PALU – Disahkannya Rancangan Undang-Undang Pemilu oleh Ketua DPR RI Setya Novanto diwarnai aksi walk out sejumlah pimpinan DPR beberapa hari lalu, yang mensyaratkan Presidential threshold 20 persen untuk mencalonkan persiden, dinilai sejumlah kalangan tidak relevan dan melanggar hak konstusional partai politik.
Pandangan yang sama, juga diungkapkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2013/2015 Dr Hamdan Zoelva, kepada Media Alkhairaat.
Hamdan menjelaskan, RUU tersebut sudah pasti melanggar hak partai politik yang dilindungi Pasal 6A Ayat UUD 1945, yang mengatur bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik, atau gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum.
“Memang keputusan MK itu tidak memutuskan masalah tahun 2014 itu, tapi memberikan kewenangan itu kepada pembentuk Undang-Undang, walaupun demikian tapi sebenarna saya berpandangan bahwa dengan Pemilu serentak itu, menjadi tidak relevan,” jelas Hamdan Zoelva, Rabu (26/7) siang di Audiotorium IAIN Palu.
Lebih lanjut Hamdan menjelaskan, sekarang kalau dibatasi, partai politik atau gabungan partai politik yang dimaskud adalah partai politik yag memenuhi 20 persen. Pertanyaamnya lanjut dia, 20 persen itu diambil dari mana. Kemudian ketentuan normatif di Pasal 6A itu lebih dari mengandung makna perlindungan terhadap hak kontistusional partai politik untuk mengajukkan pasangan calon.
Jadi karena sistem Pemilu serentak, maka tidak mungkin dan tidak boleh dari Pemilu sebelumnya dijadiakan acuan pemilu berikutnya. Karena sistem Pemilu di tanah air itu satu kali periode selesai. Belum tentu partai yang memperoleh 20 persen suara tahun lalu bisa lagi mencapai 20 atau 10 persen. (NANANG IP)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.