyariatkannya adzan.
Ada beberapa usulan dari para sahabat agar menggunakan buq (dalam riwayat Al-Bukhari), qarn (dalam riwayat Muslim dan an-Nasai), qun/syabbur (dalam riwayat Abu Daud) yang menunjuk arti sebuah alat yang ditiup lalu kemudian darinya keluar suara atau yang saat ini merujuk pada terompet. Ketika itu Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam katakan huwa min amril yahud, itu budayanya orang Yahudi.
Lalu ada yang mengusulkan dengan cara kayu besar dan panjang dipukulkan dengan kayu kecil agar keluar suara atau dalam kekinian bisa merujuk pada lonceng untuk memanggil jemaah datang shalat. Kemudian Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam katakan huwa min amrin nasara.
Mari kita simak beberapa alasan kenapa kita tidak boleh mengikuti kebiasaan atau perayaan orang-orang kafir.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda yang artinya “Siapa yang meniru kebiasaan suatu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (HR Abu Daud).
Pada hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersabda: “Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak sekalipun kalian pasti akan mengikuti mereka.” Kami bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR Muslim-Shahih).
Turut merayakan tahun baru sama saja dengan meniru kebiasaan orang-orang kafir karena tradisi merayakan tahun baru ini muncul dan lahir serta berkembang di kalangan mereka.
Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu taala anhu, mengatakan “Siapa yang tinggal di negeri kafir, lalu ikut merayakan perayaan nairus dan mihrajan, yaitu dua hari raya orang majusi dan meniru kebiasaan mereka hingga mereka mati, maka dia menjadi orang yang rugi pada hari kiamat kelak.”
Mengikuti hari raya mereka termasuk bentuk loyalitas dan menampakkan rasa cinta kepada mereka. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang kita, sebagaimana firman-Nya yang artinya “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu menjadikan musuhku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (rahasia) karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu.” (QS. Al-Mumtahanan: 1).
Hari raya merupakan bagian dari agama dan doktrin keyakinan, bukan semata perkara dunia dan hiburan.
Ketika Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam datang ke Kota Madinah, penduduk kota tersebut merayakan dua hari raya, nairus dan mihrajan. Beliau lalu bersabda di hadapan penduduk Madinah “Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain dan hiburan. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i).
Perayaan nairus dan mihrajan oleh penduduk Madinah, isinya hanya bermain-main dan makan-makan, sama sekali tidak ada unsur ritual sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang majusi yang menjadi sumber asli dua perayaan tersebut.
Namun mengingat hari tersebut adalah perayaan orang-orang kafir, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam melarangnya dan sebagai gantinya Allah berikan dua hari raya terbaik Idul Fitri dan Idul Adha.
Untuk itu, turut bergembira dengan perayaan orang kafir meskipun hanya bermain-main tanpa mengikuti ritual keagamaan mereka, termasuk perbuatan yang terlarang karena termasuk turut menyukseskan acara mereka.
Bolehkah sejenak kita merenung pada Al-Qur’an Surat Al-Furqon ayat 63-76, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman memuji sifat-sifat Ibadurrahman yaitu hamba-hamba Allah yang terbaik.
Di antara sifat mereka yang terpuji disebutkan dalam ayat yang ke-72 “Dan orang-orang yang tidak turut dalam kegiatan az-Zuur”. Sebagian ulama menafsirkan kata az-Zuur pada ayat di atas dengan hari raya orang kafir.
Artinya jika ada orang yang turut melibatkan dirinya dalam hari raya orang kafir, berarti dia bukanlah hamba Allah yang baik.
Tahun baru masehi sendiri, di dalamnya adalah bulan dan hari. Islam tidak melarang menggunakan itu. Lalu apanya yang dilarang? Kebiasaan dan kebudayaan yang telah mendarah daging di perayaan tersebut.
Kita tidak boleh munafik. Kita bisa melihat dengan kasat mata apa yang dilakukan ummat saat itu, berhura-hura, berfoya-foya, bermaksiat.
Apa boleh buat jika memang negera telah menjadikan masehi sebagai penanggalan yang sah. Walaupun semestinya kita sudah harus mulai berubah dengan membiasakan menggunakan tahun Hijriyah. Karena jika merujuk penanggalan Hijriah, justru disitu kita bisa mengetahui banyak kemuliaan-kemuliaan. Ibadah di Islam justru ada hubungannya dengan tahun Hijriah, bukan tahun masehi.
Seperti apa sebenarnya sejarah munculnya penanggalan masehi ini. Ini berawal dari penghormatan kaum pagan kepada dewa mereka. Lihatlah nama-nama bulan di tahun masehi itu.
Oleh Kaisar Julian, awal tahun diberi nama Januari, sebagai penghormatan kepada dewa janus, dewa penjaga gerbang Olympus yang memiliki dua wajah. Satu wajah ke depan dan satu wajah ke belakang. Ke belakang, sebagai simbol telah keluar dari tahun yang lama dan wajah yang ke depan adalah simbol tahun yang baru.
Di periode berikutnya, ketika Kaisar Julian meninggal, kalender ini diambil oleh paus di Vatikan bernama Paus Gregorius yang kemudian diubah namanya dengan gregorian kalender yang sampai saat ini digunakan di seluruh dunia.
Ini perayaan untuk dewa saudaraku. Tapi kemudian dibuat secara masif, secara indah, secara megah dan gemerlap, sehingga terkesan menjadi event semua etnis dan agama.
Bagaimana dengan dzikir akbar yang banyak dihelat di beberapa tempat, dengan tema refleksi atau muhasabah akhir tahun? Toh itu adalah perbuatan baik agar waktu kita terisi dengan hal-hal bermanfaat dari sekadar konvoi bermotor sambil menyulut petasan atau meniup terompet. Silahkan dimaknai saudaraku.
Muhasabah diri? Muhasabah mestinya dilakukan di tiap waktu. Haruskah kita mengingat dosa hanya setahun sekali saja? Di penghujung tahun masehi saja? Bukankah kita ada di gelimangan dosa di tiap detik dan hembusan nafas. Kenapa tidak di tiap detik itulah kita bermuhasabah? Wallahu a’lam
RIFAY (REDAKTUR MEDIA ALKHAIRAAT)