OLEH: Rizaldy Alif Syahrial*
Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Kerta Raharja, demikian cita bangsa yang terus kita impikan sekaligus kita perjuangkan. Kita berjuang sebab mimpi saja tak cukup untuk mewujudkanya. Kita menginginkan suatu keadaan wilayah yang tertib, tentram, sejahtera dan berkecukupan segala sesuatunya.
Hal yang terus dicitakan sejak zaman kolonialisme dan imperialisme hingga masa sekarang yang telah melahirkan Generasi Alpha. Cita-cita sejak belum mengenal internet hingga era serba digital. Cita-cita yang bernafas sama meski dengan pergerakan berbeda.
Cita-cita itu ada saat wilayah ini belum menamakan diri sebagai Indonesia. Bahkan saat itu rasa penderitaan akibat penjahahan sangat erat mencengkeram. Rasa yang menjadi salah satu sebab ingin memiliki kedaulatan sendiri. Ditambah lagi, beban kejayaan masa lalu yang diagung-agungkan semisal kejayaan Sriwijaya dan Majapahit yang menguasai sebagian besar wilayah di Asia Tenggara.
Rasa dan beban itu berhasil menjadi pemicu rasa kebangkitan. Rasa yang disebut membangkitkan nasionalisme. Rasa yang kemudian diejawantahkan oleh para penggerak melalui gerakan yang lebih terstruktur dan masif. Sebut saja gerakan Sarekat Islam dan Budi Utomo yang saat itu menjadi cahaya di tengah kegelapan.
Banyak lagi organisasi serupa, meski tak tertulis dalam refleksi ini, bukan berarti mengecilkan peran mereka dalam proses kemerdekaan Indonesia. Tak tertulis, tetapi warisan cita-cita dan semangat untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan tetap mengalir.
Pergerakan yang terstruktur dan masif tak lain dan tak bukan berkat munculnya kaum intelektual yang menjadi pemimpin gerakan. Hingga wilayah ini disebut sebagai entitas Indonesia, gerakan yang mereka lakukan dikenang sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Di balik kontroversi tanggal penetapannya, hari kebangkitan ini sudah semestinya direfleksikan kembali dalam keadaan bangsa yang menghadapi banyak tantangan. Terlebih tantangan akibat Pandemi Covid-19.
Sebagaimana yang kita rasakan bersama, tahun ini merupakan tahun penuh cobaan sekaligus tahun kedua dunia menghadapi Pandemi Covid-19. Pandemi ini menghasilkan krisis bagi seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia.
Krisis yang muncul akibat hantaman dari Covid-19 sangat multidimensi. Awalnya krisis kesehatan. Kita semua pusing mencari masker, hand sanitizer, APD, hingga vaksin. Setelah masalah kesehatan, kita kemudian dihadapkan pada ancaman krisi sekonomi. Kita merasakan resesi ekonomi dalam beberapa kuartal.
Hal yang sangat mengkhawatirkan adalah krisis sosial dan ancaman stabilitas nasional jika krisi sekonomi terus berlanjut.
Oleh karenanya, di hari kebangkitan nasional saat ini, sudah selayaknya kita merefleksikan kembali semangat pergerakan nasional saat melepaskan diri dari penjajahan.
Hari Kebangkitan Nasional mewariskan semangat persatuan dalam menghadapi tantangan. Kita harus ingat bahwa dulu dan sekarang kita sama-sama menghadapi musuh. Saat itu, para pendahulu menghadapi penjajah yang kasat mata dan saat ini kita menghadapi virus yang berukuran lebih kecil dari butir pasir putih.
Kita butuh semangat kebangkitan nasional mereka untuk sama-sama bangkit dari Pandemi Covid-19 dan krisis yang disebabkanya. Semangat itu akan membawa kita pada stabilitas sosial dan keamanan.
Krisis ini mengajarkan kita saling berangkulan, bukan saling memukul. Ketika keluar dari krisis, kita akan semakin rekat sebagai satu bangsa. Agar menggapai kemerdekaan dari krisis, sudah seharusnya kita menghindari konflik antar anak bangsa. Seluruh energi harus kita arahkan untuk menyelesaikan krisis. Kita tak memerlukan polarisasi tatkala menghadapi krisis.
Sebagaimana semangat kebangkitan nasional, sudah selayaknya begitu pula semangat kita dalam memperjuangkan kemerdekaan dari krisis dan terciptanya Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Kerta Raharja. Hal yang dipercaya akan terwujud di bumi nusantara.
KUNCI INDONEDIA MENGHADAPI KRISIS!
Sesungguhnya perkakas Indonesia sangat lengkap untuk menghadapi krisis akibat Pandemi Covid-19 ini. Kita memiliki sumber daya alam yang dapat menghidupi rakyat sekalipun Negara luar mengisolasi.
Sumber pangan yang akhir-akhir ini menjadi perhatian khusus pemerintah merupakan bentuk perhatian terhadap kedaulatan dan pertahanan sebagai negara. Pun dalam sektor energi, Indonesia memiliki sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk bertahan.
Beberapa waktu yang lalu juga beberapa ahli dari Indonesia merilis vaksin. Meski menuai pro kontra, hal tersebut membawa semangat baru di kala pesimisme. Semangat yang menyatakan bahwa Indonesia Bisa!
Indonesia memiliki semuanya, kita tinggal memaksimalkan sesuai dengan kebutuhan. Bukankah kata orang tanah kita adalah tanah surga?. Kail dan jala cukup menghidupi, bahkan tongkat kayu dan batu jadi tanaman.
Hal itu mengambarkan betapa kaya kita sebagai bangsa. Sudah seharusnya kita menjadikan kekayaan itu sebagai perkakas demi kebangkitan dari krisis yang ada.
Selain perkakas yang dimiliki, Indonesia juga memiliki kuncinya. Kunci agar terhindar dari konflik sosial dan bangkit di kala krisis. Kunci yang hanya dimiliki Indonesia. Dengan kata lain, satu-satunya di dunia. Kunci yang dapat merekatkan di kala renggang dan menyatukan dikala pisah.
Ya, Indonesia memiliki Pancasila yang menjadi pegangan penting untuk keluar dari krisis ini. Jangan sampai Pancasila hanya menjadi serangkaian kata-kata yang mubazir.
Kita harus mengunakan Pancasila sebagai pegangan dikala gonjang-ganjing berbangsa dan bernegara. Jadikan Pancasila yang mengarahkan kita agar tak terombang-ambing badai percaturan global. Kunci itu pula yang akan menghantarkan kita pada Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Kerta Raharja. Kunci yang dihasilkan dari perjalanan kebangkitan nasional.
Singkat kata, Pancasila adalah kuncinya. Selamat Hari Kebangkitan Nasional!
*Penulis adalah Sekjen Pondok Pemuda Indonesia/Penulis Buku “Negara, Aku dan Rindu”.